Yogyakarta dalam perjalanan historisnya berandil besar dan menjadi bagian penting pada setiap masa perkembangan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Fakta tersebut didukung dengan adanya artefak yang keberadaannya masih terawat dengan baik hingga saat ini. Salah satunya adalah bangunan SMA Negeri 11 Yogyakarta. Bangunan ini dahulu dikenal sebagai Kweekschool Voor Inlandsche Onderwijzen Djogjakarta. Kweekschool ini dibangun pada tahun 1894.
Sekolah ini merupakan sebuah sekolah eksklusif yang diperuntukkan bagi para calon guru profesional pada masa Hindia Belanda. Maka siswa yang menempuh pendidikan di Kweekschool ini hanya orang-orang tertentu saja. Para siswanya biasanya berasal dari keturunan golongan bangsawan/priyayi.
Bangunan Kweekschool ini memiliki peran sebagai lokasi sebuah peristiwa yang menjadi salah satu tanda kebangkitan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia. Bangunan yang saat ini beralamat di Jalan A.M Sangaji No. 38, Yogyakarta tersebut dipilih menjadi tempat diselenggarakannya Kongres Boedi Oetomo Pertama pada 3-5 Oktober 1908.
Embrio berdirinya organisasi Boedi Oetomo sebagai pelopor organisasi nasionalis pertama di Indonesia diawali dari pemikiran beberapa tokoh besar. Salah satu di antaranya adalah Dr. Wahidin Soedirohusodo, seorang pensiunan dokter Jawa lulusan STOVIA. Dr. Wahidin saat masa pensiunnya gencar melakukan propaganda guna mengumpulkan dana pendidikan bagi anak-anak bumiputra. Propaganda yang dilakukan oleh Dr. Wahidin Soedirohusodo ditujukan bagi para bangsawan/priyayi, pejabat Belanda, maupun kepada pelajar-pelajar di sekolah tinggi.
Cita-cita dari Dr. Wahidin Soedirohusodo pada akhirnya tertanam di benak pelajar STOVIA, seperti Soetomo, Soeradji Tirtonegoro, Goenawan Mangoenkoesoemo, Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, Raden Ongko Prodjosoedirdjo, Mochammad Saleh, dan Raden Mas Goembrek. Pada tanggal 20 Mei dalam sebuah rapat yang bertempat di ruang anatomi STOVIA secara resmi berdirilah organisasi Boedi Oetomo sebagai wadah untuk mewujudkan cita-cita memajukan bidang pendidikan, pengajaran, serta kebudayaan. Peristiwa berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 akhirnya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesia karena dianggap sebagai sebuah tonggak dari lahirnya kesadaran secara kolektif untuk bangkit.
Sebagai tindak lanjut dari berdirinya Boedi Oetomo, pembahasan terkait pelaksanaan kongres mulai dilakukan pada bulan Agustus, dan di bulan yang sama pula telah berdiri cabang Boedi Oetomo di Yogyakarta yang diketuai oleh Dr. Wahidin Soedirohusodo. Berdasarkan rapat persiapan yang dilaksanakan bulan Agustus-September di Bogor dan Jakarta, diputuskan bahwasannya Yogyakarta dipilih menjadi tempat pelaksanaan kongres pertama Boedi Oetomo karena beberapa pertimbangan diantaranya sebagai berikut. Pertama, Yogyakarta dianggap sebagai pusatnya Pulau Jawa. Kedua, Pakualaman dianggap mampu sebagai payung pelindung dalam pelaksanaan kongres. Ketiga, Yogyakarta mudah diakses dengan menggunakan kereta api maupun angkutan darat lainya.
Akhirnya, Kongres Pertama Boedi Oetomo berlangsung pada 3-5 Oktober 1908 bertempat di ruang makan Kweekschool Voor Inlandsche Onderwijzen Djogjakarta (sekarang aula SMA Negeri 11 Yogyakarta). Penyelenggaraan Kongres Pertama Boedi Oetomo diketuai langsung oleh Dr. Wahidin Soedirohusodo dengan dibantu Pangeran Notodirodjo dari Pakualaman sebagai bendahara. Kongres Pertama Boedi Oetomo bersifat terbuka dan dihadiri oleh sekitar 300an orang terdiri dari beberapa golongan mulai dari bangsawan/priyayi, pejabat daerah, guru, pelajar, maupun masyarakat biasa. Pemilihan lokasi kongres yang berada di ruang makan tersebut juga sejalan dengan konsep pelaksanaan kongres yang terbuka. Hal ini ditunjang dengan model bangunan berupa aula yang sangat luas, tanpa sekat ataupun tembok yang mengelilingi bangunan. Maka dapat terlihat dari segala sisi serta mampu menampung banyak orang.
Pelaksaan Kongres Boedi Oetomo sendiri berjalan dengan tertib dan tenang. Meski demikian dialog pemikiran di antara beberapa golongan yang berbeda pendapat menjadi bumbu yang tidak dapat dipisahkan dalam peristiwa tersebut. Mayoritas yang mengikuti kongres berasal dari golongan bangsawan/priyayi. Maka pemikiran terkait organisasi Boedi Oetomo dibawa ke arah yang cenderung bersifat konservatif dengan bertahap untuk mencapai kemajuan. Salah satunya pemikiran tersebut dikemukakan oleh Dr. Radjiman Widiodiningrat. Pendapat itu bertolak belakang dengan keinginan golongan progresif. Golongan ini menghendaki bahwasannya Boedi Oetomo harus lebih berani dalam mengambil tindakan-tindakan guna mencapai arah atau cita-cita yang diinginkan. Pandangan ini salah satunya diwakili oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo. Meski dalam pelaksanan kongres sarat akan perbedaan pandangan dan pendapat, pada akhirnya kongres ini tetap menghasilkan beberapa keputusan. Berupa AD/ART maupun susunan kepengurusan yang nantinya digunakan untuk mencapai kemajuan organisasi secara khusus dan kemajuan bangsa secara umum.
Selain digunakan sebagai lokasi penyelenggaraan Kongres Pertama Boedi Oetomo, Kweekschool juga mempunyai peranan penting dalam organisasi Boedi Oetomo. Mereka turut mengirim perwakilannya yaitu R. Sosro Soegondo yang merupakan guru Bahasa Melayu di Kweekschool. Susunan pengurus Boedi Oetomo yang terpilih dalam kongres pertama antara lain; R.A.A Tirokoesoemo (Bupati Karanganyar) sebagai ketua, R.M. Dr. Wahidin Soedirohusodo sebagai wakil ketua, R.M. Dwidjosewoyo sebagai sekretaris satu, R. Sosro Soegondo sebagai sekretaris dua, dan R.M. Gondoatmojo sebagai bendahara.
Pelaksanaan Kongres Boedi Oetomo yang pertama menjadi sebuah contoh bahwa usaha untuk membangkitkan nasionalisme Indonesia tidak akan terwujud tanpa aksi dan tindakan nyata. Keduanya diperlukan untuk mempermudah mencapai cita-cita yang hendak dicapai. Bangunan Kweekschool menjadi saksi bisu dari peristiwa bersejarah tersebut. Peristiwa yang menjadi penanda kebangkitan nasionalisme dari bangsa ini.
Daftar Bacaan
Soembangsih Gedenboek Boedi-Oetomo 1908 Mei 1918. 1918. Tijdschrift Nederl. Indie Oud & Nieuw. Amsterdam.
Blumberger, Petrus. 1931. De Nationalistche Beweging in Netherlandsch-Indie. Haarlem-H.D. Tjeenk Willink & Zoon N/V.
Surjomihardjo, Abdurrachman. 2000. Sejarah Perkembangan Sosial Kota Yogyakarta 1880-1930. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid II. Jakarta: Gramedia.
Ditulis oleh Eko Susanto, S.Pd.
Pengkaji Pelestarian Cagar Budaya
di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta