Song Bentar merupakan ceruk (gua payung) yang terletak di Desa Kenteng, Ponjong, berbatasan dengan wilayah Eromoko, Wonogiri. Indikasi hunian di situs ini diperoleh dari hasil survei permukaan dan ekskavasi. Pada saat survei ditemukan beberapa jenis artefak batu yang meliputi alat batu inti, batu giling, beliung persegi, berbagai jenis serpih, mata panah, dan tatal batu; artefak tulang yang didominasi unsur mata panah, lancipan, sudip, dan jarum; artefak dari tanduk rusa berupa digger; artefak serut dari cangkang moluska; serta fragmen gerabah.
Di samping jenis-jenis artefak tersebut ditemukan pula sejumlah besar tulang dan gigi, baik yang berasal dari hewan maupun manusia, serta sebaran fragmen cangkang moluska laut. Fragmen kulit kemiri juga banyak ditemukan, sebagian besar menunjukkan tanda bekas terbakar. Semua temuan tersebut tersebar di permukaan lantai gua bercampur dengan kerakal-kerakal batu gamping dan pecahan-pecahan batu kalsit sebagai akibat aktivitas penambangan kalsit (watu lintang) yang pernah berlangsung di gua tersebut beberapa tahun sebelum dilakukan survei.
Hasil ekskavasi menunjukkan bahwa temuan artefaktual di Song Bentar didominasi oleh artefak batu dan tulang, ditambah beberapa buah artefak cangkang moluska dan gerabah di lapisan atas sebagai unsur minor. Artefak batu yang ditemukan sebanyak 1.322 buah, meliputi mata panah, berbagai jenis serpih, bilah, artefak batu inti, bor, manik-manik, dan tatal batu. Bahan yang digunakan bervariasi, umumnya berupa batu gamping kersikan. Di samping itu, terdapat juga bahan andesit, basalt, jaspis, kalsedon, kuarsa, rijang, dan batu lempung kersikan.
Pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis yang dilakukan oleh Anggraeni, Mahirta, dan Nugrahani menunjukkan bahwa sejumlah artefak batu memiliki tanda-tanda bekas pemakaian, berupa pengerjaan ulang (retouched), luka akibat pemakaian, kilap silika, residu organik, dan pembundaran. Pengerjaan ulang yang dilakukan pada sisi dorsal dan atau ventral, diperkirakan memiliki tiga tujuan. Pertama, untuk memperoleh bentuk tertentu, kedua untuk mempertajam kembali bidang pakai yang mengalami penumpul-an akibat pemakaian,serta ketiga untuk menumpukan tepian alat (blunted retouched) agar nyaman dipakai. Keberadaan residu pada beberapa artefak membuktikan bahwa artefak tersebut pernah kontak dengan bahan organik tertentu , karena residu semacam itu dapat berasal dari getah tumbuhan atau darah. Sedangkan adanya kilap silika membuktikan bahwa artefak-artefak tersebut sudah berulang kali digunakan untuk melakukan aktivitas tertentu pada objek vegetasi yang memiliki kadar silika tinggi, seperti bambu, rotan, dan daun kelapa.
Artefak tulang dari Song Bentar berjumlah 478 buah, secara umum dapat dikelompokkan ke dalam jenis jarum, lancipan, sudip, alat penggali, dan limbah produksi. Beberapa jenis binatang yang dapat dikenali sebagai sumber bahan pembuatan artefak-artefak ini, antara lain marga hewan berkuku genap (Bovidae), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), dan marga rusa (Cervidae). Jenis artefak lain, yaitu artefak dari cangkang moluska, sebagian besar berupa serut yang menunjukkan tanda-tanda aus karena pemakaian. Artefak serut dihasilkan dari jenis cangkang moluska laut Veneridae yang termasuk dalam klas Pelecypoda.
Keberadaan tulang-tulang hewan juga menunjukkan jenis-jenis hewan tertentu telah dikonsumsi oleh penghuni Song Bentar. Di samping itu, penghuni Song Bentar juga mengeksploitasi tumbuhan, baik untuk keperluan konsumsi maupun keperluan lain. Hal ini diketahui dari hasil analisis serbuk sari yang tertinggal pada sedimen gua dan analisis pasti yang menempel pada beberapa artefak batu. Jenis vegetasi yang dikonsumsi, antara lain jenis umbi-umbian dan padi-padian, namun belum teridentifikasi jenisnya. Hingga sekarang di wilayah Ponjong masih terdapat spesies padi liar (pari slegreng) dan je-wawut yang ditanam oleh penduduk. Kedua jenis tanaman tersebut banyak dijumpai di daerah Tambakromo, yaitu pada kondisi lingkungan yang mirip dengan rekonstruksi hipotetik lingkungan Song Bentar masa lalu. Kondisi lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan basah sekitar telaga. Di Tambakromo, habitat padi-padian liar berada di sekitar Telaga Sawahombo yang terletak dekat dengan dua gua, yaitu Song Terus dan Gua Dawung. Sisa organisme lain yang sangat penting dari Song Bentar berupa konsentrasi gigi, fragmen tengkorak, dan fragmen tulang Homo sapiens. Temuan yang telah dianalisis oleh Boedhi Sampoerna tersebut menunjukkan jenis kelamin perempuan, umur antara 30-40 tahun, dengan tinggi badan 155 cm. Ciri-ciri primitif masih sangat tampak pada Homo sapiens ini. Kategori rasnya adalah Mongoloid dengan percampuran unsur Australomelanesid, sedangkan pertanggalan relatifnya berkisar antara 12.000 – 8.000 tahun lalu. Di samping individu ini, sisa-sisa manusia dari Song Bentar sekurang-kurangnya berasal dari delapan individu, terdiri atas lima orang dewasa (tiga laki-laki dan dua perempuan), dua anak-anak, dan satu bayi. Semua individu dewasa menunjukkan ciri-ciri Mongoloid, salah satu di antaranya berumur 25-30 tahun, dengan tinggi tubuh 161,4 cm.
Penghunian Song Bentar pada periode Wonosari Tua, tampaknya tidak berlangsung terus-menerus, melainkan melewati beberapa masa jeda. Berdasarkan keberadaan sedimen allogenik, yaitu sedimen yang berasal dari luar gua, Eko Haryono dan Junun Sartohadi menyimpulkan adanya tenaga geomorfik, dalam hal ini aliran air, yang mampu menjangkau bagian dalam ruangan gua. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kondisi stratigrafi juga mengindikasikan bahwa selama masa penghunian, Song Bentar telah mengalami periode basah (dialiri sungai bawah tanah) dan periode kering secara bergantian. Pada saat terjadi genangan itulah Song Bentar ditinggalkan oleh penghuninya.
Dari gambaran di atas, ditambah data jenis-jenis binatang yang berhasil diidentifikasi, diperoleh kesimpulan bahwa lingkungan sekitar Song Bentar pada saat periode penghunian merupakan lingkungan dengan ketersediaan air cukup melimpah. Daerah-daerah genangan air masih banyak dijumpai sehingga memungkinkan hidupnya berbagai jenis fauna yang beberapa di antaranya sudah tidak dijumpai lagi di Gunungkidul pada masa kini. Salah satu jenis yang dimaksud adalah Hippopotamus sp. Dominannya fragmen tulang kera ekor panjang (Macaca sp.) juga memberikan gambaran bahwa kondisi vegetasi sekitar gua berupa hutan terbuka yang dihuni oleh beragam jenis binatang mulai dari yang berukuran kecil hingga besar. Bahkan beberapa jenis merupakan binatang yang cara hidupnya berkoloni, di antaranya banteng, kerbau, jenis-jenis rusa, dan gajah, yang tentunya membutuhkan ruang gerak yang luas.