Gua Braholo merupakan salah satu gua hunian prasejarah yang berada dalam jajaran pegunungan karst Gunung Sewu. Gua ini terletak di Desa Semugih, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gua ini ditemukan oleh Bidang Prasejarah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, ketika melakukan survei di seluruh wilayah Gunung Sewu pada tahun 1996. Belasan gua ditemukan di bagian barat pegunungan ini dan salah satu di antaranya adalah Gua Braholo, yang kemudian ditindaklanjuti dengan melaksanakan ekskavasi pada tahun 1997 dan 1998.
Penelitian di Gua Braholo merupakan bagian dari penelitian skala makro tentang eksploitasi sumber daya di daerah Gunung Sewu. Daerah yang memanjang pada arah timur – barat di bagian selatan Jawa ini terdiri dari pegunungan karst yang khas, berbentuk setengah bulatan atau kerucut diselingi lembah atau dataran sempit. Berbagai tinggalan prasejarah dari budaya tertua (paleolitik) hingga termuda (paleometalik) tersebar dengan padat, lebih – lebih di bagian timur. Budaya bercorak paleolitik lebih terkonsentrasi di sepanjang aliran sungai, seperti Kali Baksoka, Kali Wuni, Kali Pasang, Kali Sirikan, dan Kali Gede. Sebaran Paleolitik mencapai Kali Giritontro di daerah Wonogiri dan Kali Oyo di daerah Wonosari. Budaya Mesolitik lebih terpusat di gua atau ceruk, sementara budaya bercorak neolitik lebih terpusat di bentang alam terbuka.
Satu – satunya penelitian mengenai kehidupan gua tercatat pada tahun 1996 yang dilakukan oleh Puslit Arkenas. Melalui eksplorasi intensif ditemukan belasan gua di daerah ini dan salah satunya di antaranya adalah Gua Braholo. Di antara gua – gua tersebut, Gua Braholo menampakkan indikator hunian paling kuat berupa temuan permukaan, seperti sisa fauna yang melimpah dan artefak batu. Berdasarkan temuan tersebut dipandang perlu untuk mengadakan ekskavasi di daerah ini.
Penelitian intensif selama lima tahun dengan dukungan dari “The Toyota Foundation” di Gua Braholo telah dimulai sejak tahun 1995 dipimpin oleh Prof. Truman Simanjuntak dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta. Pada penelitian tersebut telah dibuka 14 kotak ekskavasi dengan temuan yang sangat padat, terdiri dari tembikar, sisa biji-bijian yang sebagian besar di antaranya terbakar dan hangus, sisa fauna yang sangat melimpah, sisa industri batu, sisa industri tulang dan cangkang kerang.
Berdasarkan hasil ekskavasi dapat diketahui membuktikan bahwa Gua Braholo dihuni dalam paling tidak sejak akhir Plestosen hingga Holosen. Lapisan 1 – 4 berumur Holosen, selanjutnya lapisan 5 -7 berumur akhir Plestosen.
Industri alat batu (litik) di Gua Braholo menggunakan bahan baku batuan yang bervariasi, namun miskin dalam tipologi. Pada umumnya terbuat dari rijang dan batu gamping, kemudian juga digunakan jasper, kalsedon, dan fosil kayu. Tipologi artefak litik yang ditemukan di Gua Braholo, secara teknis menampakan corak budaya yang lengkap, mulai paleolitik, mesolitik, dan neolitik. Corak paleolitik berupa alat-alat massif dari batu gamping berupa alat batu inti dan kapak perimbas. Corak mesolitik berupa alat serpih-bilah, sedangkan corak neolitik berupa beliung persegi dari batu gamping, cangkang kerang, dan fosil tulang.
Alat tulang yang ditemukan di Gua Braholo dapat diklasifikasikan menjadi lancipan, spatula, jarum, dan alat tanduk. Berdasarkan aspek bentuk dan teknologinya, lancipan dan spatula dari Gua Braholo memiliki kesamaan dengan yang ditemukan di gua-gua lain di Jawa Timur. Alat tulang yang paling khas dari situs ini adalah jarum dengan runcingan ganda dalam ukuran kecil, dan sejauh ini belum pernah ditemukan di situs lainnya.
Artefak cangkang kerang yang ditemukan di Gua Braholo terdiri dari serut, penusuk, serut-penusuk, alat pengupam, alat sudip, beliung persegi, dan perhiasan. Alat serut dan lancipan dibuat dari serpihan hasil pemecahan cangkang kerang. Selain sebagai alat, di Gua Braholo cangkang kerang juga dimanfaatkan sebagai perhiasan atau aksesoris.
Sampai saat ini di Gua Braholo telah ditemukan sisa – sisa manusia yang berasal dari 8 individu. Sebagian menunjukkan penguburan primer dengan bagian tubuh yang relatif lengkap dalam susunan anatomis, dan sebagian lainnya menunjukan sisa penguburan sekunder dengan sisa bagian tubuh yang terbatas. Berdasarkan konteks stratigrafinya, rangka-rangka manusia tersebut berada dalam rentang waktu sekitar 5.000 tahun, berumur antara 9.000 hingga 4.000 tahun yang lalu.
Berdasarkan analisis morfologi dapat diketahui sebagian besar manusia Gua Braholo memiliki karakter ras Australo-Melanesoid, sedangkan tiga individu lainnya belum dapat diketahui karena keterbatasan sisa anatomis yang terkonservasi.
Penemuan rangka-rangka di Gua Braholo ini telah mengisi kekosongan data manusia penghuni kawasan Gunung Sewu pada periode paruh awal Holosen, yang mengembangkan budaya industri serpih-bilah serta alat-alat tulang dan cangkang kerang. Migrasi manusia dengan ciri ras Australo-Melanesoid ke kepulauan Nusantara diduga berasal dari Asia Tenggara Daratan setidaknya sejak 11.000 tahun yang lalu, ketika terjadi kenaikan air laut. (Shinta Dwi Prasasti)