Dewi Sri, Dewi Padi
Dewi Sri, Dewi Padi

Upacara-upacara ritual yang berhubungan dengan aktivitas pertanian yang dilakukan oleh masyarakat petani di Yogyakarta merupakan bentuk ungkapan rasa syukur para petani kepada Sang Penguasa Alam yang telah memberikan kenikmatan berupa hasil bumi yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan manusia. Upacara-upacara ritual yang sangat menonjol dirasakan oleh masyarakat petani padi. Dalam hal ini, padi dianggap merupakan jenis tanaman istimewa yang dihubungkan dengan Dewi Sri, sebagai dewi kesuburan. Masyarakat petani percaya bahwa Dewi Sri dalam wujud biji padi yang ditanam di tanah kemudian bertemu dengan Dewa Wisnu dalam wujud air. Pertemuan antara biji padi dan air kemudian menimbulkan kehidupan, bagaikan pertemuan antara semen dan ovu. Adanya kepercayaan inilah yang menyebabkan petani padi merasa berkewajiban untuk memperlakukan tanaman padi secara istimewa, dengan melakukan upacara-upacara ritual. Upacara-upacara dimulai sejak dari menabur benih, pada waktu perawatan dan pada siklus-siklus sesudahnya, sampai saat tanaman tersebut dituai.

Upacara menabur benih biasanya dilakukan oleh lelaki, pertama-tama dengan menanam sembilan butir gabah; satu butir diletakkan di tengah dan delapan butir ditanam di delapan penjuru mata angin. Upacara ritual juga dilakukan pada waktu akan dimulainya tandur (tanam), dengan kelengkapan upacara berupa jenang pethak (bubur putih), pisang kluthuk, kinang (kapur-sirih), dan bunga. Kelengkapan upacara ini dibawa ke sawah kemudian diletakkan di dekat tempat pesemaian. Setelah dibacakan doa (mantra-mantra) sembari membakar kemenyan, kelengkapan upacara (sesaji) dibagi-bagi menjadi beberapa bagian dan masing-masing bagian diletakkan di sudut-sudut kotak sawah (mbuwaki) untuk disajikan kepada penjaga sawah (baureksa). Sisa kelengkapan upacara tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada para pekerja di sawah.

Upacara ritual juga diadakan pada waktu padi mulai meteng (bunting). Kelengkapan upacara berupa bubur putih atau telur yang diletakkan di tulakan. Di dekat kelengkapan upacara diletakkan daun lego-lego atau legundi yang dibakar dengan maksud untuk mengusir roh jahat atau penyakit. Seperti halnya pada upacara wanita hamil, upacara pada saat ini juga dilengkapi buah-buahan yang asam. Selanjutnya upacara ritual juga diadakan pada waktu akan dilakukan panen. Di dalam masyarakat Yogyakarta, upacara ritual ini disebut wiwit, dengan kelengkapan upacara berupa nasi tumpeng, ayam ingkung, berbagai macam makanan gorengan (rempeyek, nthontho, tempe, gereh pethek, dan lain-lain), sambel gepeng, kotosan (rebusan daun turi atau dhadhap serep), nasi liwet, pespesan bekatul, dan telur rebus. Kelengkapan lainnya berupa bunga, kinang (kapur-sirih), kaca dan sisir. Semua kelengkapan ini melambangkan kelengkapan seorang pengantin yang tidak lain adalah Dewi Sri itu sendiri. Kelengkapan upacara tersebut dibawa ke sawah dan diletakkan di tempat bumbungan (tempat yang paling subur, dan di tempat ini diberi tanda janur kuning dan daun dhadhap serep). Tanda janur kuning dan daun dhadhap serep juga diletakkan di sudut-sudut kotak sawah. Pada waktu kelengkapan upacara tersebut sampai di sawah, kemudian dilakukan pembakaran kemenyan sambil berdoa mohon izin kepada Dewi Sri untuk memanen padi dengan selamat. Setelah selesai mengucapkan mantra, kemudian dimulailah pekerjaan memetik padi. Pertama-tama dipilih bulir-bulir padi yang bagus untuk dijadikan ngantenan yang menyimbulkan Dewi Sri. Perlengkapan upacara diambil sedikit dan diletakkan di sudut-sudut kotak sawah sebagai sesaji, sedangkan pes-pesan katul (bekatul) dilempar ke tengah sawah (bumbungan) dan disebut umbul-umbul. Sisa kelengkapan upacara kemudian dibagikan kepada anak-anak yang mengikuti upacara tersebut. Setelah upacara selesai, ngantenan kemudian dibungkus daun pisang, digendong dengan menggunakan kain yang masih baru, dan dibawa pulang. Keesokan harinya padi mulai dipanen.

Kurang lebih satu minggu setelah dijemur, padi kemudian di sumpet (ditumpuk) di senthong dengan menggunakan alas daun pisang raja, daun pulutan dan daun kluwih. Pada saat inilah kemudian diadakan upacara ritual yang disebut dimong-mongi, dengan cara kenduri. Kelengkapan upacara terdiri atas tumpeng besar, godhongan (semacam urap atau gudangan), telur ayam rebus, dan pelas (kedelai dicampur parutan kelapa). Upacara ini dimaksudkan untuk ngemong-mongi mbok Sri. Baru setelah 40 hari ditumpuk padi tersebut dapat ditumbuk.

Upacara ritual juga dilaksanakan pada waktu akan menumpuk padi di dalam lumbung padi. Upacara yang berupa selamatan ini diwujudkan dalam bentuk kenduri yang dihadiri oleh warga dan dipimpin oleh sesepuh warga, dengan menggunakan pakaian adat tanpa keris. Setelah itu padi dimasukkan di dalam lumbung, disertai persembahan untuk Dewi Sri berupa ampo (tanah liat dikeringkan), prang atau kenyeh (tempat untuk kinang), pengilon (cermin), sisir dan suri, boreh (param kunyit), dan bedak yang dibuat dari tepung beras dan kencur. Upacara-upacara tersebut hanya merupakan beberapa contoh yang berlaku di beberapa kelompok masyarakat, yang sebenarnya masih banyak upacara lain yang berlaku untuk kelompak masyarakat yang lain. (Ph. Subroto)