Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dahulu pernah digunakan oleh Gerakan Mason untuk melakukan aktivitasnya. Gerakan Mason muncul di Hindia Belanda pada tahun 1760. Gerakan Kemasonan berasal dari istilah Inggris, Freemasonry atau dalam bahasa Belanda disebut vrijmetselarij yang berarti para Mason/tukang batu bebas. Gerakan para Mason bergerak di bidang pembangunan karakter diri, salah satu cabangnya melalui pengajaran di sekolah yang mereka dirikan.
Gedung Mason merupakan istilah dalam bahasa Indonesia dari Logegebouw (Gedung Loge/Loji), gedung ini digunakan anggota para Mason sebagai tempat berkumpul dan melaksanakan kegiatan internal organisasi. Kegiatan tersebut bersumber tradisi pengajaran dan latihan persaudaraan para anggotanya era abad pertengahan yang mengedepankan berpikir bebas menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Tujuan kegiatan itu untuk membentuk kesadaran untuk selalu menekankan kebebasan, kesetaraan, melakukan amal, dan taat kepada aturan yang ada. Kehadirannya sering menimbulkan pro dan kontra, akan tetapi eksistensinya berkembang dan mempunyai banyak pengikut.
Kehadiran Freemason di Yogyakarta akhirnya menarik perhatian para bangsawan pribumi dari Puro Pakualaman Yogyakarta untuk menjadi pengikutinya. Berdasarkan catatan Gedenkscrift Paku Alam VII (1931), bangsawan yang menjadi anggota Mason pada tahun 1871 adalah Pangeran Aryo Suryodilogo (kelak menjadi Paku Alam V). BPH Notodirojo, salah satu keluarga Pakualaman juga menjadi salah seorang pangeran yang menyebarluaskan Gerakan Kemasonan di Yogyakarta.
Berbagai acara dilaksanakan di Loji Mataram (nama resmi gedung itu), sebagian masyarakat menyebut gedung tersebut dengan nama ”Gedung Setan”. Penamaan ”Gedung Setan” terkait dengan berbagai kegiatan yang dilakukan bersifat eksklusif, berkaitan dengan spiritualitas, dan tidak bersifat fisik atau hal-hal tidak berwujud maupun pelafalan istilah yang keliru. Nama lain gedung Loji adalah Huis van Overdenking atau Omah Pewangsitan. Masyarakat yang kurang dapat secara sempurna melafalkan istilah Pemangsitan menyebabkan makna yang sebenarnya menjadi terdistorsi. Masyarakat melafalkan secara keliru “Pewangsitan’ menjadi “setan”. Gedung bekas Loji Mataram ini sudah tidak lagi digunakan oleh Gerakan Kemasonan saat Jepang menduduki Jawa dan melarang seluruh kegiatan Freemasonry.
Pada tahun 1948-1950 gedung beralih fungsi menjadi fasilitas bagi organisasi sosial politik. Pada masa transisi pasca kepindahan ibu kota Republik Indonesia ke Kota Yogyakarta dan kembalinya Kota Yogyakarta menjadi fasilitas yang terkait dengan kegiatan sosial politik BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat).
Peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di gedung ini yaitu pencetusan politik luar negeri Indonesia ”bebas aktif” oleh Kabinet/Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta pada 2 September 1948 di depan sidang BPKNIP. Di sidang BPKNIP Bung Hatta mengucapkan pidato bertajuk ”Mendayung Antara Dua Karang”. Hal itu diucapkan ketika Republik Indonesia masih berada dalam blokade Belanda. (Hari Warta, 3 September 1948).
Setelah kembalinya ibu kota Republik Indonesia ke Jakarta pada 1949, pihak Kesultanan Yogyakarta menyerahkan pemakaian gedung kepada Pemerintah Daerah DIY untuk digunakan sebagai Gedung DPRD DIY. Dari penyerahannya tahun 1951 hingga sekarang masih digunakan sebagai Gedung DPRD DIY.
Bangunan Gedung DPRD DIY diperkirakan didirikan pada akhir abad ke-19. Oleh karena itu, bangunan berlanggam gaya indis ini dapat disebut mendekati model empire style. Beberapa corak gedung yang menonjol adalah bagian fasad terdapat teras terbuka, struktur dinding segitiga corak tympanum di bagian tritis, dan di teras dilengkapi dengan beberapa tiang kokoh bulat stereotipe dengan model dorik. Gedung DPRD DIY menghadap ke arah barat. Bangunan ini ditetapkan sebagai cagar budaya dengan Per.Men Budpar RI No. PM.89/PW.007/MKP/2011. Letaknya di Jalan Malioboro No. 54, Yogyakarta.(snta/fry)