Dalem Pujokusuman dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II. Pada awalnya dalem ini ditempati oleh KRT Danudiningrat yang merupakan menantu Sultan Hamengku Buwana VII. Pada tahun 1901, dalem ini diberikan kepada GBPH Pujokusumo yang merupakan putra Sultan Hamengku Buwana VIII.
Pada masa perang kemerdekaan bangunan ini digunakan sebagai markas Pasukan Hantu Maut. Pasukan ini dibentuk setelah Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengadakan serangan ke kota Yogyakarta yang kedua pada tanggal 9 Januari 1949.
Hantu Maut berarti pasukan perlawanan sebagai hantu yang akan memberi dan menyebarkan maut bagi tentara kolonial Belanda. Pasukan Hantu Maut awalnya bernamakan pasukan gerilya Samber Gelap dengan modal tujuh pucuk senjata yang merupakan hasil rampasan ketika rakyat Yogyakarta melucuti senjata pasukan Jepang pada 7 Oktober 1948 di Kota Baru, Yogyakarta.
Sebagian pemuda dari kampung Keparakan Lor dan Keparakan Kidul turut bergabung ke dalam pasukan Samber Gelap. Anggota pasukan Samber Gelap kemudian disebar masuk ke kota untuk mengambil dan mencari senjata-senjata yang masih tertinggal di kota. Pemuda-pemuda dari kampung Brontokusuman, Prawirotaman, dan Karang Kajen mulai menggabungkan diri pada pasukan Samber Gelap.
Dengan bergabungnya pemuda-pemuda tersebut, maka dibuatlah kesepakatan untuk mengganti nama pasukan yang berseragam kaos oblong hijau dan celana putih itu menjadi Pasukan Hantu Maut. Pada 29 Juni 1949, Pasukan Hantu Maut mendapat tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban di sebelah utara rel kereta api (Stasiun Tugu) sampai batas kota sebelah utara.
Setelah pemerintahan kembali pada pemerintahan sipil, maka pasukan Hantu Maut yang dulunya yang telah dimiliterisasi diberi kesempatan untuk kembali ke instansi, sekolah atau bagi yang meneruskan ke pendidikan militer dan sudah lulus tes maka akan ditempatkan di Batalion yang sudah ditentukan dan bagi yang tidak lolos tes akan dikembalikan kepada masyarakat dengan surat penghargaan.
Setelah tidak digunakan markas pasukan Hantu Maut, bangunan ini digunakan untuk latihan menari. KRT Sasminta Dipura adalah sosok penting dibalik berdirinya YPBSM. Beliau adalah seorang ahli dalam bidang seni tari klasik gaya Yogyakarta. Pada mulanya sebagai cikal bakal berdirinya YPBSM adalah Mardawa Budaya yang didirikan pada 14 Juli 1962. Dikarenakan karena animo masyarakat lebih besar, pada tahun 1976 ditambah sebuah wadah lagi yang bergerak dalam bidang yang sama dengan diberi nama Pamulang Beksa Ngayogyakarta.
Tahun 1992, kedua digabungkan menjadi satu dengan nama Yayasan Pamulang Beksa Mardawa Budaya. Setelah dalam perjalanan panjangnya, pada tahun 1998 mengkristal menjadi Yayasan Pamulang Beksa Sasminta Mardawa (YPBSM). Sampai sekarang bangunan ini digunakan untuk kegiatan latihan tari oleh beberapa sanggar tari di Kota Yogyakarta . Bangunan ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan keputusan menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia Nomor PM.89/PM.007/MKP/2011.