Keris tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa. Bahkan, sebagaimana pernah dinyatakan oleh W.H. Rassers, masyarakat Jawa tanpa keris tidaklah lengkap ‘kejawaannya’. Dalam pandangan hidup orang Jawa, keris atau curiga merupakan salah satu pusaka kelengkapan budaya, terlebih-lebih bagi sebuah kerajaan (keraton). Keris termasuk jenis senjata tradisional produk budaya adiluhung yang banyak dipakai dalam upacara-upacara adat. Seakan-akan keris mewarnai berbagai kehidupan adat dan budaya Jawa sejak zaman kuna sampai pada zaman sekarang. Oleh karena keris di dalam budaya Jawa termasuk benda-benda yang dihormat, maka keris termasuk dalam kelompok benda-benda wesi aji atau tosan aji. Sebagai pusaka, keberadaan keris dianggap sebagai warisan leluhur yang beberapa di antaranya sangat langka, sehingga dapat dimasukkan sebagai benda cagar budaya (BCB) yang perlu dipelihara dan diamankan dari kerusakan.
Bukti secara verbal mengenai keberadaan keris berasal dari sekitar abad IX Masehi pada masa Kerajaan Mataram Hindu. Di dalam Prasasti Rukam disebut kata kris bersama-sama dengan alat-alat dari logam besi yang berfungsi untuk benda sesaji upacara penetapan tanah sima atau tanah perdikan, antara lain kapak, kapak perimbas, beliung, sabit, linggis, tatah, tajak, tombak, pisau, ketam, dan jarum. Dalam prasasti yang lain, yakni Prasasti Wukajana dari abad IX Masehi, juga disebut-sebut tentang keris sebagai salah satu dari kelompok ’wsi wsi prakura’ sebagai kelengkapan sesaji. Hal tersebut sejalan dengan keterangan lain dalam prasasti-prasasti Jawa kuna bahwa pada abad ke-9 Masehi telah ada berbagai pande logam seperti: pandai wsi (pande besi), pandai mas (pande emas), pandai tamra (pande tembaga), pandai kangsa (pande perunggu) serta penyebutan pandai sisinghen yang berarti tukang pembuat senjata tajam. Prasasti-prasasti tersebut cukup membuktikan bahwa keris telah ada pada abad IX Masehi.
Besi sebagai bahan baku pembuatan keris oleh para empu dianggap memiliki sifat dan khasiat tertentu sesuai dengan jenisnya. Jenis besi yang bersifat dan berkhasiat baik antara lain: (1) Karangkijang, yang berwarna hijau kebiru-biruan seperti warna air laut, berserat halus. Besi ini dipercaya berkhasiat sabar, bijaksana, berwibawa, bagi pemiliknya; (2) Purasani, berwarna hijau mengkilap seperti samberlilen, berserat halus, dan dipercaya memiliki khasiat tenteram, banyak rezeki, dihormati, dan dapat berfungsi sebagai penolak bala; (3) Mangangkang lanang, berwarna hitam agak ungu, yang dipercaya memiliki khasiat yang ampuh sekali, ditakuti lawan, dicintai teman.
Jenis besi yang dianggap berkhasiat tidak baik adalah: (1) Randhet, berwarna putih dan keruh, kadang poleng atau belang, kalau diraba halus, namun berkhasiat membuat permusuhan, perselisihan, memecah belah pergaulan; (2) Kaleman, berwarna hitam dan kasab seperti berlumut. Besi jenis ini dipercaya memiliki khasiat pemilikmya bersifat pasif, malas.
Pada bilah keris terdapat “lukisan” yang disebut pamor. Pamor yang berarti campur atau berpadu, terbuat dari campuran besi baja dan besi dari batu meteor. Para ahli berpendapat bahwa batu meteor termasuk fenomena alam yang langka karena datang dari angkasa jatuh ke bumi. Batu tersebut mempunyai sifat sangat keras dan karena langkanya maka tidak semua keris dapat menggunakan bahan pamor dari batu meteor. Sebagai gantinya digunakan logam nikel yang banyak ditambang di daerah Sulawesi Tenggara. Tosan aji yang menggunakan pamor nikel seperti tersebut kemudian lazim disebut pamor Bugis.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa bahan keris terdiri atas besi yang ditambang dari perut bumi dan bahan pamor yang jatuh dari angkasa. Persatuan keduanya secara simbolik identik dengan persatuan antara ‘bapa akasa’ – ‘ibu pertiwi’, proses penyatuan unsur-unsur terestrial dan selestial, penyatuan ‘quasi-seksual’. Bagi masyarakat Jawa yang akrab dengan keris, pamor ada beberapa jenis dan dipercaya mempunyai khasiat bagi pemiliknya dan menunjukkan nilai keindahan yang sangat tinggi. Jika dilihat dari khasiatnya, ada pamor yang berkhasiat baik dan ada pula yang berkhasiat tidak baik. Pamor yang secara simbolik dianggap memiliki khasiat baik antara lain: pamor Kulbuntet, pamor Mayang Sekar, dan pamor Tumpuk. Adapun yang berkhasiat kurang baik adalah pamor Buntel Mayit, pamor Pegatwaja, dan pamor Nyahak.
Berdasarkan bentuknya, bilah keris dibedakan menjadi dua macam. Pertama, Dhapur leres (bilah berbentuk lurus) yang mempunyai ragam lebih dari 100 macam, antara lain: Semartinandhu, Panjianom, Jakatuwa, Bethek, Karnatinandhing, Semarpethak, Jamangmurub, Kalamisani, Pasopati, Sinomworawari, Tilamupih, Tilamsari, Condhongcampur, Jalakngore, dan Yuyurumpung. Kedua, Dhapur luk (bilah berbentuk bengkok) yang meliputi lebih dari 200 macam. Jumlah luk (kelokan) umumnya ganjil: 1, 3, 5, 7, 9, 11, dan seterusnya, sampai luk 29.
Periode pembuatan keris (tangguh) tidak mudah ditentukan, namun pada prinsipnya untuk keris Jawa ada dua macam tangguh yang disebut tangguh sepuh (tua) dan tangguh nom (muda). Tangguh sepuh adalah keris yang dibuat pada zaman kuna sampai sekitar abad XVI dan XVII, yakni: tangguh Kadewatan, keris yang dibuat pada abad II, tangguh Purwacarita, keris yang dibuat pada abad III, tangguh Mataram Hindu, keris yang dibuat pada abad VIII, IX, sampai X; tangguh Kauripan, keris yang dibuat pada abad XI, tangguh Pejajaran, keris yang dibuat pada abad XIII dan XIV, tangguh Majapahit, keris buatan abad XIV dan XV; tangguh Demak, buatan pada abad XVI; tangguh Pajang, buatan pada abad XVI, tangguh Mataram Islam, buatan abad XVI dan XVII. Adapun yang termasuk tangguh nom adalah tangguh Kartasura, keris buatan abad XVII dan XVIII; tangguh Surakarta, Yogyakarta, Madura, buatan abad XVIII, XIX. dan XX.