Pembangunan Yogyakarta dirancang oleh Sultan Hamengku Buwana I dengan landasan filosofi yang sangat tinggi. Sultan Hamengku Buwana I menata Kota Yogyakarta membentang arah utara-selatan dengan membangun Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya. Sultan juga mendirikan Tugu Golong-gilig (Pal Putih) di sisi utara keraton, dan Panggung Krapyak di sisi selatannya. Dari ketiga titik tersebut apabila ditarik suatu garis lurus akan membentuk sumbu imajiner yang dikenal sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta.
Panggung Krapyak merupakan awal dari tiga titik susunan sumbu filosofis (Panggung Krapyak-Keraton-Tugu) Sangkan Paraning Dumadi. Pertemuan antara wiji (benih) yang digambarkan antara Panggung Krapyak (yoni) dengan Tugu Pal Patih (lingga), melambangkan proses kelahiran manusia (sangkaning dumadi) yang tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa, berumah tangga, mengandung, dan melahirkan anak. Sebaliknya dari Tugu Pal Putih menuju Keraton Yogyakarta melambangkan perjalanan hidup manusia kembali menuju Sang Penciptanya (paraning dumadi).
Keraton Yogyakarta yang berada di titik tengah menggambarkan kehidupan manusia yang telah mapan-dewasa, dan akhir filosofi paraning dumadi yaitu kehidupan langgeng di alam akhirat setelah kematian disimbolkan dengan Lampu Kyai Wiji di Gedhong Prabayeksa yang tak pernah padam sejak Sultan Hamengku Buwana I.
Secara simbolis Sumbu Filosofi Yogyakarta melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah), manusia dengan manusia (Hablun min Annas), serta manusia dengan alam termasuk lima anasir pembentuknya yaitu api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta, air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta), dan angkasa (ether).