PERANAN MGMP UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN TENTANG CAGAR BUDAYA SITUS MANUSIA PRASEJARAH PADA KAWASAN KARST SANGKULIRANG-MANGALIHAT SEBAGAI NOMINASI WARISAN DUNIA

0
537

PERANAN MGMP UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN TENTANG CAGAR BUDAYA SITUS MANUSIA PRASEJARAH PADA KAWASAN KARST SANGKULIRANG-MANGALIHAT SEBAGAI NOMINASI WARISAN DUNIA

 

BAB 1

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah diwakili oleh empat orang Guru Sejarah mendapat kesempatan meningkatkan pemahaman tentang Cagar Budaya. Pengenalan Cagar Budaya dilakukan dengan mengunjungi Situs Manusia Prasejarah pada Kawasan Karst Sangkulirang-Mangaliat. Kawasan Karst Sangkulirang-Mangaliat membentuk  ceruk dan gua-gua alami yang dapat dijadikan sebagai  tempat hunian Manusia Prasejarah, sehingga Gua dan ceruk tersebut menyimpan hasil budayaan Manusia Purba.

Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur menyertakan Komunitas MGMP dalam kegiatan Pengenalan Warisan Dunia kepada Dunia Pendidikan. Kegiatan tersebut berlangsung pada 2 s.d 4 Agustus 2017. MGMP mendapat kesempatan sebagai komunitas yang dapat memberikan informasi kepada peserta didik dan masyarakat luas terkait dengan pencanangan Situs Kawasan Karst Sangkulirag-Mangalihat sebagai Cagar Budaya Nasional yang akan dicanangkan sebagai Warisan Dunia (World Haritage). Peran MGMP yang strategis sebagai penyampai informasi dan diharapkan mampu mengkonstruksi rasa keperdulian peserta didik dan masyarakat luas.

Kawasan Karst Sangkulirang Mangalihat sebagai situs cagar budaya, kawasan ini merupakan satu kesatuan ruang geografis yang memiliki banyak situs cagar budaya yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. Kawasan Karst Sangkulirang-Mangaliat terdapat pada jajaran pegunungan kapur yang membentang seluas 1,8 juta hektar yang terletak di Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Kawasan tersebut terdiri dari sembilan gunung karst, namun yang spesifik dilindungi seluas 430.264,72 hektar, yang terletak di Kecamatan Bengalon, dan Kecamatan Sangkulirang (Kabupaten Kutai Timur), serta Kecamatan Kelay, Kecamatan Sambaliung, Kecamatan Tabalar (Kabupaten Berau).

Cagar Budaya yang terdapat di Kawasan Karst Sangkulirang-Mangalihat adalah warisan budaya bersifat benda buatan manusia yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Cagar Budaya pada situs berupa lukisan cap tangan pada batu cadas (rock art). Berdasarkan temuan gambar tersebut, kawasan ini memiliki fungsi strategis sebagai persimpangan persebaran manusia prasejarah.  Data arkeologis dan etnografis  memiliki peran penting dalam mengungkap diaspora Ras Austronesia.

Berdasarkan potensi alam dan budaya Kawasan Karst Sangkulirang-Mangaliat diakui sebagai Cagar Budaya Nasional. Cagar Budaya ini tidak hanya milik Kabupaten Kota maupun Provinsi Kalimantan Timur, tetapi bermakna penting bagi kebudayaan Nasional bangsa Indonesia. BPCB berusaha menominasikan Kawasan ini sebagai Warisan Dunia (The World Haritage). Kawasan yang dinominasikan untuk program warisan dunia yang dikelola oleh UNESCO telah ditinjau oleh panitia Warisan Dunia (World Haritage Committee) yang dipilih oleh Majelis Umum dalam kontrak empat tahun. Sebuah situs warisan dunia adalah suatu tempat budaya dan alam, serta benda yang berarti bagi umat manusia dan menjadi sebuah warisan bagi generasi berikutnya. Program ini bertujuan untuk menkatalog, menamakan, dan melestarikan tempat-tempat yang sangat penting agar menjadi warisan manusia dunia. Tempat-tempat yang terdaftar dapat memeperoleh dana dari warisan dunia di bawah syarat-syarat tertentu. Syarat untuk mendapat pengakuan Warisan Dunia tidaklah mudah, perlu perhatian banyak pihak dalam memelihara dan melestarikan situs yang ada. MGMP Sebuah komunitas diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk membangun kesadaran dan keperdulian terhadap Situs Cagar Budaya.

Ekspedisi Kawasan Karst Sangkulirang-Mangalihat untuk mengeksplor keragaman budaya pada Gua Tewet dan Gua Karim yang terletak di Desa Tepian Langsat, Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur. Lokasi Kunjungan ditempuh dengan menggunakan moda transportasi darat dan Sungai sekitar 10 jam perjalanan dari ibu kota provinsi.

 

 

 

  1. Tujuan dan Manfaat

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang Cagar Budaya kepada Guru Sejarah dan Pramuka Saka Widya Bakti Budaya dengan mengunjungi Situs Manusia Prasejarah Karst Sangkulirang-Mangalihat yang akan dinominasikan sebagai The World Haritage. Komunitas yang turut serta dalam kegiatan ini dapat mengenal lebih awal terhadap potensi arkeologis penting yang pernah ditemukan di Kalimantan

Manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan tersebut bagi komunitas MGMP, secara langsung dapat mengunjungi Situs Cagar Budaya, sehingga memiliki pengalaman empiris tentang situs tersebut. Guru Sejarah dapat mengadopsi semangat BPCB Kalimantan Timur dalam kesungguhannya menominasikan Situs tersebut sebagai Warisan Dunia. BPCB telah bekerja secara sistematik membangun gagasan pemuliaan situs menjadi Cagar Budaya Nasional menjadi Warisan Dunia, Mengoordinasi seluruh level pemangku kebijakan, dan menggandeng komunitas untuk perduli, memelihara dan melestarikan Situs Nominasi Warisan Dunia.

Manfaat kegiatan ini bagi Kegiatan Belajar Megajar   sangat memiliki makna, Guru dapat dengan percaya diri mengungkap potensi alam dan potensi budaya Kalimantan Timur. Peranan Kalimantan Timur dalam migrasi bangsa-bangsa, dan memaparkan komoditas perdagangan yang mendukung  dinamika perkembangan kebudayaan manusia dalam perdagangan dunia, seperti temuan komuditas kuno yang digemari dalam perdagangan internasional antara lain Sarang Burung, Kayu Gaharu, dan Madu, serta bagian binatang yang dapat dipercaya serbagai bahan baku obat.

Semoga Guru yang mengikuti kegiatan tersebut, bersama MGMP dapat mengemban harapan yang diamanahkan BPCB Kalimantan Timur. MGMP mampu mensosialisasikan program ini kepada masyarakat luas. MGMP dapat mengambil peran turut serta mewujudkan Kawasan Karst Sangkulirang sebagai The World Haritage.

 

BAB II

ISI

  1. Perjalanan Menuju Situs Cagar Budaya

Perjalanan dimualai dari halaman Kantor BPCB Kalimantan Timur, yang terdiri dari Tim MGMP Sejarah berjumlah empat peserta bersama Staf BPCB, bergabung berikutnya anggota Dewan Kerja Daerah Wilayah Kalimantan Timur Pramuka Saka Bakti Budaya, serta pengurus Dewan Kerja Cabang Kutai Timur. Perjalanan dilanjutkan menuju Sangatta Kutai Timur, mengunjungi Dinas Kebudayaan Kutai Timur, sebagai instansi yang memiliki kewenangan wilayah Kawasan Karst Sangkulirang dan Bengalon.

Sambutan kepada delegasi BPCB, Guru Sejarah, dan Anggota Pramuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan Bapak Iman Hidayat, yang memaparkan harapanan Kutai Timur untuk mendukung situs tersebut menjadi warisan dunia. Pemaparan pembagian kewenangan dan kewajiban yang mesti dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur tentang Situs Cagar Budaya, pemaparan daya dukung Kutai Timur dalam program ini, baik oleh Dinas Kebudayaan, Pemerintah Daerah, maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk lebih fokus memperhatikan perkembangan kawasan. Pengembangan berkaitan dengan fasilitas fisik menuju situs cagar budaya, seperti rencana pembangunan dermaga, dan tambahan fasilitas non fisik secara teknis, seperti pengangkatan Juru Pelihara situs.

Kebijakan daerah yang dicanangkan oleh Dinas Kebudayaan akan lebih ditingkatkan ketika komunikasi antar instansi terkait dapat dilakukan. Kendala yang dialami Dinas Kebudayaan salah satunya adalah perubahan struktur bidang kebudayaan yang sebelumnya bergabung dengan departemen pariwisata, dan keberadaan terakhir bidang kebudayaan bergabung dengan Dinas Pendidikan. Hal ini membewa dampak terhadap cara pandang terhadap situs Kawasan Karst. Departemen Pariwisata memiliki kewenangan mengekspos situs sebagai komuditas pariwisata, yang tentunya akan berdampak pada kelestarian situs jika pengunjung tidak mendapat edukasi dan pengawasan yang cukup. Dinas Kebudayaan bertanggung jawab terhadap kelestarian situs dari kerusakan yang disebabkan oleh tangan manusia, sehingga Kepala Dinas menghendaki adanya zonasi situs untuk kunjungan masyarakat luas, dan zonasi situs yang hanya boleh dikunjungi dalam rangka penelitian. Kepala Dinas Kebudayaan berharap pada tahun anggaran mendatang bisa merencanakan pelestarian situs, dan memberikan fasilitas yang diperlukan untuk mendukung rencana besar BPCB.

Perjalanan dilanjutkan dari Sangatta ke Bengalon  tepatnya daerah Hambur Batu yang memerlukan waktu sekitar dua jam perjalanan. Perjalanan dilanjutkan dengan moda transportasi sungai, perahu ketinting yang dapat menampung tiga sampai empat penumpang. Para motorist merupakan Juru Pelihara Situs, yang direkrut dari masyarakat lokal yang memiliki pemahaman menyeluruh tentang medan dan situs cagar budaya. Pada umumnya pekerjaan mereka dimasa lalu sebagai pencari sarang burung walet. Pekerjaan mereka menuntut kecakapan menguasai medan, melintas sungai, menuju ceruk dan gua sebagai habitat ideal burung walet membangun sarang.

Perjalanan menyusuri Anak Sungai Bengalon, menuju Sungai Leye merupakan perjalanan yang menyenangkan. Kecepatan 30 Km/Jam menjadi perjalanan yang santai untuk menikmati bantararan sunga yang masih tertutup vegetasi alami yang beragam. Anak Sungai Bengalon dan Sungai Leye tergolong sebagai sungai purba, teridentifikasi dari tebing-tebing batu yang terkikis cukup dalam. Para Motorist sangat menguasai medan, kapan kecepatan perahu dikendalikan secara maksimal, dan kemampuan membelah gelombang dan menghindari batang kayu tenggelam yang dapat menghantam lambung perahu. Perjalanan yang aman dan nyaman, walau sungai ini menjadi habitat buaya, tetapi dalam perjalanan tidak dijumpa.

Gambar 1 : Menyusuri Anak Sungai Bengalon. Gambar 2:  Sungai Leye

Perjalanan memerlukan waktu yang lebih cepat dari perkiraan dari perjalanan sebelumnya, karena debit air sungai pada bagian hulu lebih tinggi sehingga memeberi keuntungan dalam perjalanan dan waktu tempuh. Sungai dan Gunung Karst Bengalon menjadi sebuah kesatuan ekologi. Debit Sungai Leye dan Bengalon sebagai nadi kehidupan masyarakat pedalaman akan tetap terpelihara, ketika Sumberdaya pegunungan karst berfungsi sebagai penyangga hidrologi yang ideal.

Gambar 3: Sungai purba dengan tebing batu, Gambar 4: perjalanan senja hari menuju Basecamp

Bukit Gergaji mulai Nampak di senja hari, Motorist yang juga seorang Juru Pelihara menjelaskan memandu dengan penjelasan yang menarik tentang potensi ekologi, dan budaya Gunung  Gergaji. Sampailah perjalanan pada Basecamp Cagar Budaya Tewet. Pada esok hari Sebuah bangunan kayu ulin tempat tim ekspedisi menginap baru tampak sebagai tempat yang asri.

Gambacamp 5 dan 6: Keasrian  basecamp Tewet

 

 

  1. Gua Tewat

Nama Tewet diagunakan untuk menghargai pemandu lokal pada awal penelitian situs prasejarah. Situs ini  berada pada tinggian 150 mdpl, pada koordinat UTM X 0528570, Y 0113266. Situs ini berjarak 160 meter dari basecamp yang dapat ditempuh sekitar 30 menit berjalan kaki dengan medan yang cukup terjal. Pada lima menit pertama perjalanan, berhadapan dengan tebing sekitar 3 meter, perjalanan dilanjut dengan menuruni bukit menyusuri lereng. Perjalanan dilanjutkan dengan bendaki tebing 90 derajar dengan ketinggian sekitar 4 meter. Untuk mencapai pintu Gua Tewet harus melintasi tebing dengan ketinggian sekitar 20 meter, dengan kemiringan 180 derajar, tentu saja dengan menggunakan peralatan pendakian yang mengutamakan keselamatan.

Gambar 7 dan 8: Tebing menuju Ceruk Tewet.

Ceruk Tewet terdapat satu ruangan luas dengan bongkah besar stalaktit bada bagian dalam sebelah kanan. Posisi yang demikian menyebabkan kondisi gua selaalu dalam pencaahayaan yang terang pada siang hari. Langit-langit Gua tidak terlalu tinggi pada bagian mulut gua. Pada dinding bagian atas Gua Tewet terdapat banyak lukisan cap tangan, terdapat pula binatang tokek (geko) dan rusa. Lukisan cap tangan menempati alur tertentu, yang diperkirakan sebagai pohon kehidupan.Lukisan cap tangan dijumpai dengan berbagai bentuk kisi-kisi.

Kondisi lukisan pada panel sebelah kanan masih terlihat jelas, pada panel tengah lukisan juga terlihat cerah, namun dibeberapa titik lukisan sudah mulai memudar. Ada beberapa tempat terdapat warnah merah yang mulai pudar, apakah tempat-tempat tersebut dulunya juga merupakan dinding dinding bergambar penuh seperti pada dinding lainnya.

Potensi kerusakan gua pada umumnya disebabkan oleh paparan sinar matahari yang menembus kedalaman gua, karena pada mulut gua belum terdapat vegetasi yang dapat melindungi gua dari paparan sinar matahari, terutama pada mulut gua sebelah kanan. Kerusakan gambar disebabkan pula oleh masuknya air hujan yang merembes pada atab-atap dinding bergambat. Kelembeban yang disebabkan mengalirnya air pada dinding atap gua dan paparan sinar matahari sepanjang waktu, memicu tumbuhnya lumut dan tanaman pakis-pakisan, Tanaman lumut dan pakis dapat menyebaabkan pelapukan batuan. Kerusakan masiv disebabkan oleh bencana kebakaran hutan tahun 1982 dan 1987, menyebabkan perubahan kimiawi batuan kapur oleh suhu, yang menyebabkan semakin cepat terjadi pelapukan.

Pengetahuan yang mesti dibangun oleh para pendaki pemula pada Ceruk Tewet adalah suhu ruangan gua dan suhu tubuh manusia setelah beraktivitas memanjat tebing sehingga naiknya suhu badan yang tinggi harus  diimbangi dengan proses pendinginan sebelum masuk ruang gua. Suhu badan yang tinggi dapat menyebabkan perubahan suhu ruang, sehingga berdampak pada pelapukan. Edy Gunawan selaku ketua ekspedisi mengatur sirkulasi tim untuk mengadakan penelitian secara bergantian, menghindari naiknya suhu ruang gua yang dapat memudarkan gambar cadas. Berdasarkan kondisi yang demikian, pada gua-gua tertentu hendaknya diminimalisir jumlah pengunjung, dan pengunjung selalu terkontrol dibawah pengawasan Juru Pelihara Situs.

 

Gambar 9 : Rock Art pada sisi kanan Ceruk Tewet, Gambar 10: Kerusakan gambar karena lumut dan paparan sinar matahari.

Berdasarkan gambar cadas cap tangan dengan kisi-kisi yang digambarkan bervariasi pada Alur pohon kehidupan, timbul hipotesis tentang folklore bukan lisan, untuk menyampaikan pesan kepada generasi berikutnya tentang keturunan, dan terbentuknya clan-clan marga. Kondisi etnografi masyarakat Dayak yang terdiri dari bermacam-macam sub suku memiliki simbul yang berbeda untuk menyampaikan pesan. Sekali lagi ini hanya sebuah hipotesis, perlu penelitian lebih lanjut. Lukisan batu cadas apakah merupakan tradisi untuk menyampaikan pesan tertentu, atau hanya sekeder menyajikan estetika. Menjadi sebuah teka-teki menarik untuk dipecahkan.

Pendakian pada Gua Tewet II dilakuakn oleh para Juru Pelihara (Jupel) tanpa menggunakan properti panjat tebing. Para Jupel hanya mengandalkan akar-akar tumbuhan yang menjuntai seperti tirai pada mulut gua. Atraksi ini menimbulkan kekaguman pada kekuatan fisik, teknik memanjat dan tentu keberanian yang luar biasa. Nampaknya alam telah menyiapkan perlengkapan bagi manusia untuk mencapai ceruk-ceruk yang sulit dijangkau saat ini. Sebuah rekonstruksi yang menarik, pasti manusia prasejarah menggunakan teknik seperti itu untuk mencapai tempat-tempat yang tinggi.

 

Gambar 11: Jupel memanjat Gua Tewet II tanpa alat sefty, mengandalkan akar tanaman .

Informasi yang mengejutkan, nampaknya ada pengunjung di gua yang tidak terpantau, dan menyisakan vandalism pada dinding gua. Patut disayangkan jika pengunjung tidak memiliki pemahaman terhadap situs.

  1. Gua Karim

Ceruk Karim memiliki ketinggian 170 mdpl. Ceruk Karim terdapat disebelah kiri Ceruk Tewet. Jalan menuju Ceruk Karin memiliki kemiringan 30-45 derajat sepanjang perjalanan. Vegetasi penutup lahan terdari dari berbagai jenis pohon, ilalang dan paku-pakuan, hal ini membantu pendakian untuk mendapat udara yang segar, sekali waktu pepohonan untuk menumpu berat badan denga cara berpegang dan bersandar.

Gua Karum terdiri dari dua ceruk, dengan lahan yang tidak rata. Ceruk pertama dijumpai pada ketinggian sekitar 5 meter, ditempuh dengan menyusun kayu sebagai tangga yang diikat dengan webbing. Pada ceruk ini terdapat gambar sarang lebah dengan kualitas gambar yang nampak bagus dari bawah. Pada panel yang terlindung dapat dijuampai gambar tapir. Ceruk ini meneripa paparan sinar matahari yang cukup, pada sore hari paparan matahari sedikit terhalang oleh pohon yang tumbuh pada tebing pelataran bawah ceruk. Hal ini dapat mengurangi kerusakan kualitas gambar dari paparan matahari.

Gambar sarang lebah, dapat dimaknai sebagai bagian dari kehidupan berburu dan meramu. Tradisi seperti ini masih sangat banyak dijumpai pada masyarakat aasli Kalimantan. Lebah lebah hutan sangat gemar membangun sarang pada cabang-cabang kayu bangris. Lebag merupakan komuditas perdagangan kuno yang sangat diminati dalam perdagangan internasional di masa lampau.

Gambar Tapir pada panel Ceruk Karim, dapat menguak kondisi alam masa lampau. Seorang seniman dapat menggaambarkan wujud suatu benda karena telah melihat dan tertarik pada benda yang diamati, untuk dijadikan sebuah lukisan. Dapat dipastikan hewan tapir pernah hidup di hutan Kalimantan.

Ceruk Karim memiliki pemandangan yang Indah pada Ceruk kedua.. Tepat didepan mulut gua terdapat bungkahan besar batu yang melindungi gua dari paparan langsung matahari. Bongkahan batu besar tersebut merupakan tebing menampilkan pemandangan lembah sungai Jele. Hambaran hutan yang hijau dan kelok sungai Jele dari ketinggian sebagai sajian melewatkan waktu istirahat yang bermakna di Ceruk Karim. Sebelah Kiri tebing terdapat sebuah puncak kars yang mulai tertutup vegetasi semacan paku-pakuan. Di sebelah kiri terdapat pula sebuah pohon yang tinggi dengan diameter yang cukup besar, dengan kondisi pernah mengalami kebakaran.

Potensi kerusakan gambar cadas pada Ceruk Karim diakibatkan oleh paparan sinar matahari, aktivitas pemburu yang menggunakan Ceruk Karim sebagai persinggahan, aksi vandalism, dan kebakaran hutan pada tahun 1982 dan 1997 dapat mempercepat pelabukan batuan. Kerusakan oleh suhu yang lembat, mengalirnya air pada permukaan dinding gua menyebabkan tumbuhnya lumut dan pakis, mepercepat pelapukan batuan.

Pukul 16. 26 Wita, ekspedisi Ceruk Karim berakhir, tim pendakian kembali ke Basecamp dengan jalur yang berbeda, dengan kemiringan yang lebih terja. Para Jupel dan perintis jalur dari BPCB telah menyiapkan tali prusik yang sangat membentu, dan pemasangan beberapa Webbing pada jalur-jalur yang memiliki tingkat kesulitan tinggi.  Kerapatan vegetasi dan batu karang sangat membantu dalam menguasai keseimbangan badan. Sekitar satu jam perjalanan untuk sampai basecamp.

  1. Sesi Materi Malam Hari

Setibanya Tim Ekspediasi di Basecamp Tewet, pada malam hari diselenggarakan pembekalan sebelum melakukan ekspedisi.Paparan tentang Kawasan Kars Sangkulirang Mangalihat diberikan dengan paparan lisan maupun tayangan video yang lebih mendekatkan kondisi esok hari, dengan menampilkan artefak dan ecofak yang dapat ditemui di lapangan. Gambar-gambar yang khas pada kawasan ini, berbeda dengan gambar yang ditemukan pada wilayah di luar Kalinyan Timur.

Pembekalan diberikan sangat lengkap, tetapi karena lamanya perjalanan menuju lokasi tentunya akan mengurangi daya tangkap peserta ekspedisi. Hal ini dipengaruhi pula oleh adaptasi terhadap tempat baru, dengan meninggalkan fasilitas yang ada seperti air bersih yang tidak tersedia di toile. Keadaan ini bisa menjadi pertimbangan kemudian hari.

Sesi materi kedua setelah pendakian usai, seluruh peserta memberikan pandangannya terhadap kegiatan yang telah berlangsing. Sesuai dengan lembar kegiatan yang telah dibagikan sebelum menjelajah gua, pada sesi ini segala sesuatunya dikomunikasikan, baik temuan maupun problematic yang dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan. Pandangan dari berbagai macap perspektif komunitas, yang menjadi perhatian adalah kebangganan pencanangan Kawasan Karst sebagai Nominasi The World Haritage, semoga sertifikat itu segera diterima, karena apa yang dijumpai di lapangan memang perlu dilestarikan.

 

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

 

  1. Simpulan

Gua Tewet dan Gua Karim menyimpan bukti arkeologis yang menarik, dan dapat menguak perkembangan peradaban umat manusia. Lukisan pada dinding gua merupakan bukti autentik sebuah peradaban, sehingga kondisi ini harus dipertahankan dan dilestarikan.

BPCB mengikutsertakan MGMP  diwakili oleh empat orang Guru Sejarah mendapat kesempatan meningkatkan pemahaman tentang Cagar Budaya. Pengenalan Cagar Budaya dilakukan dengan mengunjungi Situs Manusia Prasejarah pada Kawasan Karst Sangkulirang-Mangaliat. MGMP dapat mengedukasi peserta didik dan masyarakat luas untuk dapat memiliki kesadaran dan keperdulian melestarikan Cagar Budaya, terutama Sirus Manusia Prasejarah Kars Sangkulirang Mangaliat.

Upaya BPCB mencatatkan situs Kawasan Karst Sangkulirang Mangalihat dengan upaya yang luar biasa, dari menyampaikan gagasan, mengkomunikasikan dan mengoordisai pengambil kebijakan untuk sebuah kesadaran menjacap sertifikat Warisan Dunia.

  1. Saran

Pembekalan yang diberikan kepada peserta ekspedisi perlu dikuatkan terutama secara teknis kunjungan dan pemahaman masing masing komponen pada tugas yang didelegasikan. Program yang dicanangkan BPCB sangat luar biasa, sehingga perlu promosi tterus menerus untuk dapat mengedukasi masyarakat luas, dan mendapat dukunag dari semua kalangan

Pengangkatan Juru Pelihara ditingkatkan untuk mengawal memberi panduan terhadap pengunjung dan merawat kondisi gua. Para Jupel yang ada sudah sangat menguasai medan dan dapat memberi anan terbaik.

 

 

SALAM LIMA JARI