De in den oostmoesson zoo kalme, maar in den regentijd zoo wilde Opak slingert zich als een slang door de vlakte en komt nu hier dan daar door het groen te voorschijn. Ze waren van den stam der bouwlieden van Boroboedoer de mannen, die met een open oog voor natuurschoon hun heiligdom op dezen steilen heuvel oprichtten. Maar in plaats van de trachietblokken van de Opak of den zachten steen van den heuvel zelven als bouwstof te gebruiken, trokken zij het op van dien harden en goed gevormden baksteen, dien men zoo gaarne de Javanen van den tegenwoordigen tijd ten voorbeeld stelt.
Dikutip dari J.W. Ijzerman Beschrijving der Oudheden nabij de grens der residenties Soerakarta en Djogdjakarta (1891)
Opak, begitu tenang di musim timur, tetapi begitu liar di musim hujan, berkelok-kelok melalui dataran seperti ular dan sekarang muncul di sana-sini melalui tanaman hijau. Mereka adalah keturunan dari para pembangun Borobudur, orang-orang yang, dengan mata terbuka pada keindahan alam, mendirikan kuil mereka di bukit yang curam ini. Tetapi alih-alih menggunakan balok-balok (batu) dari (sungai) Opak atau batu dari bukit itu sendiri sebagai bahan bangunan, mereka membangunnya dari batu bata yang keras dan terbentuk dengan baik itu, yang sangat dicontoh oleh orang Jawa saat ini.
Demikianlah terjemahan dari kutipan di atas. Kutipan tersebut mengawali deskripsi dari Ijzerman tentang Candi Abang. Candi Abang, nama sebuah candi yang berada di atas puncak bukit. Candi yang saat ini hanya tinggal reruntuhannya saja. Lokasinya saat ini berada di Dusun Blambangan, Kalurahan Jogotirto, Kapanewon Berbah, Kabupaten Sleman.
Nama candi Abang diberikan oleh masyarakat setempat, sejak masa Hindia Belanda. Hal ini dibuktikan dari sejumlah data tertulis antara lain: tulisan J.W. Ijzerman yang berjudul Beschrijving der Oudheden nabij de grens der residenties Soerakarta en Djogdjakarta (1891), catatan dalam Rapporten Van Den Oudheidkundigen Dienst (ROD) in Nederlandsch-Indie (1915), maupun Tulisan NJ.Krom dalam Inleiding Tot De Hindoe-Javaansche Kunst (1920). Ketiga sumber tertulis itu sudah menyebut nama Tjandi Abang.
Pemilihan lokasi pendirian candi yang berada di puncak bukit tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat pada masa Hindu-Buddha. Pada masa itu terdapat kepercayaan bahwa tempat yang tinggi merupakan tempat yang suci. Hal ini dikarenakan tempat yang tinggi identik dengan tempat tinggal dewa-dewi.
Candi Abang ditemukan dalam kondisi runtuh. Hal itu juga disebutkan dalam tiga sumber tertulis yang disebutkan di atas. Saat Ijzerman berkunjung, Candi Abang hanya tersisa tumpukan puing-puing dan lantai bekas ruangan saja. Rapporten Van Den Oudheidkundigen Dienst (ROD) in Nederlandsch-Indie (1915) menyebutkan bahwa candi ini telah runtuh dan menjadi puing-puing. Saat itu tidak ada temuan di atasnya. Tulisan NJ.Krom dalam Inleiding Tot De Hindoe-Javaansche Kunst (1920) menyebutkan bahwa Candi Abang memang telah runtuh. Candi Abang dalam catatan ini disebutkan sebagai salah satu peninggalan masa Hindu-Budha yang berada di dataran Saragedug. Keunikan dari candi ini adalah bahan penyusun bangunannya yang berupa batu bata, bukan batu andesit seperti candi-candi di sekitarnya.
Kondisi Candi Abang yang demikian tersebut menjadikan data tentang kapan pembangunan candi Abang tidak diketahui secara pasti. Candi ini seolah menjadi sebuah misteri. Interpretasi yang muncul hanya menyebutkan jika candi Abang merupakan salah satu peninggalan kerajaan Mataram Kuno.
Interpretasi tentang Candi Abang
Agus Aris Munandar dalam buku Candi Abang: Konflik dan Kuasa dalam Masyarakat Jawa Kuna antara abad ke-9 – 10 mencoba memberikan interpretasi terhadap periode pembangunan candi ini. Penelitian ini memberikan pendapat berdasarkan temuan pecahan batu putih di halaman utama candi. Penemuan ini menandakan penggunaan vajralepa pada dinding candi. Penggunaan vajralepa pada masa Mataram Kuno hanya ada pada beberapa candi saja. Candi dengan vajralepa adalah Candi Kalasan dan Candi Sari. Interpretasi yang muncul adalah Candi Abang dibangun semasa atau tidak jauh dengan pembangunan kedua candi tersebut.
Pada tahun 1932 juga pernah ditemukan prasasti pendek yang dipahatkan pada tugu batu di situs Candi Abang. Menurut Rita Margaretha, prasasti tersebut berisi tentang pertanggalan dengan angka tahun 794 Saka atau 872 Masehi. Namun pertanggalan tersebut belum dapat dipakai sebagai pertanggalan tahun pendirian Candi Abang.
Sementara kegiatan ekskavasi yang dilakukan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada rentang tahun 2017-2018 juga menghasilkan sejumlah data. Bentuk bangunan dari Candi Abang adalah stupa. Bangunan Candi Abang juga merupakan sebuah bangunan tunggal sekaligus bangunan utama.
Gundukan tanah yang membentuk bukit tersebut merupakan struktur stupa induk. Struktur stupa induk ini telah runtuh karena berbagai sebab. Hasil ekskavasi juga menunjukkan jika batu penyusun struktur candi tidak hanya satu jenis. Batu penyusun candi juga menggunakan batu andesit berupa kerakal hingga brangkal, maupun batu putih.
Susunan profil bagian kaki pada candi ini memiliki kemiripan dengan Candi Mendut. Hal ini semakin menegaskan bahwa Candi Abang memiliki karakter keagamaan yang sama dengan Candi Mendut, yaitu Buddha.
Nilai penting Candi Abang
Candi Abang memang sudah lama runtuh. Kini, sejumlah interpretasi tentang waktu pembangunan dan fungsinya telah bermunculan. Interpretasi tersebut didukung dengan data dan bukti. Maka sejatinya Candi Abang sekarang bukan sekadar gundukan tanah semata.
Candi Abang memiliki nilai penting sebagai salah satu tempat pemujaan bagi umat agama Buddha pada masa Mataram Kuno. Bahan pembangunan candi ini pun tidak seluruhnya menggunakan batu bata, tetapi juga memakai batu andesit maupun batu putih.
Ditulis oleh Shinta Dwi Prasasti, S.Hum., M.A.
Pengelola Data Cagar Budaya dan Koleksi Museum
di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta