Di Kota Yogyakarta pada masa pendudukan Belanda, terdapat sebuah wilayah yang khusus didirikan untuk orang Belanda. Pemukiman ini disebut Kawasan Kotabaru. Kawasan ini mulai dibangun pada tahun 1920-an. Pembangunan kawasan ini merupakan konsekuensi dari pertumbuhan jumlah warga Belanda di Yogyakarta, karena berkembangnya industri gula tebu dan perkebunan – perkebunan lain, serta makin banyaknya kaum profesional, yang di antaranya bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, dan bisnis.
Kawasan Kotabaru berada di sebelah timur Sungai Code. Dulunya Kotabaru disebut Nieuwe Wijk. Selo Soemardjan menyebutkan jika Kotabaru adalah suatu daerah pemukiman yang dikhususkan untuk orang Belanda dengan bangunan fasilitas umum yang terbaik. Kotabaru mirip dengan “Holland Kecil” yang berada di tengah-tengah lingkungan Jawa dan penghuninya. Kota ini sedikit sekali berhubungan dengan masyarakat di luarnya.
Rancangan kawasan tersebut sangat rapi dengan pemanfaatan ruang yang teratur. Tata ruangnya dirancang seperti kawasan pemukiman di Belanda dengan pola radial, tidak berorientasi pada arah utara – selatan seperti halnya konsep tata ruang tradisional. Bangunan – bangunan dirancang dengan gaya arsitektur Eropa yang diadaptasikan dengan iklim tropis. Dengan demikian ciri – ciri yang utama dari bangunan tersebut antara lain: bangunannya tinggi, besar, berhalaman luas, jendela dan pintu besar dengan krepyak, langit – langit tinggi, ada hiasan kaca-timah, dan teras terbuka.
Sejumlah bangunan fasilitas yaitu fasilitas keagamaan yang terdapat di Kotabaru yaitu gereja Katolik Santo Antonius, gereja Gereformeerde Kerk (sekarang gereja HKBP), dan Kolese Santo Ignatius sebagai tempat pendidikan para imam Yesuit. Fasilitas kesehatan berupa rumah sakit Petronella (sekarang Bethesda), dan rumah sakit militer (sekarang DKT). Sementara fasilitas olehraga berupa stadion Kridosono dan fasilitas pendidikan di antaranya: ELS (sekarang SD Jl. Ungaran), Noormaalschool (sekarang SMP Negeri 5 ), Christelijk MULO (SMA BOPKRI I) dan AMS (SMA Negeri 3).
Kawasan ini pada masa pendudukan Jepang, diambil alih oleh Jepang antara lain untuk kepentingan perkantoran, perumahan, tangsi dan gudang. Salah satu perwira tentara Jepang yaitu Butaico Mayor Otsuka menempati rumah bekas karyawan Nilmij, sekarang Kantor Asuransi Jiwasraya Yogyakarta. Rumah tersebut pada tanggal 6 Oktober 1945 digunakan sebagai tempat perundingan para pejuang yang dipelopori oleh Moh. Saleh Bardosono dengan Mayor Otsuka dalam rangka penyerahan senjata.
Pada waktu Yogyakarta menjadi Ibu Kota Republik Indonesia (4 Januari 1946 – 1949) terdapat sejumlah bangunan yang dipergunakan untuk kepentingan pemerintah. Bangunan – bangunan tersebut antara lain Gedung Seminari Tinggi (sekarang Kolese Santo Ignatius) digunakan sebagai Kantor Kementerian Pertahanan, Christelijk MULO (sekarang SMA BOPKRI I) untuk Akademi Militer, AMS (sekarang SMA Negeri 3) untuk menampung pelajar pejuang. Selain itu, rumah Letjen Oerip Soemohardjo (sekarang menjadi Kantor Dinas Parsenibud Kota Yogyakarta) menjadi titik akhir rute gerilya Panglima Besar Jend. Sudirman pada tahun 1949, dan kantor Kementerian Luar Negeri di gedung yang dipakai sebagai kantor Bidang Muskala Depdiknas.
Latar belakang sejarah dan corak arsitektural menjadikan Kawasan Kotabaru sebagai salah satu citra kawasan bagi Kota Yogyakarta. Sayangnya pada saat ini kawasan Kotabaru yang mempunyai kekhasan gaya arsitektur bangunan, pola, dan tata ruang, secara fisik telah mengalami perubahan dan “penggusuran” pada banyak bangunannya. Maka dibutuhkan kesadaran dan kepedulian untuk mempertahankan eksistensi kawasan ini. (Shinta Dwi Prasasti)