Cara mengenalkan Cagar Budaya Kepada Guru Sejarah yang ada di Samarinda

0
1715

Cara mengenalkan Cagar Budaya Kepada Guru Sejarah yang ada di Samarinda

Lawatan Sejarah ke Benteng Rotterdam dan Taman Prasejarah Leang-Leang, Sulawesi Selatan adalah program mengajak Guru sejarah untuk mengenalkan Cagar Budaya yang ada di Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Sebelum kunjungan dimulai, para peserta dibekali pengetahuan oleh Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan terkait Cagar Budaya yang saat ini masuk dalam tujuan wisata di Sulawesi Selatan.

Benteng Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang adalah destinasi awal, benteng tersebut  merupakan peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros Sulawesi Selatan. biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur. Sekitar 200 tahun Belanda menggunakan benteng ini sebagai pusat pemerintahan, ekonomi dan berbagai macam aktivitas. Pada 1937 kepemilikan Benteng Rotterdam oleh Dutch Indies Goverment diserahkan kepada Fort Rotterdam Foundation. Benteng ini terdaftar sebagai bangunan bersejarah pada 23 Mei 1940. Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.

Kompleks Makam Syekh Yusuf, terletak di jalan Syekh Yusuf yang berbatasan dengan antara Kabupaten Gowa dan kota Makassar.Syekh Yusuf salah satu ulama besar di zaman kolonial. Bahkan karena ketakutan penjajah akan pengaruhnya, maka Syekh Yusuf dibuang ke Faure, Cape Town, Afrika Selatan. Di saat kekalahan kerajaan Gowa, Syekh Yusuf memilih pindah ke Banten. Di wilayah Sultan Ageng bersama dengan 400 orang pendukungnya mereka membantu perjuangan kerajaan Banten melawan Belanda. Ketika Sultan Ageng dikalahkan Belanda, Syekh Yusuf ditangkap kemudian diasingkan ke Sri Lanka. Kemudia ke Afrika Selatan tepatrnya Di Cope Town hingga akhirnya meninggal Dunia. Ketika pemerintahan I Mappadulung Daeng Muttimung, Raja Gowa ke-19, ia meminta kesediaan VOC agar memulangkan jenazah Syekh Yusuf di Gowa Pada 6 April 1705, di Lakiung, Gowa, keranda mayat Syekh Yusuf kembali dimakamkan dan bertahan sampai hari ini.

Komplek Makam Raja-Raja dan Masjid Tua Katangka terletak di jalan Syehk Yusuf tidak jauh dari Makam Syehk Yusuf. Sebuah prasasti menginformasikan bahwa masjid ini dibangun pada tahun 1603, tetapi beberapa sejarawan meragukan informasi ini. Pendapat lain mengatakan bahwa masjid dibangun pada awal abad ke-18 Masjid Al Hilal Katangka dulunya merupakan masjid Kerajaan Gowa. Pada masa kejayaan Kerajaan Gowa di awal abad XVII, Sultan Alauddin menjadikan Masjid Tua Katangka sebagai pusat penyebaran agama Islam bagi masyarakat yang dinaungi kerajaan kembar, yakni Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Di sekeliling masjid terdapat makam para raja Gowa. Dahulu kawasan sekitar ini adalah benteng terluas yang dimiliki Makassar sebelum pusat kerajaan dipindahkan ke Benteng Somba Opu. Di dalam kawasan benteng ini terdapat 46 kampung yang dihuni kaum bangsawan Gowa bersama rakyatnya. Masjid Katangka juga menjadi saksi sejarah kejatuhan Kerajaan Gowa. kejatuhan Kerajaan Gowa terjadi saat Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian dengan Jenderal Cornelis Speelman dari pihak Belanda pada tanggal 18 November 1667. Meski disebut Perjanjian Bongaya, Struktur bangunan masjid memiliki simbol Islam ada beberapa simbol dan lambang Islam yang terdapat dalam bangunan masjid, seperti enam jendela yang diartikan enam Rukun Iman dan lima pintu masjid yang diartikan lima Rukun Islam. Nama Masjid Hilal Katangka diambil dari nama pohon Katangka. Pohon tersebut dulu tumbuh di sekitar masjid. Kemudian, kayunya dijadikan bahan untuk membangun struktur bangunan. Uniknya, pengaruh gaya arsitektur Tiongkok juga dapat ditemukan pada bangunan masjid ini. Mimbar masjid memiliki atap dengan ukiran khas Tiongkok, seperti yang bisa dijumpai di dalam bangunan Kelenteng.Sementara di bagian jendela-jendela masjid, terdapat ukiran aksara Arab yang ditulis dengan bahasa Makassar.

Kompleks Makam Raja-Raja Gowa Kompleks Makam Pahlawan Sultan Hasanuddin, merupakan salah satu objek cagar budaya peninggalan kerajaan Gowa, yang masih dapat kita saksikan sampai sekarang. Cagar budaya itu kini dikelola oleh Badan Pelestarian Cagar Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Letaknya di puncak bukit Tamalate, tepatnya di jalan Pallantikang, kelurahan Katangka, kecamatan Somba Opu, kabupaten Gowa. Lokasinya tak jauh hanya 3,3 kilometer dari Makassar. Terdapat tujuh raja Gowa yang dimakamkan di kompleks itu, yakni Raja Gowa ke-11 Karaeng Data Tunibatte, Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin, Raja Gowa ke-15 Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-16 Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke-17 Sultan Amir Hamzah, Raja Gowa ke-18 Sultan Mohammad Ali, dan Raja Gowa ke-19 Sultan Abdul Jalil. Selain tujuh raja Gowa, ada pula makam Raja Tallo ke-6 yang berada di kawasan itu. Nama lengkapnya I Tepukaraeng Daeng Parabbung, Karaeng Bontolangkasa, “Tunipasulu'”, gelar anumerta “Tumenanga ri Butung”. Makam ini secara umum terbagi dalam tiga tipe makam, yaitu makan berbentuk punden berudak, dengan teknik susun timbun sebagai cungkup makam, makam berkubah, dan makam dengan bentuk sederhana berupa jirat atau kijing. Semua lokasi sejarah ini masuk wilayah kerjaan Gowa-Tall dimasa lalu, namun setelah kemerdekaan Indonesia dan sistem kerajaan diganti kepemrintahan administratif, Benteng Rotterdam masuk wilayah Makassar, Majid Tua Katangka dan Makam Raja-Raja Gowa masuk wilayah Kabupaten Gowa.

Gugusan Karst Rammang-Rammang Lokasi ini adalah destinasi wisata Karst (batu kapur) di Maros-Pangkep, desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros, Provinsi Sulawesi Selatan, atau sekitar 40 km utara Kota Makassar. Rammang-Rammang tercatat sebagai pegunungan karst terluas ketiga di dunia, yang mencapai 45.000 hektare setelah Tsingy di Madagaskar dan Shilin di Cina. UNESCO juga telah memasukkan pegunungan karst Rammang Rammang ini sebagai World Heritage Site. Di sini, kita dapat melihat pegunungan karst atau batu kapur yang menjulang dan ditumbuhi vegetasi lebat. Kata Rammang-Rammang berasal dari Bahasa Makassar, yaitu sekumpulan awan atau kabut. Terlihat dari kondisi Rammang-Rammang yang selalu berkabut setiap paginya, bahkan di setiap musim apa pun. Yang membuat Rammang-Rammang terkenal adalah adanya pegunungan karst yang mengitari wilayah ini, baik di sisi darat maupun sungainya. Kondisi lingkungan tersebut membuat pemandangan Rammang-Rammang begitu indah dan eksotis. Ada banyak fosil yang ditemukan di gua-gua yang ada di Rammang Rammang dan menjadi bagian peninggalan sejarah manusia purba di Sulawesi Selatan.

Situs Peninggalan Pra Aksara Leang-Leang, Leang-Leang (Bahasa Makassar) adalah nama sebuah kelurahan yang berada di wilayah kecamatan Bantimurung, kabupaten Maros, provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kata Leang-Leang adalah reduplikasi penuh atau pengulangan utuh dari kata dasar Leang dalam bahasa Makassar bermakna “gua” dan makna reduplikasi tersebut menyatakan himpunan beberapa atau lebih dari satu. Jadi Leang-Leang adalah himpunan beberapa gua. Leang-leang menawarkan wisata sejarah budaya peradaban manusia purba. Tapak kehidupan manusia jaman prasejarah dapat ditelusuri di lokasi wisata ini. Lukisan telapak tangan manusia dan babi rusa yang terpampang di dinding-dinding gua serta beragam artefak menjadi bukti kehadiran manusia prasejarah di daerah ini. Dua arkeolog berkebangsaan Belanda adalah yang pertama menemukan lukisan-lukisan dinding di Gua Pettae dan Petta Kere pada tahun 1950. Lukisan yang terdapat di Gua Pettae berupa lima gambar telapak tangan, satu gambar babi rusa sedang loncat dengan anak panah di bagian dada. Sementara di mulut gua yang tingginya mencapai 8 meter dengan lebar 12 meter, terdapat alat serpih bilah, serta kulit kerang. Gua Petta Kere yang lokasinya sekitar 300 meter dari Gua Pettae, memiliki semacam teras selebar hingga 2 meter. Di gua ini juga ditemukan dua gambar babi rusa, 27 gambar telapak tangan, alat serpih bilah, dan mata panah. Gua tersebut diperkirakan telah dihuni sejak sekitar tahun 8.000 – 3.000 SM. Lukisan prasejarah tersebut menceritakan kehidupan sosial, seperti aktivitas harian dan sistem kepercayaan yang dianut saat itu. Sementara gambar telapak tangan diperkirakan sebagai cap tangan milik salah seorang anggota suku usai ritual potong jari. Ritual ini dilakukan sebagai tanda berduka atas kematian orang terdekatnya.