Kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia biasanya mempunyai taman kerajaan yang pada zamannya bersifat eksklusif, dalam arti tidak diperuntukkan bagi kalangan umum. Taman kerajaan itu biasa pula disebut pesanggrahan yang berarti tempat beristirahat. Selain itu pesanggrahan juga berfungsi filosofis-spiritual.
Di Yogyakarta berbagai pesanggrahan telah dibangun, baik oleh pengu asa Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Paku Alaman. Sebagai contoh pesanggrahan Ambarketawang di Gamping yang pernah berfungsi sebagai kediaman sementara bagi Sultan Hamengku Buwana I ketika keraton belum selesai dikerjakan.
Pada masa-masa berikutnya banyak bangunan pesanggrahan yang dibangun, sebagai contoh adalah Tamansari yang dibangun atas perintah Sultan Hamengku Buwana I, pesanggrahan Rejowinangun yang sering juga disebut Warung Bata, pesanggrahan Gua Siluman. Dua yang terakhir ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwana II yang banyak membangun pesanggrahan di sekitar Kota Yogyakarta. Selain itu, Sultan Hamengku Buwana III juga membangun pesanggrahan Bulurejo di Pengasih, Kulonprogo, sedang Sultan Hamengku Buwana VII membangun pesanggrahan Ambarbinangun di Tirtonirmolo, Bantul. Keluarga Paku Alaman juga membuat pesanggrahan pada masa pemerintahan Paku Alam V di Glagah, Temon, Kulonprogo. Pesanggrahan Glagah ini dibangun di pantai Samudra Indonesia.
Jika diamati tampak bahwa pesanggrahan-pesanggrahan itu selalu mempunyai unsur air di dalam areanya, atau berdekatan dengan air. Selain itu juga ada pertamanan, atau kebun buah-buahan. Tentu saja ada kelengkapan berupa bangunan untuk beristirahat, dan pagar keliling sebagai pembatas wilayah antara publik serta pribadi.
Banyak pesanggrahan yang telah berubah fisik dan fungsinya, namun jejak-jejaknya masih dapat dirunut, misalnya: pagar keliling, gapura, kolam, atau sisa-sisa bangunan lainnya. Seandainya pesanggrahan-pesanggrahan tersebut relatif masih utuh, tentu dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata.