Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia (Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003). Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Beberapa tujuan tersebut di atas juga sinkron dengan beberapa pokok pikiran dalam Nawacita Presiden Joko Widodo terutama pada butir 5, 6, 8 dan 9 antara lain:
- Meningkatkan kualitas hidup manusia melalui peningkatan kualitas pendidikan.
- Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
- Melakukan revolusi karakter bangsa.
- Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang dialog antara warga secara berkeseimbangan.
Tentu tidak semua butir Nawacita itu secara konkret dapat diekspose melalui Buletin ini, tetapi arah tujuan peningkatan kualitas hidup manusia dapat dilaksanakan dengan berbagai cara melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran dalam konteks upaya memberikan pemahaman pelsetarian cagar budaya dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan di dalam sekolah cagar budaya, kemah budaya, jelajah budaya, loka karya, kemah saka widya budaya bakti. Berbagai kegiatan yang ada diharapkan dapat memberikan pengenalan, pengetahuan, pengertian, pemahaman, dan refleksi, sehingga proses internalisasi dapat dilakukan. Proses pembelajaran tentu tidak cukup dilakukan dengan memberikan kognisi saja, tetapi juga harus dengan memberikan berbagai hal yang bersifat afeksi dan psikomotorik yaitu berbagai kegiatan praktek atau melakukan sesuatu secara konkrit. Hal itu sangat jelas dan konkrit dilakukan dalam sekolah cagar budaya.
Transfer pengetahuan juga dapat dilakukan dengan belajar dari keteladanan dan akumulasi pengalaman kolektif para tokoh. Dalam hal ini yang pernah mengabdikan diri di Balai Pelestarian Cagar Budaya, antara lain: Tony Sam Dauglas Mambo, Wahyu Astuti, Titik R., Yudi Royani, Suharto, dan Slamet. Mereka beberapa dekade mengabdikan diri di dunia cagar budaya bahkan telah mampu mengekspresikan sikap dan mengeksternalisasi berbagai pengetahuan pelestarian secara konkrit. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila setiap insan pelestari generasi sekarang dapat menimba ilmu dari berbagai pengalaman pendahulu. Sosok tokoh dapat menjadi wahana belajar secara langsung, baik kata-kata, sikap, maupun perbuatan atau perilakunya. Apa yang baik dapat kita jadikan patokan dan bahkan apabila memungkinkan kita tambah dengan berbagai sentuhan kreativitas dan inovasi. Kita semua hendaknya mampu bersikap, bahwa tidak ada gunanya jika kita menjadi insan cerdas tanpa kharakter. Berbagai pelajaran hidup dari momentum kesejarahan, nilai penting cagar budaya, dan toko-tokoh pelaku pelestarian dapat kita gali informasi dan inspirasinya. Apa yang dikatakan Bung Karno sangat relevan, bahwa kita semua harus mampu “mengambil api dan jangan abunya”. Artinya, kita semua harus mampu mengambil api semangat dan inspirasi kebudayaan dan jangan sebaliknya mengambil abu sebagai residu kebudayaan yang tidak berguna bagi upaya membangun integritas kehidupan.