Cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai perwujudan hasil pemikiran dan perilaku kehidupan manusia. Eksistensi cagar budaya terkait langsung dengan akumulasi pengalaman kolektif manusia pendukung budaya pada zamannya. Wujud kebudayaan monumental sebagai hasil pemikiran dan perilaku di Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi bagian penting penanda peradaban manusia.
Dalam konteks kehidupan pada masa kini bagaimana manusia mampu memahami, memaknai, dan mengaktualisasikan kekayaan budaya menjadi potensi bagi kehidupannya. Pelestarian cagar budaya bukan hanya terkait dengan dimensi material dan ruang atau objek, tetapi juga manusia sebagai subjek. Dimensi manusia akan memunculkan persepsi bahwa kelestarian cagar budaya selalu terkait dengan pola perilaku manusia untuk membangun etika, menjaga ketertiban, kepastian hukum, keseimbangan hak – kewajiban, asas manfaat, keberlanjutan, dan partisipasi. Orientasi tujuan ke depan adalah kekayaan cagar budaya di samping untuk memajukan kebudayaan nasional, meningkatkan harkat martabat bangsa, memperkuat kepribadian bangsa juga meningkatkan kesejahteraan rakyat lahir dan batin.
Aktualisasi potensi perlu langkah konkret dengan berbagai aksi langsung ke masyarakat secara berkelanjutan. Tujuannya agar masyarakat di kawasan maupun lingkungan cagar budaya tidak sekedar menjadi penonton kemegahan monumen dengan berbagai dinamika pemanfaatannya. Aksi konkret yang dibutuhkan masyarakat adalah peningkatan kualitas untuk membangun kemampuan diri (kapasitas) berupa wawasan manajemen organisasi (desa budaya – desa sadar wisata), komunikasi, keterampilan, dan tata kelola jejaring secara sinergis.
Membangun partisipasi semacam ini tidaklah dapat dilakukan secara instan, tetapi harus dilakukan secara bertahap atau berproses, intensif, dan konsisten. Komitmen pemangku kepentingan, baik pemerintah (pusat – daerah), masyarakat, LSM, akademisi, dan swasta, harus mampu mewujudkan apa yang diamanatkan UURI No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yaitu kekayaan cagar budaya untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Sudah sepantasnya Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY, mampu menggunakan model birokrasi Hegelian, yaitu harus mampu menjalankan fungsi sebagai katalisator antara kepentingan negara (state) dengan stake holders dan masyarakat luas. Bahkan kemudian mampu mengartikulasikan kepentingan konkret masyarakat dan dapat mengkorporasikannya di dalam kepentingan negara. Di sisi lain juga harus mampu membangun pendekatan dengan birokrasi humanistik model Fromm. Terutama mewujudkan kerja sama, komunikasi secara setara, dan pola manajemen pemerintahan yang tidak bersifat top down tetapi bottom up dengan melibatkan semua pihak terkait serta bergotong royong untuk bertanggungjawab secara bersama-sama.