Keraton berarti tempat kediaman raja, yaitu meliputi wilayah di dalam lingkup tembok cepuri, sedangkan istilah kedhaton digunakan untuk menyebut bagian paling dalam keraton, yakni Bangsal Kencana dan pelatarannya. Fisik Keraton Yogyakarta ditata dalam tujuh bidang halaman, yang masing-masing dikelilingi tembok setinggi 5 meter. Ketujuh halaman itu ditata berderet, membentuk poros imajiner utara-selatan. Namun, di Kedhaton terbentuk poros imajiner yang mengarah timur-barat, mulai dari Kasatrian di timur memanjang ke barat sampai Keputren dan Kedhaton Kilen.
Di tiap halaman terdapat bangunan-bangunan untuk memenuhi kebutuhan seremonial, dan kebutuhan sehari-hari. Bangunan-bangunan tersebut antara lain adalah: Tratag Pagelaran, Tratag Sitinggil, Bangsal Witana, Bangsal Pancaniti, Bangsal Prabayeksa, Bangsal Kencana, Gedhong Jene, Langgar Panepen, Kedhaton Wetan, Bangsal Kemagangan, dan Sasana Inggil Dwi Abad. Selain bangunan-bangunan tersebut, di lingkungan keraton juga terdapat regol-regol (=pintu gerbang atau gapura) yang menghubungkan antarhalaman, di antaranya Regol Gadhungmlathi, Regol Kemagangan, Regol Manikantaya, Regol Danapertapa, dan Regol Sri Manganti.
Bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta kaya dengan ornamen berupa ukiran, kaca patri, dan representasi tiga dimensi. Ornamen-ornamen itu ada yang bersifat dekoratif saja, tetapi ada pula yang juga bersifat simbolik. Di antara ornamen-ornamen simbolik di Keraton Yogyakarta yang terkenal adalah: prajacihna, yaitu lambang kerajaan berupa sepasang sayap, mahkota, dan inisial HB dalam huruf Jawa; serta sengkalan memet, yaitu penanda waktu yang diwujudkan dalam komposisi gambar. sengkalan memet di Keraton Yogyakarta yang dikenal luas adalah “Dwi Naga Rasa Tunggal” berupa representasi tiga dimensi dua ekor naga yang saling berlilitan ekor. Sengkalan memet ini menggambarkan angka tahun 1682 J, yaitu kepindahan Sultan Hamengku Buwana I dari Ambarketawang ke keraton.
Di dalam perjalanan sejarahnya, Keraton Yogyakarta tidak berfungsi sebagai kediaman raja dan pusat pemerintahan kerajaan saja, namun juga pernah berfungsi sebagai pusat perjuangan bangsa di tahun-tahun awal kemerdekaan Republik Indonesia. Fungsi lain yang pernah disandang Keraton Yogyakarta adalah sebagai pusat pendidikan tinggi, yakni waktu bagian depan keraton, Pagelaran dan Sitinggil, dipinjamkan kepada Universitas Gadjah Mada pada dekade awal berdirinya. Berkaitan erat dengan Keraton Yogyakarta adalah dua alun-alun, yakni Alun-alun Ler dan Alun-alun Kidul yang mengapit keraton. Alun-alun Ler terletak di utara, atau dengan kata lain di depan keraton, sedang Alun-alun Kidul terletak di selatan, atau di belakang keraton. Di tengah kedua alun-alun itu masing-masing terdapat sepasang pohon beringin yang dilingkungi pagar keliling, sehingga sering disebut Ringin Kurung. Pohon beringin yang di tengah Alun-alun Ler diberi nama Kiai Dewadaru melambangkan persatuan antara Sultan dan Tuhan, dan Kiai Janadaru melambangkan persatuan sultan dan rakyat. Sekali dalam setahun ada upacara pemangkasan kedua pohon beringin tersebut. Perlu pula diketahui bahwa di tepi Alun-alun Ler ditanam 63 pohon beringin melambangkan usia Nabi Muhammad saw.
Alun-alun Ler berfungsi sebagai tempat untuk beberapa upacara dan acara, seperti Sekaten, Garebeg, dan dahulu juga untuk rampogan yaitu mengadu harimau melawan kerbau dengan para prajurit sebagai pagar betis. Adapun Alun-alun Kidul digunakan untuk berlatih prajurit, serta berfungsi sebagai jalur prosesi dalam upacara pemakaman jenazah seorang sultan yang akan dimakamkan di Imagiri.