Jejak Pembuktian
Padukuhan Brayut, Kalurahan Pandowoharjo, Kapanewon Sleman pernah menjadi markas pejuang saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Terdapat peristiwa penting yang tercatat dalam memori sejarah, tepatnya pada 6 Mei 1949 pejuang Suryo Suparjo memimpin pertempuran terhadap pasukan Belanda yang menuju Turi.
Ternyata jumlah pejuang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pasukan Belanda, sehingga sebanyak 14 orang gugur, antara lain Sarjiman, R. Budiwiyono, Darmo Suprapto, Prawirodimejo, Kromo, Suridikromo, Cokrowiharjo, Jono, Kusen, Haryono, Suprapto, R. Supraptoharjo, Wongso Paijo, dan Dalijo. Beberapa pejuang yang selamat bersembunyi di sebuah pipa irigasi timur padukuhan. Oleh warga Brayut saat ini, pipa tersebut disebut bunker. Untuk mengenang pertempuran tersebut, Pemerintah Kabupaten Sleman membangun monumen tetenger Brayut.
Keberadaan Brayut yang vital saat itu meninggalkan berbagai jejak perjuangan rakyat. Menurut Sudarmadi, pengelola Desa Wisata Brayut, saat beliau muda terdapat 4 truk dan 2 motor harley bekas kendaraan operasional tentara rakyat yang dirampas dari tangsi tentara Jepang. Sayangnya kendaraan tersebut saat ini tidak dapat ditemui kembali karena telah dijual sebagai barang rongsok.
Berbagai senjata rampasan juga ditemukan di beberapa rumah penduduk seperti karaben, mauser, dan gerund. Peluru dan bom bagaikan harta karun bagi para pejuang pada masa lalu. Pernah ditemukan setidaknya 360 butir peluru dan granat di sekitar pondasi rumah warga, hingga bom seberat 21 kilogram di pinggir sungai sebelah timur padukuhan. Kemungkinan di Brayut masih ada kotak-kotak besi berisi amunisi yang masih terpendam.
Sebelum menjadi padukuhan seperti saat ini, Brayut di awal tahun 1900-an merupakan pusat Kelurahan Brayut. Walaupun sebagai pusat kelurahan, saat itu kantor lurah masih berada di rumah lurah yang menjabat. Setidaknya terdapat 2 rumah joglo yang pernah digunakan sebagai kantor kelurahan yaitu Joglo Mertoredjan dan Joglo Kartopiyogo. Fungsi sebagai kantor lurah bertahan hingga akhir tahun 1940-an karena terjadi blengketan atau penggabungan kalurahan Brayut dengan Majegan, Jabung, Sawahan, dan Tlacap menjadi Kalurahan Pandowoharjo.
Brayut memiliki beragam bentuk rumah tradisional Jawa yang terawat dengan baik. Ragam bentuk rumah tradisional Jawa yang ada antara lain joglo, limasan sinom, limasan cere gancet, limasan pacul growang, dan kampung.
Usia rumah-rumah tersebut rata-rata setengah abad bahkan lebih, tentunya menyimpan nilai penting bagi keluarga pemilik maupun warga Brayut. Salah satunya adalah rumah joglo Mertoredjo. Pemilik asal joglo Mertoredjo adalah Lurah Mertoredjo yang merupakan lurah pertama Brayut dan merupakan keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono II. Sebagai keturunan ningrat dan menjadi pimpinan di suatu wilayah, menjadikannya berhak untuk membangun rumah joglo.
Rumah joglo sebagai bangunan tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta berkerangka bangunan utama terdiri dari empat tiang utama atau saka guru sebagai penyangga dengan saling mengunci dengan tumpangsari yaitu susunan balok yang disangga saka guru.
Ruang-Ruang yang Tetap Terjaga dan Tidak Pernah Sepi
Joglo Mertoredjo terbagi menjadi dua yaitu bagian luar dan dalam. Bagian luar terdiri dari teras, pendopo, dan pringgitan. Roda pemerintahan kelurahan pada masa Lurah Mertoredjo bertempat di pendopo. Model pendopo bertelundak yaitu pada bagian tengah satu trap lebih tinggi pada bagian emper sekelilingnya. Hal ini berkaitan dengan pola strata sosial zaman dahulu lebih tegas. Konon, jika sedang ada pasamuan atau pertemuan, pejabat duduk di bagian yang lebih tinggi daripada rakyat biasa.
Ruang bagian dalam digunakan untuk tempat tinggal lurah. Bagian-bagiannya terdiri dari dalem, senthong kiwa, senthong tengah, senthong tengen, sepen, dapur, dan lumbung. Sepen berarti ruang yang paling sempit berada di bagian belakang sebelah barat. Pada zamannya digunakan untuk penjara atau kurungan sementara bagi pencuri maupun orang yang bertindak salah. Fungsi “senthong tengah” telah berubah dari peruntukkan semula, yaitu sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka seperti keris, patung Dewi Sri, dan sebagainya. Saat ini difungsingkan sebagai kamar tidur. Bagian terakhir adalah lumbung, ruang ini cukup vital pada zamannya karena warga Brayut termasuk petani yang memiliki lahan luas. Setidaknya pada masa Lurah Mertoredjo setiap keluarga memiliki luas lahan 6 ha (hektare).
Joglo Mertoredjo sempat kosong dan tidak digunakan untuk berbagai aktivitas kurang lebih 14 tahun karena pada sekitar tahun 1980-an telah ditinggal pemiliknya. Warga sekitar pada pertengahan 1990-an secara bertahap berinisiatif memperbaiki bagian-bagian bangunan yang rusak terutama lantai, wuwung, talang, usuk, reng, dan genteng secara swadaya.
Menurut Vitasurya seorang arsitek yang meneliti bangunan di Brayut, Joglo Mertoredjo masih menggunakan atap empyak raguman yaitu susunan bilah bambu yang ditata secara memanjang, tidak hanya menopang kekuatan namun memberi suasana alami dalam rumah tradisional Jawa. Empyak raguman yang memiliki tingkat kerumitan tinggi saat ini menghadapi ancaman dan tantangan pelestariannya karena tenaga kerja yang mampu mengerjakan struktur atap ini semakin sedikit. Padahal, empyak raguman merupakan bagian bangunan yang menjadi ciri khas Kabupaten Sleman berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 15 tahun 2015 tentang pengelolaan warisan budaya dan cagar budaya.
Kebijakan pemerintah dalam pelestarian rumah tradisional Jawa di Brayut memberikan dampak pada kewajiban rumah tangga untuk merawat dan melestarikan karakteristik gaya bangunan tradisional. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2015 telah menetapkan Joglo Mertoredjo dengan Piagam Penghargaan Nomor 136/PG/2015 tentang Pelestari dan Penggiat Budaya di Bidang Pelestari Warisan Budaya sebagai bangunan warisan budaya. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah adanya bantuan dana perawatan oleh pemerintah yang diberikan secara berkala. Penggunaan dana bantuan tersebut untuk merenovasi terbatas bagian-bagian yang rusak seperti blandar, empyak, dan wuwung.
Pola pewarisan Joglo Mertoredjo tidak membagi atau memecah rumah tetapi yang dibagi adalah tanahnya. Ahli waris secara sepakat tetap melestarikan rumah ini sebagai suatu kebanggaan keluarga yang jangan sampai berubah bahkan hilang. Walaupun kepemilikan tanah telah dibagi waris. Arya Ronald seorang arsitek kenamaan pernah menyatakan bahwa sifat nyekecakne salira (membuat nyaman) pada masyarakat Jawa ternyata memberikan pengaruh terhadap penentuan tempat tinggal yang mengarah pada sasaran kepuasan diri, pengakuan dari masyarakat, dan kasih sayang yang diberikan masyarakat di lingkungannya. Bahan yang baik dan kerumitan pembuatan tinggi membuat tidak hanya keluarga pemilik saja, tetapi seluruh warga Brayut pun bangga untuk melestarikannya.
Atas seizin ahli waris, walaupun telah turun waris pada generasi ke-4 rumah ini tetap dijaga keaslian bangunannya dan mulai dipergunakan untuk beberapa pertemuan dan area kegiatan Yayasan Ani-Ani termasuk juga sebagai homestay dan sekretariat desa wisata sejak tahun 1997.
(Ditulis oleh Dias Oktri Raka Setiadi. Tulisan ini mengantarkan penulisnya meraih juara pertama lomba menulis feature dalam kegiatan Jelajah Budaya Virtual yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2020)