Sebagaimana pendapat umum yang berkembang di Indonesia, bahwa sosok perempuan sering dikatakan dalam posisi “lemah”, “sangat terkekang”, dan gampang menyerah. Bahkan mereka juga dikenal sebagai sosok feminim, ibu, dan sekadar aktif di dapur. Sementara waktu dalam periode emansipatoris ada sosok Kartini sebagai pendobrak dan dapat mematahkan bayangan itu. Akan tetapi, apabila dirunut sosok perempuan yang aktif juga mempunyai akar sejarah yang panjang dalam dinamika sejarah di Indonesia. Bahkan bayangan itu akan sirna apabila kita juga menguak berbagai sepak terjang prajurit perempuan di Kerajaan Jawa, terutama di Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegaran.

            Di Kasultanan Yogyakarta pada era Hamengku Buwana I, Putera Mahkota KGPAA. Hamengkunegara mempunyai banyak kesatuan prajurit. Prajurit semakin berkembang dan kesatuannya beragam pada masa Hamengku Buwana II, salah satunya adalah kesatuan prajurit perempuan yang dinamakan Langenkusuma. Kata “langenkusuma” berasal dari kata “langen” dan “kusuma”. Langen berarti indah dan senang, sedangkan kusuma berarti bunga sebagai simbolisasi sosok perempuan (Poerwodarminto, 1939). Dengan demikian Langenkusuma itu sendiri mengindikasikan sosok perempuan yang indah dan menyenangkan tetapi terampil olah krida keprajuritan. Di dalam Serat Rerenggan Keraton Pupuh XXII disebutkan sebagai berikut.

 “Sanggrahan Madyaketawang, lamun miyos Sri Bupati pratameng Langenkusuma, lir priya praboting jurit, tinonton saking tebih, saengga priya satuhu, samya munggeng turangga, myang yen gladhi neng praja di, angreh kuda neng Ngalun-alun Pungkuran.”     

Terjemahan:

Dalam kotak merah adalah denah Rejaketawang yang berada di sisi Selatan Pesanggrahan Rejawinangun (Gambar,Oudheidkundige Dienst,1939).

    Di Pesanggrahan Madyaketawang, dan datanglah Sri Sultan untuk menyaksikan, pemimpin pasukan perempuan Langenkusuma, mirip penampilan prajurit laki-laki, dilihat dari jauh, tampak seperti prajurit laki-laki sungguhan, semua naik kuda, menuju tempat latihan di ibu kota, yaitu di Alun-alun Pungkuran (Alun-alun Selatan).

         Pusat penempatan prajurit perempuan Langenkusuma era Hamengku Buwana II berada di Pesanggrahan Madyaketawang, tentang lokasi tepatnya belum diketahui. Akan tetapi dalam sumber-sumber Belanda disebutkan bahwa Jan Grevee pada 11 Agustus 1788 ketika berkunjung di Pesanggrahan Rejawinangun disambut oleh Langenkusuma yang juga bermarkas di Pesanggrahan tersebut. Nama Madyaketawang saat ini tidak dikenal yang ada adalah atau Rejaketawang yang  berada kira-kira berjarak  200 meter di sisi selatannya (peta Belanda Oudheidkundige Dienst, 1939).  Kondisi pesanggrahan saat ini tinggal menyisakan benteng-benteng kelilingnya dan sudah berhimpitan dengan rumah-rumah penduduk.