Ketika VOC jatuh (1799), kekuasaan beralih ke tangan Gubernemen Hindia
Belanda. Akan tetapi sampai tahun 1800 Gubernemen Belanda belum berhubungan
langsung dengan kerajaan-kerajaan di Kalimantan Timur. Sampai pada zaman
kekuassan Inggris di Indonesia tahun 1811-1816 pengaruh asing masih sampai ke
daerah ini. Baru sesudah komisaris jenderal Belanda menerima penyerahan
pemerintahan di Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1816 dari Inggris, Gubernemen
Belanda memantapkan kekuasaannya ke seluruh Indonesia termasuk Kalimantan
Timur (Nur, 1986:6).


Pada tahun 1825 Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Betawi (Jakarta) mengirim
utusannya George Muller untuk mengadakan perjanjian persahabatan dengan Sultan
Salehuddin dari Kerajaan Kutai Kertanegara di Tenggarong. Setelah berhasil, ia
bermaksud pula mengadakan perjalanan dari Samarinda ke Pontianak lewat Sungai
Mahakam dan Sungai Kapuas. Akan tetapi di tengah perjalanan dia terbunuh dekat
Sungai Marakaman. Seorang petualang dan penyelidik berkebangsaan Inggris
bernama John Dalton melakukan perjalanan keliling Kutai, melaporkan bahwa
Salehuddin terlibat dalam pembunuhan George Muller itu. Gubernur Jenderal Hindia
Belanda tidak dapat melakukan pembalasan karena pada saat yang sama, Belanda
menghadapi perang di Ponorogo, Jawa Tengah, dan perlawanan Imam Bonjol di
Sumatra Barat (Sjahbandi, 1996:21).

Pada tahun 1844 suatu ekspedisi Inggris terdiri dua buah kapal, Young Queen
dengan Kapitan Hart dan kapal perusak Anna dengan Kapitan Lewis. Ekspedisi yang
dipimpin oleh James Erskine Murray itu mencoba menanam pengaruhnya di Kerajaan Kutai. Dengan perantaraan juru bicaranya seorang Benggala, ia mengumumkan kepada penduduk Samarinda dengan menyebut dirinya sebagai “Tuwan Besar Raja Maris”. Dengan tidak menunggu izin Sultan Kutai ia berlayar dengan dua kepalanya
untuk ke Tenggarong untuk meminta tanah di Kota Tenggarong. Di atas tanah itu ia
bermaksud mendirikan kantor dan monopoli perdagangan. Sultan Salehuddin
mengizinkannya mendirikan perwakilan dagang di Samarinda dengan alasan bahwa
itu memang disiapkan sebagai kota dagang. Selanjutnya Murray memaksakan
kehendaknya dengan mengirim surat yang isinya pertama agar permintaannya dituruti
dan kedua mengizinkannya berlayar ke pendalaman dengan jaminan Sultan harus
mengirim Pangeran Mangkubumi, Sultan Muda, Pangeran Dipati dan Uwa
Nyamojang ke kapal disertai ancaman apabila dalam tempo setengah jam sultan tidak
mengirimkan keempat orang itu, Murray akan mengambil cara lain (Nur, 1986:8).
Setelah ancaman tersebut tidak diindahkan oleh sultan, kemudian Keraton
Kesultan ditembak dengan meriam. Karena tindakan Murray itu terjadilah
pertempuran, yang mengakibatkan pemimpin ekspedisi Inggris itu dengan beberapa
orang anak buahnya tewas ditempat. Sisa-sisa dari anak buahnya melarikan diri ke
Makassar dengan sekoci kapal belgi yang kandas, namun disangka kapal Murray oleh
prajurit Kutai yang mengejarnya sampai ke Muara. Begitu marahnya pihak kerajaan
sehingga mereka merampas seluruh isi kapal tersebut. Setelah menerima berita
peristiwa J.E. Murray, Pemerintah Inggris merencanakan mengirimkan angkatan laut
untuk menyerang Kutai. Pemerintah Belanda memprotes rencana Inggris itu, karena
berdasarkan Konvensi London 1814 Kalimantan Timur termasuk wilayah
Gubernemen Belanda. Pemerintah Belanda berjanji akan menyelesaikan kasus
Murray. Gubernemen Belanda segera memerintahkan angkatan lautnya yang ada di
Makassar menuju ke Kutai. Armadanya terdiri atas S’Kuner Egmond, Zephijr, Janus
dan kapal penghancur Arend yang dipimpin oleh Letnan (laut) I Letnan T Hooft.
Kekuatan angkatan laut Belanda selain kapal perang juga diperlengkapi dengan tiga
buah berkas kruisboot nomor 18 dan 74 serdadu angkatan laut, serta 140 orang
serdadu angkatan darat. Pada tanggal 29 Maret 1844 Letnan T Hooft tiba di Tjirotto,
suatu tempat di hilir Samarinda. Daeng Soette de Gelarang (Puang Ado) dan Daeng

Matola datang menemui Letnan T Hooft dan diminta agar tetap bersama dalam satu
kapal menuju Samarinda, sedang yang lain lebih dahulu berangkat (Nur, 1986:9).
Tanggal 1 April 1844 angkatan laut Belanda berlabuh satu mil di hilir Samarinda.
Letnan T Hooft meminta supaya sultan datang menemuinya di Samarinda. Karena
Sultan Salehuddin tidak bersedia memenuhi permintaan T Hooft, maka angkatan laut
Belanda itu berangkat ke Tenggarong. Pada tanggal 6 April 1844 mereka tiba di
Tenggarong, tetapi istana telah dikosongkan. Sultan dengan keluarga dan para
pembesar telah mengungsi ke Kota Bangun. Letnan T Hooft mengirim utusan untuk
memeriksa keadaan kota. Keesokan harinya pukul 05.30 diperintahkannya kepada
Letnan (laut) I Cijver komandan Z.M. Schoener Zephijr membakar Kota Tenggarong.
Pukul 17.00 lebih kurang 500 sampai 600 rumah dan sebuah masjid yang indah
hangus terbakar. Angkatan laut Belanda kemudian kembali ke Samarinda. Gelarang
Puag Ado segera menemui T Hooft di kapal, Ia dan anak buahnya dituduh oleh T
Hooft bersekongkol dengan prajurit Kutai membajak dan merampok barang-barang
kapal Belgi De Charles. Meskipun Puag Ado menyangkal dengan keras, tetapi T
Hooft tetap dengan keputusannya. Puag Ado dan anak buahnya dihukum; pertama
harus mengembalikan semua barang-barang kapal De Charles yang dirampas anak
buah Puag Ado, kedua harus membayar denda sebanyak 60.000 real mata uang perak
dalam tempo 24 jam. Dua hari kemudian, yakni pada 10 April 1844, Puag Ado datang
menemui Letnan T Hooft dengan membawa uang denda 4000 rupiah. Letnant T
Hooft bersedia menerimanya dengan syarat sisanya harus dibayar dalam tempo lima
tahun dan sebagai jaminannya ia minta tiga orang sandera keluarga Puag Ado. Pada
tanggal 11 April 1844 Pua Ado terpaksa membawa menantunya Haji Baran Achmad
dan Lacu Puag Bassih sepupunya sebagai jaminan. Sesudah menerima jaminan itu T
Hooft dengan angkatan lautnya berangkat meninggalkan Samarinda. Tanggal 21
April 1844 mereka tiba di Makassar (Nur, 1986:11).
Lima bulan kemudian, yakni pada tanggal 26 September 1844, A.L. Weddik
komisaris gubernemen untuk Pulau Kalimantan, tiba di Samarinda dengan dua buah
kapal perang. Permintaannya dipenuhi oleh Sultan Salehuddin, dan pada tanggal 11
Oktober 1844 diadakan suatu perjanjian antara Sultan Salehuddin dari Kerajaan Kutai
Kertanegara dengan Arnoldus Laurens Weddik sebagai wakil Gubernemen Belanda
yang isinya antara lain Kerajaan Kutai Kartanegara mengakui kedaulatan
Gubernemen Belanda. Dengan ditandatangani kontrak tersebut berakhirlah
kemerdekaan Kerajaan Kutai kertanegara sebagai kerajaan yang berdaulat. Sebagai
kelanjuatan perjanjian itu Gubernemen Belanda menempatkan seorang pegawainya
yang berpangkat asisten residen bernama Von De Wall di Pelarang (kurang lebih
delapan mil dihilir Samarinda). Von de Wall menamakan Kota Samarendah dengan
sebutan “Samarinda”. Lokasi Samarinda terletak di sebelah kanan Sungai Mahakam
dengan jumlah penduduk sekitar 5000 jiwa. Penduduk yang mendiami Samarinda
berasal dari suku yang berbeda di Indonesia seperti jawa, banjar, kutai, dayak,
makassar dan juga bugis, persentasi terbanyak ditempati oleh Suku Bugis yang
berasal dari daerah Wajo Sulawesi Selatan. Selain itu, disekitar Sungai Mahakam
berdiam keluarga keturunan Cina dan Arab. Rumah kediaman para penduduk
berbentuk panggung memakai tiang berjumlah kurang lebih 150 buah. Saat itu,
terdapat kurang lebih 200 buah rumah sakit di tepi Sungai Mahakam. Di seberang
kota di sebelah kiri Sungai Mahakam terdapat barisan bukit-bukit yang tingginya
sekitar 300 sampai 400 kaki. Tanah di belakang perkampungan dijadikan ladang padi.
Mata pencarian selain di ladang meraka juga berdagang Kebanyakan penduduknya
berdagang (Hasan, 1952).
Demikianlah tata Kota Samarinda menurut A.L. Weddik, gubernur Kalimantan,
berdasarkan laporan Von de Wall asisten-residen Kalimantan Timur pada tahun 1846.
Dari tulisan tersebut diketahui bagian kota yang ramai adalah Samarinda Seberang,
sedangkan Samarinda Kota maasih berupa pemukiman para pedagang. Pada tahun
1879, Carl Bock mendapat tugas dari gubernemen mengadakan perjalanan dari
Samarinda ke Banjarmasin. Dari hasil penelitiannya, beliau menulis keadaan Kota
Samarinda sebagai berikut: 16 Juli 1879 kami tiba di Kutai dengan kapal laut dari
Ujung Pandang (Makassar), dataran itu penuh dengan pohon-pohon nipah. Pada siang
harinya kami menuju Sungai Mahakam yang merupakan muara sungai bercabang 17
dan membentuk delta. Dari beberapa nakoda saya mendapat informasi, bahwa
pelayaran di Sungai Mahakam adalah pelayaran yang sulit jika dibandingkan dengan
pelayaran tempat lain di Nusantara. Pada sore hari, kami tiba di Pelaran tempat
kedudukan tuan Seitz, asisten residen Kalimantan Timur. Kota kecil itu letaknya 40
mil dari Sungai Mahakam. Sebuah sekoci memberi tahu ke kapal bahwa Tuan Seitz
sedang bertugas ke Banjarmasin, karena itu mereka menuju ke Samarinda melalui
jalur Sungai Mahakam. Samarinda adalah kota pelabuhan untuk Kerajaan Kutai. Kota
itu kelihatan sangat miskin jika dibandingkan dengan kota-kota lain di Nusantara
yang pernah saya kunjungi demikian pula keadaan penduduknya. Penduduk kota
berjumlah kurang lebih 10.000 orang, kebanyakan berasal dari Suku Bugis Sulawesi
Selatan. Sebelah kanan Sungai (Samarinda Kota) berdiam ratusan pedagang Cina dan
Suku Banjar.
Dari catatan Carl Bock tentang Kota Samarinda pada tahun 1879 bahwa orangorang Eropa dan asisten residen masih berdiam di pelaran, dalapan mil di hilir Kota
Samarinda. Walaupun menurut Kolonial Verslag asisten residen untuk Af-deeling
kutai dan Pesisir Timur Laut Kalimantan berkedudukan di Samarinda, bahkan Asisten
residen S.W. Tromp pada tahun 1885 masih berdiam di pelarang. Menurut
A.L.Weddik pada tahun 1846 Samarinda mulai berkembang menjadi kota dagang,
dimana saat itu pedagang Cina di Samarinda baru dua orang, kemudian pada tahun
1846 jumlah pedagang Cina mencapai ratusan orang. Carl Bock juga menyebutkan
nama-nama komoditi impor dan ekspor yang dikirim melalui Pelabuhan Samarinda
(Hasan 1952).
Pertumbuhan Samarinda sebagai kota dagang semakin bertambah maju Semakin
ramainya perdagangan antar pulau, karena mulai tahun 1876 Kutai (Samarinda)
dimasukkan dalam hubungan pelayaran KPM (Koninklijk Paketvaart Maatschappij)
yang mendapat subsidi dari pemerintah. Jalur pelayarannya adalah Makassar menuju
Parepare kemudian Samarinda. Dengan adanya jalur atau jadwal pelayaran tetap ini,
pedagang-pedagang dengan mudah dapat mengadakan serta mengatur perjanjian
dengan koleganya di kota-kota lain. Pada tahun 1882 jalur pelayaran KPM diperluas,
melalui Singapura-Surabaya-Bawean-Banjarmasi-Pulau Laut-Samarinda. Dengan
dibukanya jalur pelayaran baru ini pemasaran barang-barang perdagangan dari
Samarinda dan sekitarnya semakin bertambah ramai. Pedagang-pedagang Samarinda
bukan saja berhubungan dagang dengan pedagang antar pulau, tetapi juga dengan luar
negri seperti Singapura (Sjahbandi, 1996:24).
Pada tahun 1859 terjadi perang Banjar1 dimana Kerajaan banjar melawan Hindia
Belanda yang berlangsung sampai dengan tahun 1905. Peristiwa meledaknya
peperangan tersebut dan kekejaman serdadu Belanda, sehingga banyak pedagang dan
rakyat biasa Suku Banjar dari Kalimantan Selatan berpindah ke Kalimantan Timur
khusunya di Samarinda. Kebanyakan mereka bermukim di kampong-kampung antara
1 Saat itu, rakyat Kalimantan Selatan terutama suku Banjar dan suku Dayak yang berada di
bawah kepemimpinan Kerajaan Banjar angkat senjata untuk megusir penjajah (Hindia
Belanda) di tahan air. Perang tersebut dipimpin oleh Pangeran Antasari.
sungai Karang Mumus dan sungai Karang Asam Besar. Di antara kampong-kampung
Suku Banjar terkenal dangan nama “Kampung Hulu Banjar Sungai”. Dibukanya
perusahaan bangsa Eropa yang bergerak di bidang pertambangan minyak dan batu
bara. Jumlah perusahaan Eropa yang mendapat izin pencarian dan pertambangan
mulai tahun 1896 sampai 1899 di Kalimantan Timur sebanyak 18 perusahaan,
kebanyakan beroperasi di daerah Kutai dan Balikpapan. Tenaga kerja umumnya
berasal dari Pulau Jawa yang juga bermukim di Samarinda, sehingga terdapat
kampung yang dinamakan Kampung Jawa. Suku-suku Bugis juga banyak yang
bermukim di Samarinda Kota dan membuat kampung tersendiri dengan nama
Kampung Bugis. Orang Cina yang jumlahnya sudah beratus-ratus orang itu membuat
tempat pemukiman sendiri yang disebut khoy goan (letnan Cina) (Hasan 1952).
Dengan dibukanya perusahaan-perusahaan pertambangan bangsa Eropa,
Samarinda Kota semakin ramai, banyak di antara mereka membuka kantor dan
menetap di Kota Samarinda. Berdasarkan keadaan itu gubernemen atau gubernur
mempertimbangkan akan lebih menguntungkan dan melancarkan roda pemerintahan
apabila kedudukan asisten residen dipindahkan dari Pelarang ke Samarinda Kota dan
bagian kota harus langsung berada di bawah pemerintahan gubernur. Dengan surat
keputusan gubernur jenderal Hindia Belanda tanggal 16 Agustus 1896 nomor 7, Kota
Samarinda ditetapkan sebagai ibukota Afdelling Kutai dan Pesisir Timur Laut Pulau
Kalimantan dengan batas-batas, di sebelah utara, timur laut dan barat dengan suatu
daratan yang terletak sejajar dengan Sungai Mahakam (berjarak 500 meter dari sungai
tersebut), di sebelah timur dengan Sungai Karang Mumus, di sebelah barat dengan
Sungai Karang Asam Besar, dan di sebelah selatan dengan Sungai Mahakam. Daerah
ini langsung berada di bawah pemerintahan Gubernemen atau Gubernur Belanda
dengan nama vierkante paal, terlepas dari pemerintahan Kesultanan Kutai
Kertanegara, kecuali Samarinda Seberang yang tetap berada di bawah pemerintahan
Kesultanan Kutai (Hasan 1952).