Ada sesuatu yang tidak biasa disuguhkan stan pameran Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta pada gelaran Festival Jogjakarta Tempo Doeloe di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, 10-14 Agustus 2017. Jika biasanya sebuah pameran hanya menawarkan komunikasi searah saja, kali ini stan BPCB DIY menyuguhkan pameran yang bersifat dialogis dengan menyajikan praktik pelestarian cagar budaya lengkap beserta pemandu yang berkompeten.
Pergelaran bertajuk “Riuh Eksotika Pelataran” yang digelar UPT Balai Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini patut diapresiasi. Festival yang dibuka oleh Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Paduka Paku Alam X pada Kamis malam (10/8) ini menyajikan pameran warisan budaya dan cagar budaya. Beberapa instansi pemerintah yang bergerak di bidang pelestarian warisan budaya ikut serta memeriahkan pameran, antara lain Dinas Kebudayaan DIY, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Balai Arkeologi Yogyakarta, Balai Pelestarian Nilai dan Budaya DIY, dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada perhelatan Festival Jogjakarta Tempo Doeloe yang pertama kali digelar tahun 2017 ini BPCB DIY berpartisipasi dengan menggelar pameran cagar budaya bertema “Konservasi dan Pemugaran Cagar Budaya”. Dalam pameran ini BPCB DIY menyuguhkan informasi tentang praktik pelestarian cagar budaya berupa panduan konservasi material dan pemugaran cagar budaya, beserta praktik pelaksanaannya. Praktik konservasi material cagar budaya yang ditampilkan meliputi pembersihan kayu, logam, dan batu, baik secara tradisional maupun secara kimiawi. Sedangkan untuk praktik pemugaran cagar budaya, menyajikan hasil susun coba (anastilosis) dalam pemugaran candi.
Salah satu praktik konservasi material cagar budaya yang menarik perhatian pengunjung adalah praktik pembersihan kayu secara tradisional. Pembersihan kayu secara tradisonal dilakukan dengan cara menggosok kayu menggunakan cairan yang terbuat dari bahan-bahan alami. “Pembersihan kayu secara tradisonal menggunakan cairan yang terbuat dari hasil rendaman campuran tembakau, cengkeh, dan pelepah pisang yang direndam dalam air selama dua hari. Perbandingan komposisi bahannya harus seimbang. Misalnya, untuk membuat cairan pembersih kayu tradisonal sebanyak 10 liter, dibutuhkan 0,5 kg tembakau, 0,5 kg cengkeh, dan 0,5 kg pelepah pisang,” kata Rahmat, konservator BPCB DIY saat menjelaskan komposisi bahan cairan pembersih kayu secara tradisional kepada pengunjung.
Selain praktik pembersihan, dipajang pula beberapa macam sambungan kayu yang terdapat pada struktur bangunan rumah tradisional Jawa sebagai contoh lain dari praktik konservasi material cagar budaya berbahan kayu, antara lain sambungan kait lurus, sambungan melebar tegak, sambungan untu walang (gigi belalang), sambungan ekor burung tertutup, dan sambungan ekor burung tunggal.
Tidak hanya praktik pembersihan material cagar budaya saja yang menyedot minat pengunjung pameran, praktik pemugaran cagar budaya juga menjadi magnet yang berhasil menarik perhatian pengunjung. Hasil susun coba (anastilosis) dalam pemugaran candi yang dipajang di depan stan pameran sukses membuat pengunjung penasaran. Para pengunjung yang melihatnya pun banyak yang bertanya tentang cara menyusun batu-batu candi itu bserta sistem perkuatannya. ”Pada hasil susun coba (anastilosis) ini terdapat beberapa contoh teknik kuncian batu candi (interlocking stone) yang dibuat oleh nenek moyang kita pada masa lampau. Sistem kuncian batu candi (interlocking connection) ada dua macam yaitu sistem vertikal dan sitem horizontal. Sistem kuncian batu sambungan vertikal adalah pengunci sambungan antara dua batu pada lapis yang berbeda dan saling berhimpitan (atas-bawah). Sedangkan sistem kuncian batu sambungan horisontal adalah pengunci sambungan antara dua batu yang berdampingan di kanan-kiri yang berada dalam satu lapis,” jelas Jusman, arkeolog BPCB DIY yang juga sebagai pemandu pameran.
Di samping menyajikan praktik pelestarian cagar budaya, stan pameran BPCB DIY juga memajang duplikat arca Narasimha dan arca Wamana Triwikrama. Keduanya menyimbolkan kebaikan yang mengalahkan keburukan. Narasimha merupakan penjelmaan Dewa Wisnu sebagai Singa-Manusia. Ia turun ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia dari kekejaman raksasa Hiranyakaçipu yang hanya dapat dibunuh pada waktu senja – di ambang pintu – oleh bukan manusia dan bukan binatang. Sementara itu Wamana Triwikrama merupakan awatara Dewa Wisnu sebagai orang kerdil (wamana). Ia turun ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia dari kekejaman Raja Daitya Bali dengan melakukan tiga langkah (Triwikrama) dan berhasil menguasai dunia, angkasa, dan surga.
Stan pameran Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta juga memajang miniatur gapura utama Situs Ratu Boko dan maket Candi Prambanan guna mendekatkan pengunjung kepada wujud tinggalan budaya dari nenek moyang yang kini menjadi potensi cagar budaya yang bernilai tinggi. Bagi pengunjung pameran disediakan pula suvenir berupa gantungan kunci berbentuk Candi Prambanan dan pin bergambar candi-candi yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pameran Cagar Budaya yang dihelat BPCB DIY pada Festival Jogjakarta Tempo Doeloe berlangsung sukses. Penyajian praktik pelestarian cagar budaya terbukti mampu menjadi daya tarik pameran cagar budaya kali ini. Adanya praktik konservasi material dan pemugaran cagar budaya yang dipandu langsung oleh arkeolog dan konservator, membuat pengunjung begitu antusias. Tanya-jawab di antara pengunjung dengan pemandu semakin menambah hidup suasana pameran. Memang begitulah seharusnya sebuah pameran berlangsung. Pameran yang mampu menjalin komunikasi timbal-balik dengan baik kepada pengunjung. (Ferry A.)