Sejak abad ke-9 Masehi sampai masa kerajaan-kerajaan Islam di Jawa keberadaan keris terus berlanjut, bahkan sekarang masih dijumpai pembuatan keris di beberapa tempat. Berdasarkan observasi pada tempat pembuatan keris yang masih dikerjakan oleh para ’empu’ sekarang, diperoleh petunjuk bahwa teknik tempa lipat menjadi ciri khusus pembuatan keris. Pada teknik tempa lipat besi dan pamornya disatukan kemudian ditempa sampai menjadi satu, kemudian dilipat dan ditempa lagi, demikian seterusnya.
Sebuah keris mempunyai ciri yang terdiri atas: (a) Pesi, semacam akar bilah berbentuk bulat, panjang sekitar 7-8 cm, dibuat dari besi untuk ditancapkan ke dalam ukiran (pegangan keris), (b) Ganja, dudukan keris yang terletak pada pangkal bilah. Ada dua macam ganja yakni ganja iras dan ganja susulan. Disebut ganja iras jika ganja tersebut merupakan terusan dari bilah, sedang yang disebut ganja susulan adalah ganja yang lepasan, (c) Wilah, yakni badan keris mulai dari perbatasan ganja sampai ujung tajaman keris (pucuk atau kudhup). Pucuk keris ada yang dinamakan: kudhup nyujen, pucuk yang sangat runcing; kudhup gabah kopong, seperti bentuk gabah; kudhup buntut tuma, ujungnya berbentuk seperti ekor kutu; kudhup kembang gambir, pucuk yang tidak terlalu runcing, tetapi tajam sekali.
Pamor diketahui berasal dari meteor yang jatuh ke bumi. Di Jawa tercatat bahwa pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana IV ditemukan sebongkah meteor yang jatuh di bumi, yaitu sekitar tahun 1723 J atau tahun 1801 M. Meteor yang jatuh di sekitar daerah Prambanan wilayah Surakarta tersebut berukuran tinggi sekitar 50 cm, dan berdiameter 80 cm. Benda tersebut sampai sekarang disimpan di Keraton Surakarta sebagai salah satu benda pusaka keraton, dan disebut ”Kanjeng Kiai Pamor” yang dimanfaatkan dalam pembuatan keris sejak Susuhunan Paku Buwana IV hingga Susuhunan Paku Buwana XI (1939-1945). Penelitian metalurgis terhadap meteor tersebut dengan menggunakan spectrophotometer menunjukkan bahwa di dalam Kanjeng Kiai Pamor terdapat unsur-unsur nikel, titanium, besi, timbal, dan timah putih, atau sekitar 94 % unsur besi dan 5 % unsur nikel.
Ada beberapa jenis meteor, yakni (1) meteorit, mengandung besi dan nikel, kalau ditempa di dalam keris menjadi kelabu; (2) siderit, hanya mengandung besi, kalau ditempa dalam bilah keris menjadi ’pamor ireng’ (warna hitam); dan (3) aerolit, kalau ditempa dalam keris menjadi warna kelabu agak kuning sehingga batas antara pamor dan besi tidak tampak jelas, disebut ”pamor jalada”.
Dilihat dari proses terjadinya, pamor keris dapat dibedakan menjadi dua, yakni (1) pamor Jwalana, pamor yang terjadi dengan sendirinya karena keahlian sang empu, corak dan ragam hiasnya terjadi secara alamiah. Contoh pamor Jwalana adalah: pamor Mega Mendhung, pamor Urap-urap, dan pamor Ngulit Semangka; (2) pamor Anukarta, yakni pamor yang dibuat secara sengaja, direncanakan oleh sang empu. Contohnya: pamor Blarak Ngirid, pamor Kenanga Ginubah, pamor Wiji Timun, pamor Untu Walang, dan pamor Udan Mas.
Kegunaan keris bagi masyarakat Jawa bermacam-macam. Pada mulanya keris adalah senjata tikam dalam perkelahian atau pertempuran. Dalam hal ini, keris dibawa sebagai sipat kandel. Namun dalam perkembangannya, keris tidak lagi berfungsi sebagai senjata, tetapi sebagai tosan aji; artefak karya empu pembuatnya. Sebagai konsep perpaduan ’bapa akasa – ibu pertiwi’ keris dipercaya menyandang kekuatan gaib yang dapat berpengaruh bagi pemiliknya. Akhirnya keris merupakan bagian dari budaya Jawa sebagai salah satu kelengkapan hidup orang Jawa yang tergambar dalam konsep: wisma (rumah), garwa (istri), turangga (kuda), kukila (burung), dan curiga (senjata keris). (Timbul Haryono).