Prasasti Siwagrha yang berangka tahun 778 Saka (856 Masehi) menyebutkan bahwa Candi Prambanan diresmikan pada tahun tersebut. Peresmian dilakukan oleh seorang raja bernama Jatiningrat. Setelah itu tidak ada informasi apa pun terkait candi ini.
Candi Prambanan mulai kembali dikenal pada tahun 1733. Berdasarkan laporan seorang pegawai VOC, C.A. Lons. Lons melakukan kunjungan ke berbagai tempat di Surakarta dan Yogyakarta. Objek kunjungan meliputi peninggalan bangunan di keraton Kartasura, Kotagede, dan juga reruntuhan candi di sekitar Prambanan. Laporan Lons menyebutkan adanya bukit-bukit di mana bebatuan menyembul di puncaknya. Meskipun terdapat keraguan apakah laporan itu menyebutkan tentang Candi Prambanan atau candi Sewu.
Reruntuhan candi tersebut kembali mendapat perhatian pada masa penguasaan Inggris, di bawah kepemimpinan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles pada 1811-1816. Raffles memerintahkan C. Mackenzie dan G. Baker melakukan survei dan deskripsi dari reruntuhan yang ada di sekitar Prambanan. Hasil laporan dari Mackenzie dan Baker kemudian ditindaklanjuti oleh John Crawfurd, residen Yogyakarta masa itu. Tindakan Crawfurd ini kemudian menjadi rintisan penelitian arkeologis Candi Prambanan dan candi-candi di sekitarnya. Deskripsi yang dibuat pada masa Raffles ini kemudian dituangkan dalam buku The History of Java. Buku ini terbit pada tahun 1817.
Pada masa penguasaan Raffles, Candi Prambanan dikunjungi oleh penguasa Keraton Yogyakarta masa itu, Sultan Hamengku Buwono III. Candi Prambanan juga menjadi salah satu objek kunjungan dari J.W. Ijzerman, ketua Archaeologische Vereeniging van Jogja, sebuah perkumpulan arkeologi di Yogyakarta yang didirikan pada tahun 1885.
Kunjungan Sultan Hamengku Buwono III
Desember 1812, Sultan Hamengku Buwono III, mendapat undangan dari John Crawfurd, untuk berkunjung ke candi Prambanan dan candi Sewu. Babad Bedhah ing Ngayogyakarta karya Bendoro Pangeran Aryo Panular (1771-1826) menceritakan tentang kunjungan tersebut pada pupuh XXXIII. Pangeran Aryo Panular sendiri adalah salah satu putra Sultan Hamengku Buwono I sekaligus menjadi mertua dari Sultan Hamengku Buwono III.
Babad Bedhah ing Ngayogyakarta menyebutkan jika rombongan Sultan Hamengku Buwono III ini didampingi John Crawfurd, John Deans (Sekretaris Residen Yogya), Mayor Dennis Harman Dalton (komandan garnisun) dan Kapitan Cina Tan Jing Sing. Sultan dan para pendampingnya menggunakan kereta. Rombongan ini berangkat pada pukul tujuh pagi dikawal oleh tentara Inggris. Peter Carey dalam buku Inggris di Jawa (1811-1816) menyebutkan jika tentara Inggris yang mengawal adalah tentara Sepoy dari Bengal Light Infantry Volunteer Battalion.
Setiba di Prambanan, mereka berhenti sejenak di pesanggrahan yang berada di tepi jalan untuk menikmati suguhan dari John Crawfurd. Setelah itu mereka langsung menuju ke candi Prambanan. Rombongan langsung menyaksikan arca Loro Jonggrang (penyebutan untuk arca Durga Mahisasuramardini berdasarkan legenda yang berkembang di masyarakat). Setelah melihatnya, Sultan Hamengku Buwono III memerintahkan pamannya, Pangeran Kusumoyudo untuk membuat sketsa tokoh tersebut. Pangeran Kusumoyudo adalah salah satu putra Sultan Hamengku Buwono I dari selir, Mas Ayu Wilopo. Peter Carey menyebutkan jika Sang Pangeran memiliki keterampilan dalam bahasa, ketertarikan pada sejarah Jawa dan penyusunan babad.
Setelah itu, rombongan melanjutkan perjalanan ke arah utara untuk melihat Candi Sewu. Sepulang dari kunjungan ke Candi Sewu, Sultan Hamengku Buwono III kembali berhenti di pesanggrahan untuk melihat sketsa yang telah dibuat oleh Pangeran Kusumoyudo. Sketsa arca Loro Jonggrang sudah selesai. Namun sketsa arca-arca lain, relief, gerbang dan bangunan yang hancur belum dibuat. Maka Sultan meminta Pangeran Kusumoyudo beserta asisten seninya, Adiwarno untuk tetap tinggal dan menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Sebelum kembali ke keraton, rombongan singgah sejenak di pasar untuk menikmati buah-buahan yang berasal dari kebun milik sultan. Setelah itu, Sultan dan rombongan kembali ke keraton.
Kunjungan Ijzerman
J.W. Ijzerman adalah ketua Archaeologische Vereeniging van Jogja yang menjabat mulai Mei 1886. Ijzerman menyebutkan jika tujuan pendirian perkumpulan Arkeologi pada 1885 ini adalah untuk mengumpulkan data. Data tersebut digunakan sebagai studi arkeologi di Jawa Tengah.
Kunjungan Ijzerman sebenarnya tidak hanya dilakukan ke Candi Prambanan. Kunjungan ini juga dilakukan ke sejumlah candi dan peninggalan arkeologi yang ada di sekitar Kawasan Prambanan (mencakup wilayah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Kraton Ratu Boko dan Dataran Sorogedug). Kunjungan ini kemudian menghasilkan sebuah buku Beschrijving der Oudheden nabij de grens der residenties Soerakarta en Djogdjakarta (1891). Buku ini juga dilengkapi dengan sejumlah sketsa dan peta peninggalan arkeologi yang tersebar di wilayah tersebut.
Kunjungan Ijzerman yang dilakukan pada tahun 1886 berjarak 73 tahun dengan kunjungan Sultan Hamengku Buwono III. Sisi menariknya adalah adanya kesamaan deskripsi sejumlah lokasi di dekat Candi Prambanan.
Deskripsi yang ditulis Pangeran Aryo Panular dalam Babad Bedhah ing Ngayogyakarta untuk bagian pesanggrahan dan pasar juga dijumpai dalam tulisan Ijzerman. Ijzerman menyebutkan bahwa dia harus menyeberangi sungai Opak, meski tidak ada jembatan di atasnya. Setelah itu, Ketua Archaeologische Vereeniging van Jogja itu juga menyebutkan tentang keberadaan pesanggrahan yang ada di sebelah kanannya atau sebelah selatan dari jalan utama.
Ijzerman menuliskan jika pesanggrahan lama ini sebagian telah dibongkar untuk kepentingan pembangunan rel kereta api dari Semarang ke Yogyakarta. Sementara letak pasar berada lebih ke timur. Pasar ini berada di perbatasan dan mencakup wilayah Yogyakarta dan Surakarta.
Pada saat berkunjung, Ijzerman juga membuat deskripsi singkat dan ilustrasi terkait sejumlah arca yang dimuat dalam bukunya tersebut. Ijzerman juga melakukan pembersihan dengan menebang semak belukar dan pepohonan yang menutupi reruntuhan. Bagian bilik-bilik candi juga dibersihkan dari reruntuhan.
Epilog
Candi Prambanan yang telah diresmikan sejak abad ke-9 memang sempat tidak diketahui perkembangannya. Perpindahan kekuasaan dari Yogyakarta-Jawa Tengah ke Jawa Timur diduga menjadi salah satu penyebab “hilangnya” candi Prambanan dari catatan sejarah. Baru pada ada abad ke-19 nama candi Prambanan kembali tampil dalam catatan arsip pemerintah kolonial.
Pada masa yang sama, terdapat sejumlah tindakan untuk mulai membuat deskripsi dan sketsa dari candi Prambanan yang kala itu telah runtuh. Proses pemugarannya baru dimulai pada awal abad ke-20 dan baru diselesaikan pada akhir abad yang sama. Kompleks Candi Prambanan adalah sebutannya saat ini, mengingat banyaknya bangunan yang menjadi bagian dari candi ini.
Sejak tahun 1991, Kompleks Candi Prambanan telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia dengan nama Prambanan Temple Compounds. Maka, kita sebagai generasi penerus harus bisa melestarikan candi ini, agar tidak “hilang” dari peredaran zaman, seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
Ditulis oleh Shinta Dwi Prasasti, S.Hum., M.A.
Pengelola Data Cagar Budaya dan Koleksi Museum
di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta