Salah satu komponen penting Kotagede kuno adalah benteng dengan jagangnya yang berfungsi sebagai prasarana pertahanan-keamanan. Ada dua benteng di Kotagede sebagaimana tampak dari sisa-sisanya. Ada yang tinggi temboknya masih tersisa 3 m, tetapi ada pula yang tinggal bekas-bekas fondasinya saja.
Benteng pertama adalah benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi keraton, sedang benteng kedua adalah benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas ± 200 ha. Di sisi luar kedua benteng itu tampak ada jagang, yaitu parit pertahanan selebar 15 – 25 m. Jagang itu ada yang tampak jelas merupakan buatan manusia karena jalurnya lurus, tetapi ada pula yang memanfaatkan aliran Sungai Gajahwong dan Sungai Manggis. Menarik perhatian bahwa cepuri berdenah empat persegi panjang yang tidak sepenuhnya simetris, sedang tembok baluwarti di beberapa tempat mengikuti aliran sungai yang dimanfaatkan sebagai jagang, tetapi di beberapa tempat lurus.
Sayang, sebagian besar benteng dan jagang tersebut dalam keadaan rusak berat baik oleh alam maupun oleh ketidakpedulian manusia, sehingga kemonumentalannya tidak lagi dikenal oleh masyarakat umum, kecuali oleh kelompok ahli dan peminat khusus. Padahal, pada abad XVIII seorang Belanda utusan VOC mengira di tempat tersebut ada dua kota. Perkiraan itu tentunya muncul karena besarnya ukuran kedua benteng dan jagang itu. Kapan seluruh stakeholders menyadarinya?