Candi Kalasan berada di Dusun Kalibening, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Keberadaan Candi Kalasan berkaitan dengan prasasti batu dari desa Kālasa, yang kemudian dikenal dengan Prasasti Kalasan. Prasasti tersebut berbentuk persegi empat memuat 14 (empat belas) baris tulisan dalam bahasa Sanskerta dengan huruf Pre-Nāgari. Isi prasasti menjelaskan bahwa pada tahun 700 Çaka (778 Masehi) didirikan sebuah bangunan suci yang indah untuk Dewi Tārā, seorang Dewi dalam agama Buddha Mahāyāna, oleh para guru dari Raja Śailendra setelah mereka dapat meyakinkan Maharaja Tejahpurana Paṇaṃkaraṇa. Apabila tahun pendirian candi tersebut dikaitkan dengan prasasti tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Candi Kalasan dibangun sekitar tahun 778 Masehi.
Prasasti Kalasan menyebutkan bahwa selain membangun bangunan suci, sang Raja (rakryan Paṇaṃkaraṇa) juga memerintahkan untuk membangun tempat tinggal bagi para pendeta (bhiksu). Upacara pemberian Desa Kālasa kepada para pendeta disaksikan oleh orang-orang terkemuka seperti pangkur, tavan, tirip dan beberapa orang kepala desa dari desa-desa di sekitar Kālasa.
Pada bagian akhir prasasti disebutkan bangunan suci dan tempat tinggal para pendeta disebut wihāra atau biara. Temuan-temuan di Candi Kalasan tidak membuktikan keberadaan situs permukiman berupa desa atau kampung, tetapi lebih menunjukkan adanya tanda-tanda keberadaan situs hunian di kawasan situs upacara. Hunian yang dimaksud adalah tempat tinggal atau biara untuk para pendeta atau pengelola candi.
Candi Kalasan menghadap ke timur. Candi ini didirikan dengan menggunakan bahan batu andesit. Pemugaran yang dilakukan secara menyeluruh untuk pertama kali dan hanya satu-satunya terhadap Candi Kalasan dilakukan oleh ahli purbakala Belanda, yaitu Ir. V.R. van Romondt pada tahun 1926-1930.
Bentuk fisik candi secara utuh tidak dapat disusun kembali terutama di bagian atap, sebagian besar batu luar (outer stone) telah hilang. Batu-batu yang sekarang tersusun sebagian merupakan batu dalam (inner stone). Hasil pemugaran Candi Kalasan memang tidak dapat disusun secara utuh, namun dari bagian-bagian yang tersisa dan berdiri sekarang ini dapat dilihat bahwa Candi Kalasan merupakan karya arsitektur yang sangat indah, baik fisik maupun ornamennya.
Candi Kalasan berdiri di atas sebuah batur/ alas yang berdenah bujur sangkar dengan ukuran 45 x 45 meter, sedangkan tinggi candi sampai dengan batas atap yang masih tersisa adalah 24 meter. Batur candi, dahulu diduga dibatasi dengan pagar langkan yang dihias dengan genta atau stupa di bagian atasnya. Dari tinggi candi yang 24 meter tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: kaki, tubuh, dan atap. Menurut Kempers, bagian kaki Candi Kalasan berlipat ganda membentuk susunan lapik atau alas bujur sangkar dengan sisi 45 meter, kemudian di atasnya terdapat susunan kaki candi yang sebenarnya (soubacement) sebagai pendukung tubuh candi.
Di sekeliling lapik candi terdapat sisa-sisa stupa yang dahulu berjajar mengelilingi candi. Menurut Kempers, stupa-stupa kecil di sekeliling Candi Kalasan berjumlah 52 buah, namun tidak ada satu pun yang dapat disusun kembali menjadi bentuk yang utuh karena terlalu banyak batu asli yang telah hilang. Stupa-stupa tersebut berfungsi sebagai tempat abu jenazah para pendeta yang setelah meninggal jenazahnya dibakar dan abunya ditanam di bawah stupa. Di bawah dan di antara stupa-stupa tersebut ditemukan 81 buah peti batu dengan beberapa masih lengkap dengan periuk untuk menyimpan abu, sebuah cermin kecil, dan beberapa potong logam.
Hiasan pada sisi luar candi bagian kaki berupa relief jambangan yang seakan-akan memuntahkan bunga-bunga dan sulur-suluran sebagai lambang kemujuran dan kebahagiaan. Pada sisi Selatan terdapat hiasan kepala kala yang relatif cukup besar dengan jengger (bagian atas kepala) berbentuk segitiga. Bagian jengger kala ini dihiasi dengan berbagai ornamen/relief pohon dewata yang ada di kahyangan, miniatur bangunan, lukisan alam, makhluk kahyangan yang memainkan alat musik seperti gendang, rebab, dan kerang, serta memegang cambuk. Hiasan kala Candi Kalasan dipadupadankan dengan makara yang melengkung ke bawah. Makara merupakan relief yang menyerupai bentuk binatang. Makara yang menghiasi relung-relung Candi Kalasan terdiri dari dua buah, masing-masing melengkung ke bawah dengan kepala ke luar dan ke dalam.
Di bagian tubuh candi terdapat relung-relung yang dahulu kemungkinan terdapat arca. Hanya di dalam relung bagian atap yang masih tampak beberapa arca Buddha yang melukiskan para Dhyani Buddha. Arca pada sisi luar candi hanya berupa relief arca dalam posisi berdiri dan memegang bunga teratai.
Bagian atap Candi Kalasan sudah sangat rusak. Gambaran dari van Romondt saja yang dapat menjelaskan bentuk atap Candi Kalasan. Pertama berupa bentuk bujur sangkar dari keempat penampil, sebagai bagian penghubung antara tubuh dan atap candi. Di atasnya berdiri dua prisma segi delapan bersusun menjadi pusat atap. Kemungkinan pusat atap ini berbentuk sebuah stupa besar, sedangkan empat penampil masing-masing mempunyai atap sendiri.
Candi Kalasan memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan candi lain di Indonesia, yaitu adanya sebuah batu berbentuk setengah lingkaran tepat di depan tangga sisi Timur. Batu tersebut disebut moonstone (batu bulan), yang lazim terdapat pada kuil-kuil Buddha di India Selatan.
Keistimewaan lainnya terdapat pada pahatan ornamen yang dibuat dengan halus. Salah satu yang khas adalah relief motif kertas tempel berupa ceplok bunga atau dedaunan. Bagian dinding luar candi dilapisi lepa yang sangat kuat, yang oleh para arkeolog disebut dengan bajralepa. Secara etimologis bajralepa diartikan sebagai diamond cement. Bajralepa bisa disebut sebagai semacam plester bagi dinding candi, sekaligus melindungi candi dari pertumbuhan mikroorganisme dan sebagai lapisan kedap air. Lapisan bajralepa menjadikan bangunan candi sangat indah dengan warnanya yang kuning keemasan.