Kotagede pernah menjadi pusat pemerintahan pada masa Panembahan Senapati hingga masa Sultan Agung, sehingga pada masa dahulunya Kotagede banyak memiliki fasilitas yang berkaitan dengan perannya sebagai sebuah ibukota kerajaan.
Selama hampir setengah abad, Kotagede telah memiliki tata ruang dan komponen-komponen kota seperti lazimnya kota-kota pusat pemerintahan Mataram Islam. Beberapa peninggalan fisik berupa masjid, sisa baluwarti dan cepuri, serta jalan dan sejumlah toponim. Hal itu menunjukkan, bahwa pada masa lampau Kotagede merupakan sebuah kawasan yang cukup berkembang dan dinamis.
Salah satu komponen penting Kotagede kuno adalah benteng dengan jagangnya yang berfungsi sebagai prasarana pertahanan-keamanan. Benteng cepuri Kotagede menurut Babad Tanah Jawi mulai dibangun tahun 1507 Jawa (1585 Masehi) dan selesai pada tahun 1516 Jawa (1594 Masehi), keterangan tersebut juga sesuai dengan yang tertera dalam Babad Momana. Dinding cepuri merupakan salah satu komponen dalam perkotaan tradisional yang berfungsi sebagai pembatas dunia luar (jaba beteng) antara komunitas rakyat dengan komunitas kerabat raja (jeron beteng). Selain itu, keberadaan cepuri dapat juga diinterpretasikan sebagai benteng pertahanan. Hal tersebut dibuktikan dengan keberadaan jagang (parit pertahanan) yang berada di sisi barat, selatan dan timur. Jagang ini memiliki kedalaman 1-3 meter dengan lebar 20-30 meter.
Bahan yang digunakan untuk membangun Cepuri terdiri atas pasangan bata dengan ukuran 8 cm x 16 cm x 30 dan dari bahan batu putih dengan ukuran 7 cm x 16 cm x 30 cm sampai dengan ukuran 12 cm x 22 cm x 43 cm.
Keterangan ini didukung oleh tulisan dalam Babad Tanah Jawi, yang menyebutkan:
… dipun angge banon abrit lan banon pethak … nunten dados kutha bacingah
… sinengkalan 1507 … (Olthof, 1941: 108).
Artinya: … digunakan bata merah dan bata putih … selanjutnya menjadi benteng …dengan (petunjuk) tahun 1507 … (Olthof, 1941: 108).
Keberadaan bangunan cepuri dapat dilihat juga dari bagian lain dalam Babad Tanah Jawi, yang menyebutkan:
… Kacariyos Kangjeng Sultan Pajang miyos sinewaka … Para Bupati sami matur: “Putra Dalem Senapati ing Alaga, saestu mirong badhe mengsah … sampun damel beteng sarta lelaren wiyar” (Olthof, 1941: 80).
Artinya: … Suatu saat ketika Sultan Pajang sedang duduk di atas singgasana (dihadapan Bupati dan Abdi Dalem) … Para Bupati menyatakan (lapor): “Ananda (anak Sultan Pajang) Senapati ing Alaga, benar-benar akan melakukan pemberontakan … (Dia-Senapati Ing Alaga), telah membangun benteng yang dikelilingi oleh parit (jagang) yang cukup lebar” (Olthof, 1941: 80).
Dari pengertian di atas terlihat adanya pemahaman atas fungsi cepuri sebagai benteng pertahanan yang dikelilingi dengan jagang berupa parit yang lebar, sehingga dapat menghambat musuh untuk mendekati benteng.
Denah cepuri berbentuk persegi panjang yang membujur timur-barat, dan pada sudut tenggara melengkung sehingga oleh penduduk disebut bokong semar. Istilah bokong semar diberikan oleh penduduk sekarang karena bentuk struktur benteng melengkung, seperti bokong (pantat) Semar (seorang punakawan bertubuh tambun yang mengasuh putra-putra raja pada cerita pewayangan yang beraliran bersih – pandhawa). Luas area di dalam beteng cepuri kira-kira 62.275 m2 atau 6,28 ha. Sementara itu, di bagian tengah sisi utara terdapat struktur benteng yang oleh penduduk dipercaya pernah dijebol oleh Pangeran Rangga, putera Panembahan Senapati. Struktur ini kemudian dikenal dengan “Benteng Jebolan Raden Rangga”. (Sri Suharini)