“ Di sana itu pernah ada candi lhoh, mbak.”
“Pak, tahu ndak, nama desa ini Candi xxxx karena dulu di desa ini memang ada candinya.”
Kalimat semacam ini sering didengar saat kami melakukan kegiatan herinventarisasi (pendataan ulang) cagar budaya. Kalimat yang menandakan bahwa ingatan tentang sebuah candi masih melekat di benak masyarakat sekitar. Meskipun seringkali candi itu sudah hilang jejaknya.
Hilangnya jejak sebuah candi dalam catatan sejarah Indonesia memang bukan sebuah cerita baru. Kerapkali candi atau tinggalan arkeologi hilang tak berbekas. Beberapa di antaranya mungkin masih tersisa dalam ingatan penduduk desa yang sudah berusia lanjut.
Jejak candi tersebut akan berangsur-angsur menghilang seiring berjalannya waktu. Generasi muda di desa tersebut ketika ditanya hanya bisa menjawab, “Dulu kata bapak saya memang ada candi. Tapi sekarang (candi itu) sudah hilang.”
Kondisi Bangunan Candi abad -19
Di Yogyakarta, candi dan tinggalan arkeologi masa Hindu-Buddha merupakan hasil kebudayaan yang berasal dari masa sekitar abad 8-10 Masehi. Setelah periode tersebut, pusat kekuasaan berpindah ke Jawa bagian timur. Perpindahan ini bisa diikuti dengan perpindahan masyarakat pendukung kekuasaan dan kebudayaan tersebut.
Perpindahan ini berdampak pada bangunan candi yang sudah ada. Bangunan candi tidak lagi digunakan. Ditambah adanya bencana alam juga menjadi salah satu faktor yang memperburuk kondisi bangunan candi. Bangunan pun menjadi telantar dalam kurun waktu tertentu.
Daerah yang menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Mataram Kuno ini kemudian tidak lagi tercatat dalam sejarah. Nama Mataram kembali muncul pada masa kerajaan Pajang. de Graaf menuliskan bahwa Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha menyebut Mataram sebagai wilayah yang diberikan oleh Raja Pajang kepada Ki Ageng Pamanahan setelah menaklukkan Jipang. Peristiwa ini terjadi sekitar abad 16.
Pada masa ini, kebudayaan yang dianut penduduknya sudah berbeda dengan masa Mataram Kuno. Penduduk yang tinggal masa itu merupakan pendukung kebudayaan Islam. Bangunan candi menjadi telantar dan tidak lagi digunakan. Masyarakat pada masa itu bahkan tidak mengetahui tentang kegunaan dan fungsi dari candi tersebut.
Hal ini tercatat dalam tulisan Ijzerman yang terbit pada akhir abad 19. J.W Ijzerman, ketua Archaeologische Vereeniging mengungkapkan sejumlah fakta terkait perlakuan tersebut. Ijzerman menuliskannya dalam Beschrijving der Oudheden nabij de grens der residenties Soerakarta en Djogdjakarta (1891).
Di antaranya, batu-batu candi banyak digunakan sebagai pondasi rumah, penutup dan nisan kuburan oleh masyarakat. Sementara pembangunan pabrik dan bangunan lainnya, juga menggunakan batu candi. Hal ini mempercepat keruntuhan dan hilangnya jejak sejumlah candi.
Penjelasan Ijzerman dipertegas oleh Nicolaas Johannes Krom, ketua Commissie in Nederlandsch-Indie voor oudheidkundig onderzoek op Java en Madoera. N.J. Krom dalam Inleiding Tot De Hindoe-Javaansche Kunst (1920) menyebutkan bahwa tinggalan purbakala memang kerap dikorbankan karena pembangunan. Krom mencontohkan bahwa banyak tinggalan arkeologi di dataran Sorogedug, sebelah selatan Prambanan telah hancur atau hilang. Salah satu penyebabnya adalah pembangunan bendungan pada tahun 1909. Pembangunan ini mengorbankan dua struktur bangunan lama, yang sekaligus menjadi bangunan purbakala terakhir yang ada di dataran tersebut.
Nasib yang sama juga terjadi pada arca-arca yang ditemukan di sekitar candi. Arca-arca tersebut sudah tidak lagi berfungsi sebagai sarana pemujaan. Mereka beralih fungsi menjadi hiasan taman dan halaman rumah para tuan tanah.
J.F.G. Brumund dalam Indiana II (1854) menceritakan bahwa sebuah arca Siwa yang baru digali dan dua arca Ganesha yang kondisinya agak rusak dibawa ke Tanjung Tirto. Arca-arca ini berasal dari reruntuhan candi Keblak yang berada di dataran Sorogedug. Tanjung Tirto sendiri dalam laporan R.D.M. Verbeek merupakan sebuah landhuis (pesanggrahan / rumah perkebunan) yang berada satu kilometer di sebelah selatan dari halte / stasiun Kalasan masa itu.
Laporan masa Hindia Belanda
Keberadaan candi sebenarnya tidak hilang sama sekali. Ada beberapa catatan dari masa Hindia Belanda yang masih mendeskripsikan keberadaannya. Misalnya Tulisan J.F.G Brumund, seorang pemuka agama yang kerap berkeliling ke sejumlah wilayah di Jawa.
J.F.G Brumund dikenal lewat Indiana. Verzameling van stukken van onderscheiden aard, over Landen, Volken, Oudheden en Geschiedenis van den Indischen Archipel. Buku ini terdiri atas dua jilid. Kedua bukunya terbit dalam tahun yang berbeda, Jilid 1 terbit 1853 dan jilid 2 terbit tahun 1854. Keduanya memuat deskripsi sejumlah candi baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
Tulisan Brumund ini memuat deskripsi yang berharga. Salah satunya tentang Candi Singo, sebuah candi yang berada di Dataran Sorogedug. Deskripsi Brumund menjadi satu-satunya deskripsi yang menggambarkan kemegahan Candi Singo. Hal ini ditegaskan J.W Ijzerman. Karena saat Ijzerman menulis bukunya, deksripsi Brumundlah yang digunakan sebagai rujukan. Hal ini disebabkan ketika Ijzerman datang, kemungkinan candinya telah runtuh. Selain Ijzerman, ROD (Rapporten Van Den Oudheidkundigen Dienst) tahun 1915 juga merujuk pada tulisan Brumund.
Catatan arkeologi masa Hindia Belanda lain yang juga penting adalah data dari geolog R.D.M. Verbeek berjudul Oudheden van Jawa. Karya R.D.M. Verbeek tersebut dimuat dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Oudheden van Java menyebutkan sejumlah candi yang belum berhasil ditemukan dan tercatat dalam karya Ijzerman. Di daerah Prambanan, candi-candi tersebut di antaranya adalah candi Sari no 1 (diidentifikasi sekarang sebagai Candi Barong), Sumberwatu, candi Miring (diidentifikasi sekarang sebagai Candi Miri) dan Candi Banyunibo.
Meski tulisan R.D.M. Verbeek (1890) terbit terlebih dahulu daripada tulisan Ijzerman (1891), namun risetnya lebih dahulu dilakukan Ijzerman. Hal ini disebutkan dalam catatan kaki tulisan Verbeek. Bahwa peta yang mereka buat melengkapi dari peta sebelumnya yang telah dibuat Ijzerman.
Ekplorasi kembali Laporan Arkeologi Hindia Belanda
Eksplorasi pada laporan arkeologi masa Hindia Belanda memang diperlukan. Apalagi laporan masa Hindia Belanda senantiasa menampilkan ciri-ciri bangunan candi sesuai masa dan keadaaan alam di sekitarnya. Hal ini semakin menambah data terkait keadaan candi pada masa tersebut.
Eksplorasi juga menjadi sarana untuk melestarikan candi. Hal ini penting karena masifnya pembangunan yang terjadi pada masa itu, berdampak besar pada keberadaan candi. Bahkan kerap dijumpai, bangunan candi sudah tak ditemukan keberadaannya. Sementara laporan tentang candi tersebut masih bisa dijumpai. Maka laporan akan mampu menjadi pengingat.
Laporan masa Hindia Belanda perlu kembali dieksplorasi, dirangkai dan ditulis ulang dalam bentuk tulisan ilmiah populer. Tulisan ilmiah populer akan lebih mudah menjangkau dan dipahami semua lapisan masyarakat. Maka masyarakat akan lebih mencintai dan berkesadaran untuk turut melestarikan cagar budaya.
Ditulis oleh Shinta Dwi Prasasti, S.Hum., M.A.
Pengelola Data Cagar Budaya dan Koleksi Museum
di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta