Gua Braholo terletak di Desa Semugih, Kecamatan Rongkop, Gunung Kidul.
Gua Braholo terletak di Desa Semugih, Kecamatan Rongkop, Gunung Kidul.

Gua Braholo terletak di Desa Semugih, Kecamatan Rongkop, Gunung Kidul. Selama periode penghunian yang panjang, sejak 33.000 tahun yang lalu, berbagai jenis artefak diproduksi oleh pemukim Gua Braholo. Artefak batu, artefak tulang, dan artefak dari cangkang moluska yang dihasilkan memiliki variasi yang cukup besar. Pada lapisan budaya terbawah yang dianggap mewakili budaya Pleistosen Akhir, jenis artefak yang ditemukan semuanya terbuat dari batu, terdiri atas jenis-jenis serpih yang cenderung berukuran besar dan kasar. Di samping itu juga ditemukan tulang-tulang fauna besar.

Lapisan budaya yang berumur sekitar 12.000-6.000 tahun yang lalu meng-andung jenis-jenis artefak yang dikategorikan ke dalam teknologi preneolitik. Lapisan budaya ini mengandung temuan yang sangat melimpah, terdiri atas alat- alat batu, tulang, dan cangkang moluska. Bukti-bukti penguburan delapan individu yang sebagian besar bercirikan ras Australomelanesoid juga ditemukan. Lapisan budaya selanjutnya merupakan transisi antara tahapan budaya preneolitik dan neolitik, sebagaimana dicirikan melalui percampuran antara dua corak tinggalan. Pada lapisan budaya teratas, ciri-ciri neolitik tampak dari temuan sejumlah fragmen gerabah dan kapak persegi dari fosil tulang. Selain itu juga ditemukan fragmen-fragmen tulang fauna dan beberapa jenis biji-bijian.

Dari lapisan atas hingga bawah, temuan artefak tulang sangat dominan. Hal ini menunjukkan bahwa pada awal Holosen, kawasan Pegunungan Seribu menjadi pusat produksi artefak tulang, di samping artefak batu, tanduk rusa, dan cangkang moluska. Salah satu produk yang dianggap khas adalah jarum tulang berujung ganda (double pointed needle) yang sebelumnya dikenal di Sulawesi Selatan sebagai lancipan muduk. Melimpahnya tulang binatang sebagai sisa perburuan, termasuk sejumlah besar artefak tulang, menunjukkan bahwa perburuan binatang merupakan strategi kehidupan yang paling adaptif selama beribu-ribu tahun di kawasan karst Gunungkidul. Limbah tulang yang dihasilkan bahkan mampu menopang berkembangnya teknologi pembuatan artefak-artefak tulang dalam berbagai bentuk. Bersamaan dengan aktivitas berburu binatang, tidak tertutup kemungkinan dilakukan pula pengumpulan bahan makanan dari tumbuhan, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk omnivora yang tidak dapat eksis hanya dengan mengkonsumsi daging sepanjang hidupnya.