Sebagian besar anak muda zaman now saat berkunjung ke sebuah candi pasti hal pertama yang dilakukannya adalah mengabadikan candi tersebut dengan gawainya masing-masing. Masih jarang dari mereka yang berpikiran kritis dan memiliki pertanyaan, “Bagaimana sebuah candi itu didirikan?”
Pada Sabtu pagi (15 Juni 2019), Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar kegiatan edukasi-kultural yaitu Sekolah Cagar Budaya di Candi Kedulan, Dusun Kedulan, Desa Tirtomartani, Kalasan, Sleman bagi 120 peserta yang terdiri atas para duta yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain, duta kabupaten, duta kota, duta GenRe, duta museum, dan duta mahasiswa.
Acara dibuka oleh Kepala Subbagian Tata Usaha Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, Indung Panca Putra. Ia menyampaikan bahwa tugas dan fungsi Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta tidak hanya melestarikan Cagar Budaya dari aspek fisik dengan mempertahankan keberadaannya saja, tetapi juga berkewajiban memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pelestarian Cagar Budaya, khususnya kepada generasi muda.
“Kegiatan sekolah cagar budaya diselenggarakan untuk memperkaya wawasan peserta tentang pelestarian cagar budaya, khususnya proses pemugaran candi. Kegiatan ini juga diadakan dalam rangka menyemarakkan peringatan hari ulang tahun Purbakala ke-106 pada tanggal 14 Juni 2019,” kata Indung.
Ketua Unit Pemugaran dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, Antar Nugroho mengawali kegiatan dengan bercerita mengenai sejarah pendirian dan kronologi penemuan Candi Kedulan kepada para peserta. Antar menjelaskan, “ Candi Kedulan diperkirakan didirikan pada abad 9 Masehi, masa peradaban Mataram Kuno. Candi berlatar belakang agama Hindu tersebut terdiri atas candi induk dan tiga candi perwara atau candi pengiring.”
“Candi Kedulan ditemukan secara tidak sengaja oleh penambang pasir pada 24 September 1993 dalam kondisi runtuh dan terpendam tanah. Berdasarkan keterangan para ahli, diduga Candi Kedulan rusak dalam keadaan terkubur karena terdampak erupsi material dari hasil letusan Gunung Merapi,” sambung Antar.
Arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, Yoses Tanzaq, berbagi pengetahuan kepada peserta tentang bagaimana proses pemugaran sebuah candi. Ia menjelaskan bahwa pemugaran candi bukan merupakan kegiatan tunggal, tapi bagian dari rangkaian pekerjaan dalam rentang waktu yang panjang.
“Pemugaran candi tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Sebelum melaksanakan pemugaran, harus melewati kegiatan studi kelayakan dan studi teknis terlebih dahulu. Kegiatan studi kelayakan untuk mengetahui apakah sebuah candi layak dipugar atau tidak. Setelah itu kemudian dilakukan studi teknis untuk menentukan secara teknis bagaimana pelaksanaan pemugaran candi, termasuk penataan lingkungannya,” jelas Yoses.
Seusai mendapat penjelasan tentang sejarah pendirian dan kronologi pelestarian Candi Kedulan, peserta kemudian menuju lokasi keberadaan Candi Kedulan untuk melanjutan kegiatan praktik pemugaran. Ada empat kegiatan dalam proses pemugaran candi yang dipraktikkan oleh peserta yaitu: 1) ekskavasi atau penggalian arkeologi; 2) pengukuran dan penggambaran; 3) konservasi batu; dan 4) susun coba (anastilosis). Peserta dibagi menjadi empat kelompok. Masing-masing kelompok yang telah selesai melakukan salah satu kegiatan dalam proses pemugaran, kemudian bertukar posisi dengan kelompok lainnya hingga setiap kelompok dapat melaksanakan semua praktik kegiatan dalam proses pemugaran candi yang sudah ditentukan.
Peserta begitu bersemangat belajar memugar candi. Mereka antusias menanyakan berbagai hal tentang candi dan pemugarannya kepada para juru pugar. Selain itu, peserta juga begitu cekatan menggunakan berbagai peralatan yang digunakan dalam tahapan proses pemugaran candi berlangsung. Peserta terlihat senang membersihkan batu-batu penyusun candi dengan peralatan sederhana berupa sikat dan air, saat melakukan praktik pembersihan mekanis basah. Bahkan peserta perempuan pun tidak merasa canggung ketika harus mengangkat dan menata susunan batu-batu candi pada saat melakukan praktik susun coba (anastilosis).
“Biasanya kalau berkunjung ke candi yang kondisinya sudah baik, hal utama yang dilakukan adalah foto-foto. Namun, kali ini saya memiliki pengalaman yang berbeda. Mengikuti kegiatan Sekolah Cagar Budaya dengan berkunjung ke candi yang masih dalam perbaikan, saya jadi bisa belajar banyak hal tentang bagaimana proses pemugarannya,” kata Januarianto, duta GenRe Daerah Istimewa Yogyakarta. (fry)