Mengingat luasnya wilayah Pulau Kalimantan dan letaknya yang sangat strategis dalam jalur perdagangan dan migrasi antara benua Asia dan Australia, ada kemungkinan besar pada beberapa lokasi/daerah mempunyai potensi sejarah budaya yang penting peranannya di masa lalu. Berdasarkan penelitian arkeologi diketahui bahwa situs hunian tertua di Kalimantan berasal dari 38.000 tahun lalu di situs Gua Niah (Serawak, Malaysia). Sementara untuk masa pengaruh agama Hindu-Budha, situs tertua adalah situs Yupa di Muara Kaman (Kalimantan Timur) dari abad 4-5 Masehi. Bukti temuan ini menunjukkan bahwa sebenarnya pada masa lalu Kalimantan mempunyai posisi yang baik dalam percaturan sejarah budaya yang ada di Kepulauan Asia Tenggara sampai Pasifik.
Berdasarkan hasil penelitian yang selama ini dilakukan, situs-situs arkeologi yang ada di Kalimantan pada umumnya berada pada suatu lokasi yang “susah” dijangkau atau dengan kata lain lokasinya “terpencil”. Situs prasejarah merupakan bagian yang paling banyak ditemukan di lokasi terpencil, karena biasanya ada di perbukitan kapur yang jauh dari pemukiman penduduk. Situs lain yang biasanya lokasinya terpencil adalah bekas pemukiman lama masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan. Situs-situs seperti memerlukan strategi penelitian dan pengelolaan yang agak khusus karena lokasinya yang jauh dari pemukiman penduduk. Sumber daya arkeologi yang ada di perkotaan dan mempunyai petugas pemelihara (biasa disebut dengan juru pelihara) saja tidak semuanya dapat dipelihara dengan baik. Apalagi yang lokasinya berada jauh di hutan atau pegunungan seperti yang banyak terdapat di Kalimantan. Oleh karena itu, salah satu strategi penelitian yang tepat adalah dengan melakukan kegiatan penelitian yang terpadu dengan melibatkan aparat pemerintah daerah setempat, sehingga nantinya mereka mempunyai dasar pertimbangan untuk pengembangan selanjutnya.
Salah satu cara yang paling efektif menurut penulis adalah memulai langkah pengelolaan sumber daya arkeologi dengan baik. Pengelolaan sumber daya arkeologi dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap penelitian sebagai hulunya pengelolaan, tahap pemeliharaan dan pelestarian, dan terakhir tahap pemanfaatan sumber daya arkeologi. Sebagai salah satu instansi pemerintah yang diberi wewenang melakukan penelitian terhadap sumber daya arkeologi, seharusnya Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional beserta Balai-balai Arkeologi yang ada di daerah, menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan penelitian arkeologi yang baik. Selama ini dirasakan kegiatan penelitian yang dilakukan belum maksimal, sehingga belum dapat memberikan sumbangan yang sesuai dengan yang diharapkan. Pelaksanaan penelitian yang dilakukan Puslitbangarkenas dan balar terkesan “ecek-ecek”, tidak efisien dan tidak tuntas. Yang ideal adalah kegiatan penelitian arkeologi yang lebih baik dengan alokasi dana yang lebih besar dari yang selama ini ada. Selama ini, belum ada program penelitian arkeologi yang dilakukan dengan cermat, lengkap dan mendekati “ketuntasan”, sehingga setelah kegiatan penelitian kita segera dapat memberikan rekomendasi khusus kepada pemerintah daerah setempat dan instansi pemerintah lainnya dalam hal pengelolaan sumber daya arkeologi selanjutnya. Model penelitian seperti ini menurut penulis mempunyai beberapa nilai lebih antara lain:
- para peneliti mempunyai waktu dan dana yang cukup untuk bisa mengeksplorasi sebuah situs dan sumber daya arkeologi yang menjadi obyek penelitiannya dengan baik dan tuntas. Data yang dihasilkan dari kegiatan penelitian itu sudah merupakan sebuah informasi tentang kebudayaan masa lalu yang lengkap dan siap dikembangkan untuk berbagai bidang pembangunan.
- Data tentang sumber daya arkeologi yang lengkap ini juga akan banyak membantu pihak-pihak lain yang berhubungan dengan pengelolaan selanjutnya.
- Khusus untuk lokasi situs atau sumber daya arkeologi yang sangat “terpencil”, data penelitian yang lengkap akan banyak membantu pihak-pihak yang berwenang dalam hal pemeliharaan dan pelestarian dalam menentukan langkah-langkah pengelolaan yang tepat.
Setelah penelitian, tahap berikutnya yang paling penting dalam rangka pengelolaan adalah manajemen terpadu antar instansi terkait terhadap pemeliharaan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya arkeologi yang sudah diteliti tadi, agar lebih dapat berdayaguna bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu, kerjasama yang baik antar instansi baik pemerintah pusat dan daerah sangat menentukan lestari tidaknya sebuah sumber daya budaya yang ada. Ini yang menjadi tugas dan tantangan nyata bagi seluruh insan pemerhati dan pecinta kebudayaan yang ada di Kalimantan khususnya dan Indonesia pada umumnya. Semoga kita tetap bersemangat untuk mewujudkan harapan dan keinginan di atas, Viva Arkeologi.
SUMBER: Bambang Sugiyanto, PENGELOLAAN SUMBER DAYA ARKEOLOGI TERPENCIL DI KALIMANTAN dalam Kundungga Volume 7 Tahun 2018.