Pemerintahan militer di Sumatera dikendalikan oleh Angkatan Darat, yang membagi wilayah Sumatera menjadi 9 shuu, yang dibawahnya terdapat bunshuu, gun, dan son. Sedangkan di Wilayah Indonesia Timur dikuasai oleh Angkatan Laut yang diperintah oleh minseifu (Kantor Pemerintahan Sipil) yang diketuai oleh sokan (Inspektur Jendra) berpusat di Makassar. Di bawah minseifu terdapat 3 minseibu, yaitu Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Minseibu kemudian dibagi menjadi shuu, ken, bunken, gun, dan son. (Cici Putri Febriyani, 2017:12).

Pada awalnya, Pulau Sumatra digabungkan dengan Semenanjung Malaya dan Singapura—dengan pusat Singapura dan kemudian Bukittinggi—sedangkan  Jawa sendiri. Kedua wilayah ini berada di bawah kekuasaan Angkatan Darat. (Aiko Kurasawa, Mitsuko Nanke, 2018:2)Perkembangan selanjutnya, arah peperangan sejak awal tahun 1943 tidak menguntungkan bagi pihak Jepang. Menurut laporan Sumatera Gunseikanbu, AD ke-25, 14 Juni 1942, tulisan tangan, pada halaman  22 yang bersifat  sangat rahasia secara garis besar keadaan Pemerintahan Tentara Jepang yang diserahkan kepada Panglima Tertinggi Daerah Selatan, Jenderal Terauchi, pada saat inspeksi ke daerah Angkatan Daerah ke- 25. Isinya tentang keadaan garis besar (4halaman), pemerintahan sipil (3 halaman), perindustrian (6 halaman), urusan keuangan (2 halaman), dan lalu lintas (3 halaman). Di Sumatra sudah dimulai administrasi militer sejak permulaan April 1942 dengan adanya Kepala Cabang Pemerintahan Militer di masing masing daerah dan beberapa orang pejabat tinggi. (Aiko Kurasawa, Mitsuko Nanke, 2018:110)

Diberbagai front Pasifik, tentara Jepang mulai terdesak dan inisiatif serangan berada di pihak Sekutu. Bangkitnya kembali Sekutu dari kekalahan sebelumnya, telah memaksa Komando Tentara Ekspedisi Jepang untuk “Kawasan Selatan” untuk mengubah titik perhatian utama kebijakannya dari konsolidasi kekuasaan di daerah-daerah yang baru didudukinya ke strategi defensif terhadap kemungkinan serangan balik tentara Sekutu. Pertimbangan-pertimbangan ini telah menyebabkan Tentara ke 25 memindahkan markas besarnya ke Bukittinggi pada tanggal 1 mei 1943, manakala pemerintahan Sumatera dan Malaya diperbaharui. Sejak itu, Sumatera merupakan unit pemerintahan yang berdiri sendiri, yang diperintah oleh Tentara ke 25. Kota Bukittingi yang berada dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat pernah menjadi markas besar bagi tentara ke-25 kekaisaran Jepang karena dianggap memiliki letak geografis dan kepentingan militer yang strategis.

Sumatera dinilai sangat penting secara ekonomi maupun geografis untuk meneruskan perang, karena letaknya yang sangat strategis menghadap ke lautan Hindia, terutama wilayah Pantai Barat yang berkemungkinan besar dapat menahan Sekutu dari India maupun Srilanka. Namun sayang, di Sumatera saat itu kekurangan pemimpin-pemimpin besar nasionalis, sebab pemimpin-pemimpin yang berasal dari Sumatera seperti Hatta, Sjahrir, Agus Salim maupun Tan Malaka semuanya berada serta bertugas di Jawa, sementara situasi peperangan berubah menjadi kurang menguntungkan bagi pihak Jepang ditambah dengan keadaan ekonomi di Sumatera makin memburuk, maka penguasa militer Jepang di Sumatera terpaksa mulai bergantung kepada para pemimpin setempat yang dapat dan mampu menghubungi massa. Dan setelah Perdana Menteri Hideki Tojo menyetujui usulan untuk membentuk tentara sukarela di Jawa, Sumatera, Malaya serta Borneo Utara, maka tentara sukarela Sumatera yang lebih dikenal dengan Gyugun akhirnya dibentuk. Ide pembentukannya ialah tentara sukarela itu dilatih dan dididik sesuai dengan kebudayaan serta moral mereka dan dipimpin oleh sesama bangsa mereka sendiri. (Abdul Halim, 1989:1).

Secara kesejarahan Fasilitas pertahanan di Kota Padang dan khusus Gunung Pangilun tidak dapat dipisahkan menjadi bagian-bagian kecil. Keterikatan fasilitas ini tentunya memerlukan prioritas untuk diselamatkan. Strategi pemerintahan Jepang dalam mempertahankan wilayah kependudukannya adalah dengan membangun sarana pertahanan yang diharapkan akan mampu mempertahankan dan menyergap tentara Sekutu yang datang. Hal yang dilakukan oleh pemerintahan pendudukan militer Jepang ini sejalan dengan strategisnya letak wilayah. Salah satu kebijakan pertahanan yang dilakukan Jepang adalah penyempurnaan pada sistem pertahanan. Pemerintahan militer Jepang akhirnya membagi tingkat-tingkat pertahan ke dalam 3 tingkat pertahanan. Menurut rencana pertahanan Jepang, ada tiga lapis pertahanan yang dibuat pemerintahan Jepang, yaitu pertahanan pantai, pertahanan daratan rendah sampai daratan tinggi, dan pertahanan pegunungan/ pedalaman.

Salah satu wilayah yang diinginkan Jepang adalah wilayah Hindia Belanda (Indonesia). Ketidakmampuan pemerintah Belanda dalam menghadapi militer Jepang menyebabkan pemerintah Belanda menyerah kepada pasukan Jepang pada 8 Maret 1942. Berbagai catatan-catatan sejarah yang ada, maka kajian ini menitikberatkan pada data arkeologis untuk mengungkap dan merekonstruksi perang pasifik, terutama dalam konteks pembangunan dan pemanfaatan insfrastruktur perang kota yang bukti-bukti arkeologinya masih bisa dijumpai hingga sekarang. Dalam kerangka perspektif arkeohistoris, informasi tentang keberadaan bukti-bukti arkeologis periode Perang Dunia II belum banyak diketahui. Informasi-informasi tentang bentuk-bentuk sarana pertahanan, termasuk lokasi keberadaannya, serta latar historis keberadaan sarana pertahanan tersebut. Pada akhirnya informasi bukti-bukti arkeologis tersebut dapat memberi pemahaman tentang periode Perang Dunia II.

Studi tentang perang dalam arkeologi mewakili suatu kasus khusus penelitian yang menempatkan arti penting dari peristiwa yang telah hilang, melampaui pentingnya kesaksian yang diperoleh di lapangan. Situssitus yang terkait dengan usaha militer lainnya telah ditemukan dan budaya material konflik telah didokumentasikan. Pertumbuhan ini telah memperluas pemahaman tentang konflik masa lalu dan menantang gagasan yang sebelumnya. Arkeologi peperangan (military archaeology) dipahami sebagai konsepsi tentang rekonstruksi peristiwa peperangan. Interpretasi tentang strategi perang ini, dapat dipelajari sebagai lokasi pertahanan. (Wuri Handoko, 2018: 69-84).

Fasilitas ini dibangun guna membendung perlawan ofensif sekutu dari berbagai sisi. Pulau Jawa dan Pulau Sumatera merupakan jalur terdekat dari pangkalan militer Sekutu di Australia. Secara strategi, daerah-daerah di pulau-pulau kecil dan garis pantai harus di pertahankan.

Kubu Pertahanan ini dibangun dengan memanfaatkan kondisi alam dan lingkungan sekitarnya. Kubu dibangun dengan memanfaatan 3 buah batu alam yang letaknya saling berdekatan, dan lokasinya yang relatif tinggi dari pantai. Adapun teknis pembuatannya adalah dengan membuat susunan batang kelapa, yang dikuatkan dengan coran semen, diatas ketiga batu tersebut, yang berfungsi sebagai atap kubu.

Selain dianggap kuat terhadap bombardir udara, pohon kelapa tersebut juga menyaru/terkamuflase dengan lingkungan sekitarnya.[1] Selanjutnya, di antara celah-celah batu tersebut, dapat dimanfaatkan sebagai tempat pengintaian, menembak dan pintu keluar-masuk.

Konsep Pertahanan di Gunung Pangilun memproritaskan untuk pertahanan Garis pantai. Hal ini dapat dilihat dari lubang tembak senjata atau bunker mengarah ke arah laut. Gunung Pangilun merupakan pertahanan terakhir Bangunan pertahanan yang berada di tepi pantai difungsikan untuk mengantisipasi infiltarasi (penyusupan) serta pendaratan pasukan Sekutu. Pada beberapa lokasi startegis juga diperkuat dengan meriam-meriam pantai untuk penghadangan atau pendaratan amfibi dan amtrac. Secara umum bangunan-bangunan pertahanan yang tersebar di sepanjang garis pantai ini bertipe pillbox. Selain itu di daerah Kepulauan Mentawai yang merupakan gugus depan pantai barat Sumatera, juga diperkuat tentara Jepang dengan pillbox, bunker dll.


[1] Pada beberapa tempat yang banyak ditumbuhi pohon kelapa, bangunan/kubu seperti ini banyak dibuat tentara Jepang.