Situs Muara Kaman
Situs Muara Kaman diketahui sebagai Protosejarah di Nusantara. hingga saat ini penelitian situs muara kaman masih dilanjutkan baik pusat, maupun upt dan juga dinas terkait.
Sejak masa prasejarah daerah Kalimantan Timur telah menjadi pusat peradaban manusia yang hidup di gua-gua yang sekarang secara administrasi berada di kawasan Sangkulirang – Mangkalihat di wilayah Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau (Kasnowihardjo, 2013: 63-76; Setiawan, 2013: 77-100). Hubungan antara budaya prasejarah di bagian hulu dan daerah-daerah hilir seperti Muara Kaman dapat diketahui dari temuan beberapa fragmen tembikar dan artefak lain yang banyak ditemukan di gua-gua hunian prasejarah ditemukan pula pada ekskavasi arkeologi yang dilakukan di kawasan Situs Muara Kaman. Hubungan antara pedalaman dan luar dikarenakan adanya perdagangan komoditi seperti emas dan gaharu yang dimiliki pedalaman dan merupakan komoditi yang sangat dicari oleh para pemburu emas dari luar Nusantara. Kita tahu bahwa sejak ratusan tahun sebelum Masehi di Eropa dan Timur Tengah emas telah menjadi barang komoditi yang memiliki nilai sangat tinggi.
Hasil penggalian atau ekskavasi yang dilakukan pada tahun 2008 seperti misalnya fragmen tembikar bercirikan tembikar Lapita mirip dengan fragmen tembikar yang ditemukan di Situs-situs gua prasejarah di kawasan Sangkulirang. Beberapa gua prasejarah telah diteliti oleh tim gabungan antara Balai Arkeologi Banjarmasin, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Le Kalimanthrope antara tahun 2003 – 2005 yaitu Gua Tengkorak, Liang Jon, dan Gua Kebobo. Gua-gua prasejarah selalu dihubungkan dengan manusia yang pernah menghuninya. Beberapa artefak gua yang secara kontekstual mempunyai relasi dengan manusia pendukungnya antara lain berupa alat, sisa makanan, dan lukisan dinding gua. Ketiga jenis tinggalan tersebut merupakan data yang menginformasikan tentang keberadaan manusia penghuni gua pada suatu waktu tertentu (masa prasejarah). Perkakas batu seperti serpih, bilah, sendok, mata panah, dan kapak yang ditemukan di Gua Tengkorak, merupakan ciri peralatan manusia prasejarah. Bahkan beberapa serpih yang ditemukan di Gua Ilas Kenceng, Gua Tengkorak, Liang Jon, dan Gua Batu Aji, menunjukkan keistimewaan dalam teknologi pembuatannya (Kasnowihardjo, 2008: 18-19).
Bukti adanya kontak antara pedalaman dan Muara Kaman diperkuat dengan temuan fragmen tembikar Lapita yang banyak ditemukan di gua-gua hunian manusia prasejarah ditemukan pula di kawasan Muara Kaman. Diperkirakan baik gerabah Lapita maupun barang komoditi lainnya yang berasal dari pedalaman dibawa ke kawasan Muara Kaman melalui jalur Sungai Kedangrantau yang menghubungkan antara kedua kawasan tersebut. Hubungan antara pedalaman dan kawasan Muara Kaman setidaknya telah dimulai sejak Kudungga berkuasa dan menjadi “Syahbandar” di kawasan tersebut (Cahyono dan Gunadi, 2007). Masa pemerintahan Kundungga hingga Aswawarman dapat dikatakan masa protosejarah bagi Kalimantan Timur, khususnya dan kawasan Nusantara pada umumnya. Walaupun sejak Kundungga berkuasa diperkirakan telah terjalin kontak antara Muara Kaman dengan para pedagang dan Brahmana yang datang dari luar Kalimantan atau mungkin luar Indonesia. Pemberian nama Aswawarman putera Kundungga merupakan salah satu bukti adanya kontak yang terjalin pada masa itu antara Kundungga dan komunitas yang membawa budaya India. Namun demikian, karena secara tekstual bukti tulisan baru dikenal pada saat Mulawarman menggantikan kedudukan Aswawarman, maka sejak ditemukan ke tujuh prasasti itulah sejarah Muara Kaman mulai terkuak, dan itulah “Tonggak Sejarah Nasional Indonesia” (Kasnowihardjo, 2006: 20-26). Sumber tertulis inilah yang akan membuka tabir sejarah kawasan Muara Kaman, sedangkan kajian arkeologi akan melengkapi dalam rekonstruksi sejarah kebudayaan kawasan tersebut (Cahyono dan Gunadi, 2007).
Pembuktian akan kebenaran
Data artefaktual Situs Muara Kaman dapat diketahui setelah dilakukan penelitian historis- arkeologis yang cukup intensif pada tahun 2004 – 2006 dengan kerjasama antara Balai Arkeologi Banjarmasin, Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang, dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai penyandang dana. Hasil penelitian tahun 2004 yang cukup signifikan dari kegiatan survey ditemukan batu Peripih temuan salah seorang penduduk Muara Kaman.
Lokasi temuan di kawasan yang oleh penduduk setempat disebut Tanjung Serai. Setelah Tim Survei melakukan pengamatan di Tanjung Serai dan tanjung-tanjung lain di kawasan Muara Kaman, maka diputuskan untuk melakukan kegiatan ekskavasi di beberapa tanjung yang dicurigai bahwa kawasan tersebut merupakan lokasi yang ideal untuk aktivitas masa lalu (diperkirakan sebagai tempat mendirikan prasasti/bangunan keagamaan). Secara monumental tidak ditemukan sisa-sisa bangunan atau bagian dari bangunan, akan tetapi fitur yang mirip dengan bentuk struktur bata ditemukan pada kedalaman 40 cm dari permukaan tanah. Anehnya setelah permukaan tanah galian tersebut terekspos beberapa saat maka fitur struktur bata tersebut pudar dan yang terlihat lapisan tanah berwarna keabu-abuan sama sekali tidak ada warna bata merahnya. Temuan menarik dari ekskavasi di Tanjung Serai adalah manik-manik dalam jumlah yang cukup banyak dan bervariasi jenis bahannya.
Penelitian historis arkeologis yang dilakukan dari tahun 2004 – 2006 rupa-rupanya belum menuntaskan dalam pencarian informasi dan pemecahan berbagai masalah di seputar kawasan Situs Muara Kaman. Oleh karena itu pada tahun 2008 diupayakan untuk melanjutkan penelitian arkeologis dengan sasaran utama mencari setting lokasional pola permukiman di kawasan Situs Muara Kaman dan data artefaktual yang dapat menambah koleksi museum yang pada saat itu telah dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanagara.
Pasnowiharjo, Gunadi. 2014. Peran Pusat dan Daerah dalam Pengelolaan Situs Cagar Budaya” Studi Kasus Situs Muara Kaman di Kutai Kartanegara. Kundungga ISSN 2301-5853 Volume 3 Tahun 2013.