Berbagai bentuk peninggalan tradisi megalitik di situs Sokoliman
Berbagai bentuk peninggalan tradisi megalitik di situs Sokoliman

Distribusi unsur budaya megalitik di Gunungkidul tampaknya memiliki pola yang berkaitan dengan kesuburan wilayah. Pada umumnya, unsur budaya megalitik terdapat di lokasi-lokasi yang kondisi tanahnya subur, yaitu di wilayah Cekungan Wonosari. Unsur megalitik yang ditemukan di wilayah ini meliputi sejumlah peti kubur batu dengan beragam benda bekal kubur, serta arca menhir. Peti kubur batu adalah peti yang disusun dari enam buah lempengan batu, empat buah sebagai dinding dan dua buah sebagai alas dan tutup. Adapun yang dimaksud dengan arca menhir adalah tiang batu (menhir) yang dipahat secara sederhana, namun sudah menggambarkan bentuk arca manusia. Bagian yang dipahatkan meliputi bagian wajah dan lengan tangan.

Beberapa peti kubur batu di Situs Sokoliman, Kecamatan Karangmojo telah diekskavasi oleh tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta. Hasil ekskavasi menunjukkan bahwa di dalam peti kubur tersebut terdapat fragmen rangka manusia, fragmen gerabah, manik-manik, dan fragmen logam. Selain ekskavasi juga dilakukan survei di beberapa situs, misalnya Situs Ngawis, Gondang, Gunungbang, dan Bleberan. Situs-situs lain di Kecamatan Karangmojo, yaitu Situs Gondang dan Ngawis, diekskavasi dalam dua tahap oleh Jurusan Arkeologi UGM dan Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Yogyakarta.

Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut dapat diketahui bahwa peng-uburan dengan peti kubur batu di daerah Gunungkidul sudah dilakukan deng-an sistem tertentu. Masing-masing lempengan batu atau dinding peti kubur ditakik sudutnya dengan bentuk tertentu, dengan maksud memperkuat posisi tautan antara satu dinding peti dengan dinding lain (sistem sponingen). Lempengan batu tersebut disusun di dalam lubang berbentuk persegi. Agar dinding peti tidak mudah roboh dititik-titik tertentu di luar dinding ditempatkan patok batu yang berfungsi sebagai penyangga. Posisi atau orientasi mayat di dalam peti juga sudah dipertimbangkan oleh para pendukungnya.

Bekal kubur yang disertakan di peti kubur batu antara lain adalah manik dan gerabah. Artefak besi periode Wonosari memiliki peran peti tidak mudah roboh, di titik patok batu yang berfungsi mayat di dalam peti juga pendukungnya. dalam penguburan dengan artefak besi, manik yang baru muncul pada Madya tersebut penting dalam aspek tekno-ekonomis para pendukung tradisi megalitik Gunungkidul yang berbasis agraris. Sisa-sisa dari tradisi pembuatan alat-alat besi (pande besi) hingga sekarang masih dijumpai di Gunungkidul.

Dalam kehidupan pendukung budaya Wonosari Madya, aspek seni tampaknya sudah memegang peran penting dan cukup berkembang. Kehadiran manik-manik dari berbagai bahan dalam konteks penguburan menjadi salah satu bukti kemajuan di bidang seni ini. Hasil analisis terhadap temuan sisa potongan manik-manik kaca berbentuk tubular dari Situs Gunungbang, Kecamatan Karangmojo, memberikan kemungkinan bahwa benda seni tersebut diproduksi oleh masyarakat lokal Gunungbang. Informasi seperti ini menjadi sangat penting karena penelitian-penelitian terdahulu belum berhasil memperoleh indikasi yang berhubungan dengan aktivitas lokal pembuatan manik-manik kaca.

Jenis artefak lain yang memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat agraris Gunungkidul pada periode Wonosari Madya adalah gerabah. Selain merupakan temuan permukaan, gerabah juga menjadi unsur penting dalam konteks penguburan dari masa itu. Seperti halnya manik-manik dan artefak besi, kehadiran beberapa jenis gerabah serta keramik asing membuktikan bahwa hubungan dengan masyarakat luar sudah terjalin. Kehidupan Wonosari Madya dengan sendirinya juga dicirikan oleh kehidupan masyarakat yang semakin terbuka.

Secara teknologis, jenis-jenis artefak yang berkembang pada periode Wonosari Madya erat kaitannya dengan kehidupan agraris yang belum berkembang pada periode sebelumnya. Kondisi lingkungan Cekungan Wonosari dengan ketersediaan air yang cukup, topografi yang relatif landai, aksesibilitas yang semakin meningkat, ditambah ketebalan dan kesuburan tanahnya yang relatif menguntungkan, merupakan faktor-faktor pemicu berkembangnya pemukiman dengan sistem tekno-ekonomi yang berbasis pertanian. Peralatan yang digunakan diproduksi secara lokal atau “diimpor” dari daerah lain dengan corak, bahan, dan fungsi yang sama sekali berbeda dengan peralatan dari pe-riode sebelumnya. Melalui perubahan sistem peralatan tersebut tercermin pula perubahan subsistensi, dari dominasi berburu dan meramu selama hampir 30 ribu tahun, ke arah ekstensifikasi pertanian sebagai subsistensi pokok. Dalam kehidupan ekonomi baru ini aktivitas berburu binatang tidak mereka tinggalkan sepenuhnya, melainkan tetap mereka lakukan sebagai upaya memperoleh diversitas pangan, terutama untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani.

Kondisi zona Cekungan Wonosari dengan aliran sungai-sungai purbanya, terutama Sungai Oyo yang bersifat perennial, memberikan kemudahan bagi para pemburu untuk memperoleh hewan buruannya. Berbagai jenis ikan air tawar sangat mudah diperoleh. Sebagaimana manusia, beberapa jenis fauna terestrial pun tentunya sangat membutuhkan air dan tidak jauh keberadaannya dari sumber-sumber air. Selain Sungai Oyo, di zona Cekungan Wonosari juga banyak dijumpai telaga, mata air, dan singkapan sungai bawah tanah. Ling-kungan yang demikian ini merupakan lokasi tempat tinggal yang ideal bagi manusia dan sekaligus habitat yang cocok bagi beberapa jenis fauna.

Ketersediaan sumber pangan di lingkungan hutan, daerah-daerah terbuka sekitar rawa, padang rumput, dan sepanjang sungai, ditambah kondisi fisik wilayah yang menyediakan banyak sumber air, tidak lagi menuntut mobilitas tinggi bagi manusia di dalam memperoleh pangan. Bahkan perkembang-an subsistensi ke arah food producing pun terjadi. Secara geomorfologis, zona Cekungan Wonosari merupakan zona deposisi hasil erosi tanah dari dua deretan perbukitan yang mengapitnya, yaitu perbukitan karst di selatannya dan perbukitan hasil bentukan vulkanik di utaranya. Kelokan tinggi dari Sungai Oyo dengan bentukan entrenched meander-nya, juga membuktikan bahwa Cekungan Wonosari pernah menjadi daerah muara sungai. Karakter geomorfologis se–perti ini memungkinkan terbentuknya solum tanah yang tebal dan subur, yang sangat menguntungkan bagi berkembangnya subsistensi pertanian. Perubahan subsistensi yang jelas tampak dari perbedaan karakter lingkungan antara zona Pegunungan Seribu dengan Cekungan Wonosari, mengindikasikan pula terjadinya perubahan cara bermukim. Kehidupan kaum pemburu-peramu di dalam gua-gua karst digantikan oleh penghunian situs-situs terbuka oleh komunitas agraris.

Dari sekian banyak definisi mengenai pemukiman, yang terpenting dari suatu pemukiman adalah adanya strategi dinamis dari manusia untuk tetap bertahan hidup di dalam lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial-budaya-ekonomi. Namun sejauh ini, gambaran utuh mengenai pola dan sistem pemukiman, khususnya menyangkut lokasi dan bentuk hunian pada periode Wonosari Madya belum diperoleh. Hal ini bukan berarti bahwa permukiman tidak berkembang pada waktu itu. Sebaran fragmen artefak, terutama artefak besi dan gerabah, ditambah temuan unsur-unsur megalitik di banyak situs, baik yang berkonteks penguburan, pemujaan, ataupun sosio-tekno-logis, sementara dapat dijadikan data untuk mengarah ke pemahaman aspek pemukiman.

Unsur megalitik yang terkonsentrasi di wilayah Kecamatan Playen, Wonosari, dan Karangmojo, menjadi kunci utama untuk mengetahui lokasi hunian para pendukungnya. Hasil penelitian di kompleks kubur megalitik Situs Gunungbang di Kecamatan Karangmojo, misalnya, menunjukkan bahwa lokasi penguburan hanyalah merupakan perwujudan dari salah satu unit kegiatan masyarakat pendukungnya.

Dalam kasus tersebut, aspek-aspek kegiatan yang mudah dikenali dan yang masih sulit dikenali, pada kenyataannya sangat kompleks, sehingga banyak kasus yang belum terpecahkan. Kasus terpenting yang dimaksud terkait dengan hubungan lokasional dan fungsional antara lokasi penguburan dan lokasi hunian masyarakat pendukungnya.

Selama ini belum pernah ditemukan data pemukiman yang benar-benar berasal dari situs hunian di wilayah Cekungan Wonosari. Bukti-bukti mengenai pemukiman sebagian besar berasal dari situs-situs penguburan seperti dipaparkan di atas. Sebagian lainnya berasal dari temuan lepas di lahan-lahan pertanian penduduk, di antaranya berupa menhir, lumpang batu, fragmen gerabah, fragmen alat-alat logam, dan manik-manik. Banyaknya situs penguburan dan temuan lepas di zona tengah Gunungkidul ini mengisyaratkan bahwa lokasi penguburan terletak di tengah-tengah atau berdekatan dengan lokasi hunian dan lokasi aktivitas subsistensi. Asumsi ini juga diperkuat oleh kenyataan bahwa sumber daya alam di sekitar situs-situs penguburan memiliki potensi tinggi untuk mendukung suatu aktivitas hunian yang padat. Dengan demikian, lokasi hunian, lokasi penguburan dan upacara, serta areal aktivitas sosial-ekonomis, bersama-sama membentuk satu kesatuan pemukiman yang kompleks pada waktu itu. Kondisi seperti itu terus berlanjut ke masa-masa berikutnya, bahkan sampai sekarang, dengan beberapa tradisi yang masih dipertahankan.

Di sisi lain, sebaran artefak yang didominasi oleh peralatan besi dan ge-rabah, ditambah peralatan batu sebagai unsur minor, serta kenyataan lenyapnya teknologi tulang yang menjadi penciri kehidupan Wonosari Tua selama puluhan ribu tahun, memiliki signifikansi tinggi untuk memperkuat asumsi mengenai activity area dan sekaligus aspek tekno-ekologis dari sistem adaptasi manusia di Cekungan Wonosari. Hasil analisis menunjukkan bahwa fragmen-fragmen artefak besi dari Cekungan Wonosari berasal dari bentuk belati, mata bajak, sabit, pahat, serta jenis-jenis alat teknomik lain yang difungsikan sehari-hari di dalam atau di sekitar lingkungan pemukiman.

Di samping berkaitan dengan pengolahan lahan, perkembangan tradisi logam di Gunungkidul tentunya juga memiliki keterkaitan fungsional dengan perkembangan tradisi megalitik. Lingkungan dengan topografi karst seperti Gunungkidul mampu menyediakan sumber batu gamping sebagai bahan pembuatan monumen-monumen megalitik. Namun tanpa teknologi yang memadai serta kondisi sosial yang tidak mendukung, tradisi megalitik tidak akan berkembang.

Gambaran aspek teknologis di atas tidak dapat dilepaskan dari aspek sosiologis dan ideologis yang berkembang pada periode Wonosari Madya. Kedua aspek terakhir ini tampak jelas gambarannya terutama dari situs penguburan dan situs-situs megalitik lainnya sebagai salah satu komponen dari pemukiman. Secara geografis, situs-situs megalitik di Gunungkidul memiliki pola sebaran mengelompok pada jarak yang tidak berjauhan. Situs Gunungbang, misalnya, berdekatan dengan Situs Ngawis, Gondang, dan Sokoliman. Situs Ngawis dan Gondang terletak ± 1,5 km di sebelah selatan Gunungbang, sedangkan Situs Sokoliman ± 1 km di sebelah utaranya. Di antara Situs Gunungbang dan Situs Sokoliman mengalir Sungai Branjang yang merupakan anak Sungai Oyo. Pada musim kemarau, debit air yang mengalir di sungai ini tidak begitu besar sehingga sangat memungkinkan untuk diseberangi, bahkan cukup aman diakses untuk berbagai keperluan.

Kondisi keruangan seperti di atas, sangat memungkinkan terjadinya kontak sosial para penghuni antarsitus. Bahkan ada kemungkinan mereka merupakan satu komunitas sosial-budaya yang sama. Bukti mengenai hal ini, selain terlihat dari faktor kedekatan jarak antarsitus dan kesamaan lingkungan fisik, juga diperkuat oleh beberapa kesamaan aspek penguburan yang tentunya dilandasi oleh persamaan konsep dan pandangan yang oleh masyarakat pendukungnya diterima sebagai norma-norma yang harus dipatuhi. Norma-norma tersebut kemudian diintensifkan dan disosialisasikan melalui berbagai mitos, di antaranya adalah mitos yang berhubungan dengan arah hadap tertentu serta beberapa pantangan yang harus diperhatikan. Oleh karena itu, kasus penguburan bukan semata-mata merupakan persoalan religi melainkan terkait erat dengan fenomena sosial-budaya dalam suatu masyarakat. Perilaku penguburan dengan sendirinya juga menjadi salah satu mekanisme untuk mempertinggi kesadaran sosial dan mengintensifkan solidaritas sosial masyarakat pendukungnya.

Dalam konsepsinya tentang intensifikasi integrasi sosial, Marcel Mauss mengajukan teori bahwa gagasan kolektif yang berakar dalam kesadaran kolektif masyarakat, direfleksikan dalam banyak unsur kehidupan, misalnya dalam perilaku religi dan pandangan hidup masyarakat. Kesadaran kolektif semacam ini mampu menjadi mekanisme kontrol dalam masyarakat. Secara keruangan, fenomena semacam ini bukan hanya terjadi di Situs Gunungbang dan sekitarnya, melainkan menjadi fenomena umum di beberapa daerah di Indonesia, kendati masing-masing daerah memiliki kekhasan dalam aspek-aspek tertentu.

Hasil penelitian di Situs Gunungbang menunjukkan bahwa situs penguburan merupakan produk pemikiran dan tindakan bersama dari masyarakat pendukungnya. Konvensi tersebut berhubungan dengan masalah pemilihan lokasi penguburan, penentuan orientasi kubur, dan jenis wadah kubur yang digunakannya. Pemilihan lokasi penguburan, selain dipengaruhi oleh faktor kedekatan dari lokasi hunian, tampaknya juga dipengaruhi nilai “irrasionalitas” di dalam domain spiritual mereka. Secara keru- agan, bagian lingkungan fisik sekaligus menjadi bagian dari lingkungan persepsual, yang memengaruhi tingkat sacredness suatu lokasi.

Kedekatan lokasi penguburan dengan lokasi hunian, tampaknya mampu mengakomodasikan kepentingan praktis dan sekaligus nonpraktis masyarakat pendukungnya, yang keduanya sulit dipisahkan. Secara praktis, lokasi peng-uburan di dekat lokasi hunian memungkinkan dilakukannya perawatan dan penjagaan kubur secara terus-menerus. Dalam skala yang lebih luas, kedekatan masing-masing situs juga tidak lepas dari berbagai bentuk pengaturan diri agar manusia tetap dapat saling berinteraksi. Interaksi antarindividu, antarkelompok, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya, menunjukkan bahwa pemukiman merupakan produk sosial. Dengan kata lain, kedudukan manusia di sebagai makhluk sosial semakin jelas di dalam pemukimannya.

Secara nonpraktis, kedekatan jarak antara lokasi penguburan dengan lokasi hunian juga menggambarkan kedekatan “hubungan’’ antara arwah orang mati dengan keluarga dan masyarakatnya. Bagi masyarakat yang masih hidup, arwah para leluhur atau sanak keluarga yang meninggal dianggap masih berpengaruh dalam kehidupan mereka sehari-hari. Interaksi yang terjadi di antara mereka tidak ubahnya seperti interaksi sosial dalam suatu komunitas.

Di samping adanya norma-norma umum yang berlaku dalam suatu peng-uburan, analisis bentuk peti kubur batu Situs Gunungbang juga menunjukkan berlakunya semacam “selera“ yang sifatnya individual. Hal ini tampak dari banyaknya variasi peti kubur, baik dalam hal ukuran masing-masing lempengan batu maupun pembuatan konstruksinya. Bahkan dalam satu peti kubur sering kali terdapat variasi dalam hal penyambungan antarbagian peti. Bagaimanapun juga, selera dan peranan individu dalam mengantisipasi kondisi sumber bahan tetap menempati bagian penting di dalam konvensi masyarakat, selama hal itu tidak mengganggu norma umum yang berlaku.

Gambaran lain dari aspek sosial yang tampak dari data penguburan adalah kemungkinan sudah terbentuknya struktur sosial yang kompleks. Perbedaan bekal kubur di dalam satu kompleks penguburan membuka kemungkinan tersebut. Kompleksnya struktur sosial juga diindikasikan oleh fenomena peng-uburan komunal di dalam satu wadah kubur seperti dijumpai di Situs Kajar (Kecamatan Wonosari).

Perkembangan aspek sosial dan ideologis pada periode Wonosari Madya juga tampak jelas dari tinggalan yang bersifat nonmonumental. Data artefaktual seperti fragmen keramik, baik lokal maupun asing, fragmen logam, dan manik-manik, semakin menekankan pentingnya pemahaman terhadap konteks keruangan antara Gunungbang dengan dengan kawasan sekitarnya. Jenis-jenis artefak tersebut sering kali dianggap sebagai penanda terjadinya kontak antarbudaya karena persebarannya yang sangat luas, baik di wilayah Kepulauan Indonesia maupun di luar Indonesia. Namun demikian, daerah asal masing-masing jenis artefak yang ditemukan di Gunungkidul belum dapat diketahui secara pasti, dan karenanya gambaran mengenai bentuk interaksi antara masyarakat Gunungkidul dengan masyarakat lain di luar kawasan Gunungkidul juga masih samar.

Fragmen artefak besi yang banyak ditemukan di Gunungkidul dapat memberikan gambaran mengenai konteks keruangan, baik secara mikro maupun makro. Dari segi teknologis, keberadaan alat-alat besi di Gunungkidul membuktikan adanya kontak antara masyarakat setempat dengan masyarakat lain. Kontak sosial-budaya yang terjadi menempatkan Gunungkidul dalam konteks keruangan secara makro. Adapun gambaran konteks keruangan mikro diketahui berdasarkan kajian fungsional terhadap alat-alat tersebut. Ditemukannya fragmen-fragmen artefak besi di dalam peti kubur menunjukkan telah terjadinya transformasi fungsi dari peralatan teknomik ke arah idioteknik.

Jenis artefak lain, misalnya fragmen keramik yang berupa stoneware dan porselin di Situs Gunungbang, jelas bukan diproduksi sendiri oleh masyarakat Gunungbang. Jenis-jenis keramik ini merupakan keramik Cina, yang keberadaannya di Situs Gunungbang perlu dikaji lebih lanjut. Hasil analisis menunjukkan bahwa fragmen-fragmen keramik tersebut berasal dari Dinasti Yuan (1260-1369) dan Ming (1368-1644). Salah satu jenis keramik yang ditemukan, yaitu keramik Ming berwarna putih gading polos, dengan glasir transpa-ran, sangat digemari terutama oleh bangsa Eropa, sehingga keberadaannya di Situs Gunungbang dapat memunculkan asumsi bahwa penguburan di Situs Gunungbang merupakan tradisi prasejarah yang berlangsung terus sampai masa yang sangat muda. Hal ini mengingat keramik tersebut berasal dari abad XIV – XVII Masehi.

Kedekatan secara keruangan antara situs-situs megalitik dengan unsur-unsur Hindu-Buddha seperti di Situs Ngawis, Sokoliman, dan Gunungbang (Kecamatan Karangmojo); juga situs Plembutan dan Bleberan (Kecamatan Pla-yen), juga menunjukkan adanya implikasi temporal. Kondisi tumpang tindih semacam ini, yang didukung pula oleh hasil penanggalan relatif terhadap fragmen keramik dan manik-manik, membawa kepada asumsi bahwa batas waktu berakhirnya periode Wonosari Madya tidak berlangsung secara tegas. Kesiapan budaya dalam wadah lingkungan fisik yang menguntungkan, menyebabkan sulitnya melacak batas antara periode Wonosari Madya dengan Wonosari Muda. Pada periode Wonosari Muda proses Islamisasi, kolonialisme, serta penetrasi sosial-budaya-politik keraton-keraton Mataram Islam, bersama-sama membentuk sintesa budaya Gunungkidul, yang menampakkan wujudnya melalui living tradition masyarakat dewasa ini.