Cikal bakal lembaga purbakala di Indonesia lahir 106 tahun yang lalu dengan didirikannya  Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie” (Jawatan Purbakala di Hindia Belanda) oleh pemerintah kolonial Belanda pada 14 Juni 1913. Sejak berdiri lembaga tersebut memiliki tugas yang besar yaitu mendokumentasikan dan merekonstruksi tinggalan  purbakala yang ada di Hindia Belanda. Pekerjaan besar tersebut dimulai dengan membuat Rapporten van den Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch- Indie tahun 1915 (ROD) dan Oudheidkundige Verslag (OV), yang berisi tentang catatan-catatan detail hasil inventarisasi kepurbakalaan di daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kemudian pada tahun 1918 mulai merekonstruksi mahakarya (master piece) bangsa Indonesia yaitu Kompleks Candi Prambanan dengan melakukan pemugaran secara metodologis terhadap Candi Siwa.

       Setelah bangsa Indonesia merdeka, lembaga purbakala di tanah air dipimpin oleh putra-putri terbaik ibu pertiwi. Berbagai proyek pemugaran yang sudah berlangsung sejak masa pemerintahan kolonial Belanda juga diambilalih oleh putra-putri bangsa Indonesia. Generasi penerus bangsa  Indonesia terbukti telah mampu berdikari untuk melestarikan warisan budaya nenek moyang bangsanya sendiri. Kemauan dan kemampuan mulia tersebut telah terealisasikan dengan berhasil memugar beberapa candi di kompleks Candi Prambanan, antara lain:

  1. Candi Siwa diresmikan Presiden Sukarno pada 1953;
  2. Candi Brahma dipugar pada 1977 sampai dengan 1987;
  3. Candi Wisnu dipugar pada 1987 sampai dengan 1991;
  4. Candi Nandi, Candi Garuda, dan Candi Angsa diresmikan Presiden Suharto pada 1993.

       Sekarang lembaga purbakala di Indonesia dikenal dengan nama Balai Pelestarian Cagar Budaya yang berjumlah 12  tersebar di beberapa wilayah yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Banten, Gorontalo, Ternate, Kalimantan Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Semua instansi tersebut bertugas melestarikan Cagar Budaya yang ada di wilayah kerjanya masing-masing.

     Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY) sebagai unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki tugas pokok dan fungsi dalam melestarikan cagar budaya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu upaya pelestarian yang dilaksanakan yaitu memugar bangunan cagar budaya, antara lain  candi-candi, bangunan di kompleks keraton Yogyakarta, pesanggrahan, rumah tradisional, dan lain-lain.

      Kegiatan pemugaran yang telah dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta dari masa ke masa itulah yang diekspos dalam pameran bertema “Mengembalikan Kemegahan dan Meneladani Kearifan Warisan Budaya Bangsa” yang diselenggarakan oleh BPCB DIY di Museum Sonobudoyo Yogyakarta pada 14 s.d. 19 Juni 2019 dalam rangka memperingati hari ulang tahun Purbakala ke-106.

 

 

 

 

 

    Pameran tersebut terbagi menjadi dua ruang informasi. Ruang pertama menyajikan tentang jenis-jenis pekerjaan dan tahapan kegiatan pemugaran.  Pekerjaan pemugaran antara lain:  rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, restorasi dan anastilosis. Adapun tahapan dalam melaksanakan pemugaran terbagi menjadi tiga: 1) pra pemugaran terdiri atas dua kegitan yaitu studi kelaykan dan studi teknis. Di dalam ruang pertama juga menampilkan informasi tentang prinsip umum pemugaran bangunan cagar budaya. Hal penting yang harus dipatuhi dalam melaksanakan pemugaran yaitu harus mempertahankan: 1) keaslian bentuk; 2) keaslian bahan; 3) keaslian pengerjaan; keaslian tata letak; dan 5) keaslian gaya.

     Di dalam ruangan kedua menyuguhkan pengetahuan mengenai pemugaran bangunan Cagar Budaya yang terbuat dari berbagai jenis bahan. Ada tiga proses pemugaran yang ditampilkan. Pertama, pemugaran Candi Sambisari yang mewakili pemugaran bangunan cagar budaya yang terbuat dari bahan batu. Candi Sambisari merupakan candi berlatar belakang agama Hindu yang diperkirakan didirikan pada abad 9 Masehi. Candi Sambisari terletak di Dusun Sambisari, Purwomartani, Kalasan, Sleman.

    Kedua, pemugaran Pesanggrahan Rejawinangun yang mewakili pemugaran bangunan cagar budaya yang terbuat dari bahan bata. Pesanggrahan Rejawinangun didirikan pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II yang berfungsi sebagai tempat rekreasi raja beserta keluarganya. Pesanggrahan Rejawinangun terletak di perbatasan antara Kelurahan Rejawinangun, Kecamatan Kotagede dan Kelurahan Warungboto, Kecamatan Umbulharja, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.

      Ketiga, pemugaran Bangsal Trajumas yang mewakili pemugaran bangunan cagar budaya yang terbuat dari bahan kayu. Bangsal Trajumas merupakan bangunan yang berada di dalam Kompleks Keraton Yogyakarta. Trajumas berasal dari kata traju berarti timbangan atau menimbang, sedangkan kata mas atau kencana artinya suci, bersih, dan tanpa salah. Maksudnya, apabila sultan duduk di bangsal ini diharapkan mampu menimbang atau mengambil kebijakan dengan didasari hati yang bersih sehingga perkataan dan perbuatannya selalu benar. Bangsal ini dikenal juga bernama Bangsal Trajukencana.

 

 

 

 

 

 Ikhtiar merawat warisan budaya bangsa melalui kegiatan pemugaran Cagar Budaya  masih terus berlangsung hingga sekarang. Pemugaran dilaksanakan sesuai dengan prinsip yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bahwa pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya dan/ atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.

     Pemugaran merupakan salah satu upaya pelestarian Cagar Budaya yang bertujuan mempertahankan  keberadaan Cagar Budaya secara fisik, beserta nilai-nilai penting (sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan) yang terkandung di dalamnya. Harapannya agar keberadaan Cagar Budaya terus lestari dan memancarkan kearifan lokal generasi pendahulu, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber belajar bagi generasi kini dan mendatang dalam mengarungi tantangan zaman guna menata masa depan bangsa ke arah yang lebih baik. (fry)