Dalam rangka pembangunan kebudayaan saat ini salah satu pilar yang tidak boleh dilupakan adalah diplomasi budaya. Pilar pembangunan kebudayaan itu merupakan urgensi yang mendesak, mengingat berbagai aset warisan budaya bangsa tidak sedikit yang membutuhkan upaya diplomasi sebagai upaya pelindungan, pemanfaatan, dan pengembangan. Upaya itu dapat ditinjau dari aspek internal dan eksternal. Aspek tantangan internal berasal dari kesiapan pemerintah melakukan inventarisasi, identifikasi, klasifikasi, registrasi, pendokumentasian, kajian, eksplorasi signifikansi, pengembangan, dan informasi aset budaya skala nasional secara berkelanjutan. Aspek eksternal terkait dengan pengembangan diplomasi budaya secara intensif kepada dunia internasional, baik kepada pemerintah, lembaga budaya, swasta, dan perorangan yang menguasai aset warisan budaya bangsa Indonesia.
Refleksi terhadap fenomena yang berkembang bahwa diplomasi budaya kita sekarang masih menyisakan permasalahan pelik. Pertama, belum maksimalnya pendaftaran potensi warisan budaya bangsa ke lembaga internasional. Kedepan secara intensif pemerintah harus mengekspose berbagai aspek nilai penting, kearifan lokal, dan makna filosofi warisan budaya kita. Di samping itu juga mendaftarkan aset warisan budaya yang mempunyai signifikansi dan karakter budaya yang dapat berlaku secara universal kepada UNESCO. Hal itu dilakukan agar warisan budaya bangsa Indonesia tidak didaftarkan oleh negara lain.
Kedua, advokasi terhadap warisan budaya bangsa yang diklaim sebagai milik negara lain. Tentunya kajian kritis interdisipliner dan multidimensional, baik aspek historis, sosiologis, seni, filosofis, dan kultural tentang berbagai warisan budaya tersebut perlu dilakukan, kemudian diinformasikan menyeluruh. Dengan demikian bangsa ini tidak hanya bersifat reaktif saja, tetapi harus sistemik dan terstruktur dalam mensikapi situasi klaim itu. Perlu diketahui bahwa selama lima tahun (2007 – 2012) negara tetangga serumpun Malaysia sudah mengklaim sebanyak 7 (tujuh) kali potensi budaya Indonesia.
Ketiga, upaya pengembalian warisan budaya bendawi dan kekayaan intelektual yang dikuasai orang maupun lembaga di luar negeri. Langkah strategis dan taktis perlu diupayakan pemerintah dalam berdiplomasi kepada Luar Negeri untuk meminta kembali berbagai dokumen, baik surat, manuskrip, serat, babad, alat musik gamelan, dan berbagai tinggalan budaya lainnya. Berbagai warisan budaya dan dokumen tersebut banyak disimpan di museum pemerintah, lembaga swasta, dan pribadi-pribadi pejabat yang dahulu terlibat di dalam penjajahan dan peperangan dengan penguasa pribumi. Sampa saat ini banyak dokumen dan warisan budaya yang berasal dari Keraton Yogyakarta berada di Negeri Belanda dan Inggris. Suatu contoh : pada saat geger sepoy atau penyerbuan Inggris ke Keraton Yogyakarta masa Hamengku Buwana II pada 205 tahun yang lalu (17 – 20 Juni 1812 M). Banyak dokumen dan harta benda Keraton Yogyakarta yang dijarah dan dibawa oleh para pejabat sipil dan militer antara lain Raffles, Crawurd, Mackenzie, Gillespie, William Thorn, Leod, dll (Carey, 2012). Kondisi sekarang warisan budaya tersebut masih dikuasai oleh keluarga keturunan pejabat yang ikut menyerbu tersebut.
Mengingat berbagai kekayaan warisan budaya tersebut di atas menjadi bagian objek pemajuan kebudayaan, sehingga layak untuk dilacak kembali. Upaya itu menjadi bagian penting tujuan pemajuan kebudayaan, sehingga dapat menjadikannya sebagai haluan pembangunan nasional (UURI No. 5 tahun 2017). Diplomasi kebudayaan apa yang relevan saat ini? Refleksi terhadap pengalaman kasus warisan budaya Arca Prajna Paramita (“Ken Dedes”) yang diperkirakan berasal dari abad ke-13 M pada era kerajaan Singhasari akhirnya dapat dikembalikan pada Januari 1978. Saat ini masih banyak aset budaya yang berada di luar negeri yang dahulu adalah hasil rampasan atau jarahan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat dan personal tentara asing pasca penaklukan penguasa pribumi. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan terobosan langkah diplomasi budaya yang konkrit untuk mendapatkan kembali aset budaya itu kepada pemerintah maupun keluarga pejabat, dan personal militer yang dahulu menguasai dokumen tersebut. Apabila tidak mungkin menghadirkan secara fisik dokumen dan warisan budaya lainnya, maka secara substantif perlu langkah konkrit mengirim tugas belajar dan riset kepada peneliti ataupun menghadirkan informasi dalam bentuk file, micro film, dan perangkat audio-visual lainnya.
Kemampuan pemerintah Indonesia dalam menjalankan diplomasi budaya akan membangun citra sesungguhnya sebagai bangsa yang menghargai dan melestarikan sumberdaya budaya, sejarah, signifikasi budaya, aspek filosofis, dan humanisme sesuai jiwa zamannya. Di samping itu, akan dicatat menjadi negara yang tidak gagal dalam mengampu serta menjalankan visi-misi dan menguatkan pilar-pilar pembangunan kebudayaan bangsanya.