Perkembangan Islam di Kalimantan Selatan tidak lepas dari ikut campurnya Kesultanan Demak dalam proses islamisasi di tanah Banjar. Berdirinya Kesultanan Banjar pada tahun 1525 M menjadi titik tolak penyebaran Islam ke berbagai pelosok daerah yang ada di Kalimantan Selatan. Pangeran Samudra atau yang dikenal dengan Sultan Suriansyah adalah sultan pertama di Kesultanan Banjar. Ia diangkat menjadi sultan setelah memenangkan pertempuran melawan pamannya Pangeran Temenggung dalam memperebutkan tahta kerajaan Daha. Pangeran Samudra yang pada waktu itu mengasingkan diri ke Banjarmasin meminta bantuan ke Kesultanan Demak untuk berperang melawan pamannya. Kesultanan Demak yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Trenggono menyetujuinya dengan syarat, Pangeran Samudra harus memeluk agama Islam dan Pangeran Samudra pun menyetujuinya. Pangeran Samudra diislamkan oleh seorang ulama dari tanah Jawa yaitu Khatib Dayyan dan mengganti namanya dengan Sultan Suriansyah. Sejak saat itu agama Islam dijadikan agama resmi dari Kesultanan Banjar.
Pesatnya perkembangan Islam ditandai dengan banyak masjid-masjid yang dibuat di berbagai daerah di Kalimantan Selatan. Masjid-masjid yang dibuat pada zaman itu memiliki ciri khas yaitu berarsitektur tradisional atap tumpang dan bahan bangunannya terbuat dari kayu, seperti kayu ulin, kayu lanan, kayu kapur naga dan kayu balangiran. Sesuai dengan kondisi alamnya, rumah panggung merupakan ciri khas bangunan pada waktu, begitu juga dengan bangunan masjid yang dibuat berkonstruksi panggung. Adapun masjid-masjid tradisonal yang
beratap tumpang, yaitu: Masjid Sultan Suriansyah di Kuin Banjarmasin, Masjid Pusaka di Banua Lawas Kabupaten Tabalong, Masjid Su’ada di Wasah Hilir Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Masjid Assuhada di Waringin Kabupaten Hulu Sungai Utara, Masjid Jami Al-Haq di Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Masjid Al-Mukarromah di Banua Halat Kabupaten Tapin dan beberapa masjid lainnya (Wajidi, 2011; 88).
Menurut tradisi lisan, masjid Pusaka Banua Lawas didirikan oleh Khatib Dayan bersama-sama tokoh Dayak Maanyan seperti Datu Kartamina, Datu Sari Negara, Datu Sari Panji, Datu Rangganan dan datu lainnya yang telah memeluk agama Islam pada tahun 1625 M bersamaan dengan pendirian Masjid Pusaka pada tahun itu juga. Dilihat dari namanya, kemungkinan Datu Sari Nagara dan Datu Sri Panji sebelumnya memeluk agama Hindu atau mungkin saja masih menganut agama lamanya dan turut membantu saudaranya yang telah memeluk agama Islam ketika membangun Masjid Pusaka, Banua Lawas.
Tradisi lisan masyarakat di Banua Lawas menceritakan bahwa lokasi situs dulunya adalah pemukiman suku dayak di tepi sungai Tabalong dan bangunan masjid yang berdiri sekarang adalah balai adat suku dayak. Kemenangan Pangeran Samudra dengan kerajaan Daha menyebabkan wilayah di seluruh Sungai Daha dan Sungai Nagara takluk di bawah Kerajaan Pangeran Samudra termasuk wilayah di seluruh aliran Sungai Tabalong. Atas kekalahan tersebut, pengislaman di daerah Sungai Tabalong menjadi cikal bakal masuknya Islam di Tabalong dipimpin oleh Khatib Dayan.
Pembangunan Masjid Pusaka Banua Lawas atas prakarsa Khatib Dayan dan Sultan Abdurrahman serta dibantu oleh tokoh-tokoh suku dayak yang memeluk Agama Islam, di antaranya :
1. Datu Ranggana asal Puain
2. Datu Kartamina asal Kelua ( Sungai Rukam )
3. Datu Sari Panji asal Banua Usang
4. Lang- Lang Buana asal Banua Usang
5. Taruntun Manau asal Banua Usang
6. Timba Sagara asal Banua Usang
7. Layar Samit asal Kata Waringin
8. Pambalah Batung asal Barito
9. Gantung Galuh asal Banua Usang
Mereka semua bahu-membahu membangun sebuah Masjid di lokasi bekas pesanggarahan (balai adat dayak) dengan ukuran bangunan 15 X 15 meter. Bangunan disokong oleh 4 (empat) buah tiang utama (Soko Guru) dari pohon ulin ukuran sebesar gantang dan tiang-tiang penunjang lainnya juga dari pohon betung (bamboo) dengan ukuran sedikit lebih kecil dari tiang utama.
Tidak ditemukan inskripsi mengenai kapan masjid didirikan, data artefaktual yang dapat diidentifikasi bahwasanya bangunan masjid berbentuk panggung terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu bagian kaki, badan dan atap. Masjid Pusaka Banua Lawas pernah mengalami 3 (tiga) kali pemugaran dengan ciri yaitu:
1. Bangunan pertama kali dipugar dapat diketahui berdasarkan jenis keramik yang ada berukuran 20×20 cm berwarna berwarna hijau bermotif abstrak dan warna bermotif flora berwarna hijau. Berdasarkan bentuk dan motifnya diperkirakan ubin ini berkembang pada masa 1930-an;
2. Pemugaran kedua ditandai dengan menutup dinding kayu menjadi dinding keramik keramik berwarna putih di ruangan sholat dan mengganti atap dari sirap menjadi atap seng;
3. Pemugaran ketiga pada tahun 2014 dengan mengganti material teras dari keramik ukuran 20×20 warna biru menjadi keramik ukuran 60×60 berwarna putih kecoklatan.