Pemerintah Belanda berusaha keras memaksakan interpretasi mereka sendiri dan berjalan sendiri untuk membentuk negara-negara bagian yang akan menjadi bagian dari negara Indonesia Serikat, sesuai dengan keinginan mereka setelah Persetujuan Linggarjati.Hal ini diawali dengan konferensi yang diselenggarakannya di Malino, Sulawesi Selatan, dan kemudian di Denpasar, Bali. Tujuan utama Belanda penandatanganan Persetujuan Linggarjati ialah menjadikan negara Republik Indonesia yang sudah mendapatkan pengakuan de facto dan juga de jure oleh beberapa negara, kembali menjadi satu negara bagian saja seperti juga negara-negara boneka yang didirikannya, yang akan diikutsertakan dalam pembentukan suatu negara Indonesia Serikat. Langkah Belanda selanjutnya ialah memajukan bermacam-macam tuntutan yang pada dasarnya hendak menghilangkan sifat negara berdaulat Republik dan menjadikannya hanya negara bagian seperti negara boneka yang diciptakannya Belanda.Sasaran utamanya ialah menghapus TNI dan perwakilan-perwakilan Republik di luar negeri, karena keduanya merupakan atribut negara berdaulat.Semua tuntutan Belanda ditolak.
Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 4 Agustus 1947. Agresi Militer Belanda I diawali oleh perselisihan Indonesia dan Belanda akibat perbedaan penafsiran terhadap ketentuan hasil Perundingan Linggarjati. Pihak Belanda cenderung menempatkan Indonesia sebagai negara persekmakmuran dengan Belanda sebagai negara induk. Sebaliknya, pihak Indonesia tetap teguh mempertahankan kedaulatannya, lepas dari Belanda.Dalam serangan Belanda yang pertama itu mereka bermaksud hendak menduduki Yogyakarta yang telah menjadi ibu kota perjuangan Republik Indonesia. Agresi Militer Belanda I dikenal sebagai Operatie Product, yaitu menduduki daerah-daerah yang penting bagi perekonomian Belanda, yaitu daerah-daerah perkebunan, ladang minyak dan batu baik di Sumatera maupun di Jawa. Serangan Tentara Belanda terfokus pada tiga tempat, yaitu : Sumatera Timur, Jawa Tengah , dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasarnnya adalah daerah perkebunan tembakau. Di Jawa tengah menguasai seluruh Pantai Utara dan di Jawa Timur, sasaran umumnya adalah wilayah yang banyak perkebunan tebu dan pabrik gula. Pada agresi militer ini Belanda menggunakan kedua pasukan khususnya, yaitu Korps Speciaale Troepen (KST) dan Pasukan Para I. Di sisi lain, Belanda menerbangkan pesawat-pesawatnya untuk mengintai dan menyerang wilayah yang dikuasai Indonesia. Setelah empat hari Operasi Produk dilaksanakan, pada tanggal 25 Juli 1947 Jenderal Spoor mengusulkan kepada pimpinan politik Belanda untuk melancarakan Operasi Rotterdam. Letnan Jenderal van Mook menyetujui dan memberikan lampu hijau untuk melancarkan operasi tersebut yang telah dimodifikasi menjadi Operasi Cato. Operasi ini berupa gerakan ofensif untuk merebut Yogyakarta dan Surakarta yang dilihatnya sebagai alternatif terbaik untuk mencapai sasaran politik lebih cepat, segera setelah pimpinan-pimpinan politik dan militer Republik Indonesia ditawan. Hal ini tentunya sangat mengancam keamanan wilayah RI termasuk juga keselamatan Presiden RI.
Bersamaan dengan peristiwa Agresi Militer Belanda I, Bung Karno mengajak keluarganya dari Istana Kepresidenan mengungsi ke Patangpuluhan. Rumah KRT. Purbodiningrat ini digunakan sebagai tempat persembunyian Bung Karno dari kejaran militer Belanda. Rumah ini sekaligus dipergunakan sebagai istana darurat Presiden Soekarno. Menurut pengakuan Ibu Siti Ismusilah (putri Prof. Ir. Purbodiningrat), waktu itu yang tinggal dirumahnya adalah Presiden Soekarno beserta istri, Fatmawati dan 2 orang anaknya Guntur Soekarno Putra serta Megawati Soekarno Putri. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Fatmawati Sukarno dalam buku Fatmawati : Catatan Kecil Bersama Bung Karno, yang isinya: “Suatu hari pada jam 6 pagi tepat di atas Gedung Kepresidenan Yogyakarta berputar-putarlah sebuah kapal terbang musuh. Maka segera Bapak, aku dan anak-anak serta beberapa orang ke luar gedung dan masuk mobil. Mobil bergerak menuju ke Patangpuluhan tempat kediaman seorang Insinyur kenalan kami. Kami beberapa hari menginap di Rumah ini untuk menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi. Baru beberapa hari kami tinggal disini, pihak musuh seakan-akan sudah mengetahui. Dugaanku hal ini disebabkan oleh karena laporan kaki tangan-kaki tangannya di Yogya, dikarenakan kapal terbang sering berputar-putar di atas rumah di mana kami tinggal. Dalam keadaan begitu Guntur kugendong bersembunyi dibawah Wastafel, dengan bertiarap. Untuk menjaga keselamatan keluarga Presiden, atas keputusan Sidang kabinet, kami pindah tempat lagi ke Kandangan di sebuah rumah milik onderneming kopi di Madiun”. Gerakan ofensif Belanda dalam operasi ini tidak sampai menduduki ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta. Tentara Belanda terhenti 140 kilometer di sebelah baratnya, yaitu di Gombong. Pada tanggal 4 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB menyerukan kepada Republik Indonesia dan Belanda untuk melakukan penghentian tembak menembak (cease fire). Selanjutnya PBB membentuk Komisi PBB yang terdiri atas tiga negara: satu dipilih oleh Indonesia, satu oleh Belanda dan yang satu lagi dipilih bersama. Komisi Tiga Negara (KTN) ini terdiri atas Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Komisi ini mengambil tindakan menghentikan penyerangan militer di dunia dan memaksa tentara Belanda agar menghentikan serangannya.
( Himawan Prasetyo, S.S. / Staf BPCB Yogyakarta )