(Renungan Memperingati Hari Artileri - 4 Desember)

Tidak ada asap jika tidak ada api, begitulah sebuah adagium yang sering dilafalkan untuk memperlihatkan kausalitas. Tidak mungkin asap akan muncul begitu saja secara tiba-tiba tanpa didahului menyalanya api. Semua terjadi atas dasar ‘sebab yang kemudian melahirkan ‘akibat. Adagium ini juga menunjukkan urutan logis sebuah kejadian yang diawali nyala api yang kemudian melahirkan asap. Hal demikian tidak pernah terbalik. Tidak logis ketika adagium itu diubah menjadi “tidak ada api jika tidak ada asap”. Di mana pun, tidak ada asap yang mengawali kemunculan api. Api lah yang menjadikan sesuatu terbakar, lalu kemudian melahirkan asap. Begitulah secara logis urutan sebuah kejadian dapat dicontohkan.

Lalu apa korelasi antara adagium di atas dengan penemuan meriam? Barangkali keduanya terkait.

Tidak banyak bangsa yang mencatatkan tentang kapan mereka mengenal meriam. Sumber elektronik yang umum dipetik untuk mencari informasi adalah platform Wikipedia. Akan tetapi berbeda dengan bahasan-bahasan lainnya, informasi terkait sejarah meriam yang diunggah Wikipedia relatif berbasis sumber ilmiah. Ada 59 buku yang dikutip untuk mendukung penulisan tentang meriam.

Dijelaskan bahwa meriam pertama dibuat oleh Ctesibius dari Alexandria pada abad ke-3 sebelum masehi. Berdasarkan catatan klasik China, Dinasti Song mulai menggunakan meriam pada saat merebut sebuah kota di Fujian pada tanggal 28 Januari 1132 masehi. Mesir telah menggunakan meriam sejak abad ke 13 m dan mungkin saja lebih tua dari itu. Akan tetapi, kedigdayaan meriam justru berkembang di tangan orang Mesir. Mereka menggunakan komposisi bubuk yang memiliki daya ledak tinggi. Praktis pengetahuan ini menjalar hingga ke Arab dan terus dikembangkan. Bukti dari perkembangan itu adalah dihasilkannya meriam genggam baik manual maupun otomatis.

Kemajuan teknologi meriam di jazirah Arab tentu saja membawa pengaruh besar ke dunia sekitarnya. Tidak terkecuali dengan Khalifah Turki Utsmaniyyah (Ottoman). Selain jumlah pasukan yang besar, militer Turki juga ditunjang oleh wawasan teknologi meriam yang mereka kuasai.

Pada abad ke-16, penguasa Ottoman/Turki bahkan sudah mengirim bantuan pasukan dan ahli/pembuat meriam ke Aceh. Di tahun 1560-an, Aceh yang pada waktu itu berada di bawah kepemimpinan Sultan Alauddin al Qahaar (Sang Penakluk) sedang mengkampanyekan perang suci untuk merebut Malaka dari tangan Portugis (Reid, 2011: 7). Hal menarik dalam praktek diplomatik yang diterapkan oleh pemimpin kedua kesultanan tersebut adalah penggunaan lada sebagai hadiah pada abad-abad kejayaan rempah tersebut. Akan tetapi, lebih bijak jika persoalan tersebut dituliskan dalam pembahasan tersendiri.

Meriam di Halaman Mesjid Al Jihad Teluk Kuantan, Kuantan Singingi.
Meriam di Halaman Mesjid Al Jihad Teluk Kuantan, Kuantan Singingi.

Meriam telah menjelma menjadi sumber kedigdayaan. Darinya bersumber kekuatan moral. Keberadaan meriam dalam sekelompok pasukan akan mempertinggi daya juang. Secara tradisional, peperangan dilakukan dengan cara unjuk kekuatan dua pasukan di medan luas atau di lautan. Dalam sebuah pertempuran, meriam tidak sekedar digunakan untuk membunuh pasukan musuh. Yang lebih utama, meriam digunakan untuk memecah formasi pertahanan yang telah disiapkan oleh seteru dari jarak jauh, sehingga musuh lebih mudah ditaklukkan.

Praktek demikian berlangsung setidaknya hingga abad ke 18 dan bahkan lebih jauh hingga abad ke 19 bagi daerah-daerah pedalaman Nusantara, yang teknologi persenjataannya baru mulai berkembang. Semakin banyak dan semakin canggih meriam yang dimiliki sebuah kerajaan, maka semakin digdaya kerajaan tersebut bagi kerajaan di sekitar.

Meriam adalah alat untuk memperteguh hegemoni. Stabilitas yang tercipta akibat kepemilikan meriam, menjadi garansi kelangsungan aktifitas perekonomian. Semakin stabil kondisi keamanan sebuah bandar, semakin nyaman para pedagang melakukan transaksi ekonomi. Semakin ramai sebuah bandar, semakin tinggi keuntungan ekonomi yang diperoleh sebuah kerajaan pengelola bandar.

Asap meriam adalah asap yang menjamin stabilitas. Tetapi ia seperti iblis yang terus menghidupkan api keserakahan sekelompok manusia (bangsa) untuk menaklukkan kelompok manusia lain. Tidak berlebihan jika di banyak kebudayaan, besi yang dituang untuk dibuat menjadi senjata, selalu disebut sebagai barang panas sekalipun tidak digunakan, karena selalu meniup ubun-ubun pemiliknya untuk selalu agresif.

Akhirulkalam, tersebab sifat demikian, meriam dan apa pun jenis peralatan militer yang terus dilombakan pembuatannya oleh berbagai negara, sebaiknya dihentikan. Mari hidup damai dan bahagia secara berdampingan.

Salam Budaya