Sedangkan Banjarmasin pada masa akhir Kesultanan Banjar, sudah menjadi hak milik pemerintah kolonial Belanda. Namun demikian Sultan Banjar dan Pangeran Mangkubumi masih mempunyai kedudukan di Banjarmasin. Hal tersebut dimaksudkan untuk tempat tinggal selama audiensi dengan pihak Belanda di Banjarmasin. Kediaman Sultan Adam tersebut berada di seberang Benteng Tatas (Fort Tatas) dan kediaman Residen (Huis Resident). Posisinya tepat di seberang antara pertemuan Sungai Martapura, Antasan Kuin (A. Kween). Atau dekat dengan Kampung Pecinan ( chinesche wijk). Secara umum pada masa itu Kota Banjarmasin bentuk tata ruang kota dan permukiman warganya mengikuti aliran Sungai Martapura (peta 2).
Fasilitas pendukung Kota Banjarmasin yaitu adanya kantor pemungutan pajak atau cukai, Benteng pertahanan, dan masjid. Kantor pemungutan pajak/ cukai milik Belanda berada di muara Sungai Martapura atau di Mantuil. Sedangkan kantor cukai milik Sultan Banjar berada di muara Antasan Kuin. Peta yang dibuat Muller tersebut tampak bahwa Banjarmasin sebelum tahun 1845, bentuk permukimannya mengikuti aliran Sungai Martapura, belum terlalu banyak kampung dan bangunan sebagai pengisi ruang kota.
Secara umum pada masa itu Banjarmasin sepenuhnya sudah dalam kekuasaan Belanda. Maka dengan itu fasilitas pendukung kotanya banyak diperuntukkan untuk menjalankan administrasi pemerintahan kolonial Belanda (2011: 165-174).
Melihat perbandingan bekas ibukota Kesultanan Banjar dari Karangintan, Martapura, dan Banjarmasin di atas tampak tidak ada pola tertentu bersifat kosentris atau menerapkan konsep kosmologis tertentu dalam penataan ruang kota sebagai tempat kedudukan penguasanya. Pola penempatan mengikuti aliran sungai dari hulu ke hilir merupakan hal yang umum dan ditemukan dalam setiap kota tersebut. Pola grid yang biasa ditemukan pada kota-kota bercorak islam dan kolonial seperti halnya di Jawa tidak ditemukan di wilayah ini sampai dengan tahun 1845. Kesan yang terbaca adalah keberadaan keraton itu sendiri sebagai pusat kedudukan raja, pusat dari segala kekuasaan dan budaya.
Dalam tradisi masyarakat Banjar berkembang cerita tutur bahwa tempat kedudukan raja yaitu rumah bumbungan tinggi. Rumah bumbungan tinggi tersebut terbagi menjadi beberapa ruang yang membagi fungsi dan maknanya. Dalam denah rumah tersebut menganut konsep yang dikenal dengan cacak burung. Suatu bentuk denah yang saling bersilangan yang menggambarkan konsep kosmologis masyarakat Banjar. Namun demikian konsep tersebut tidak tampak dijabarkan lebih jauh dalam pembagian ruang kotanya.
SUMBER: Eko Herwanto, BENTUK TATA RUANG KOTA KARANGINTAN, MARTAPURA, DAN BANJARMASIN PADA MASA AKHIR KESULTANAN BANJAR dalam Kundungga Volume 6 Tahun 2017.