Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa Kota Samarinda berkembang dari tiga kampung pemukiman suku Kutai Puak Melanti yaitu Kampung Mangkupalas, Karang Mumus dan Karang Asam. Ketiga kampung ini bergabung dengan Kelurahan Ulu Dusun di Kutai Lama di bawah pimpinan Ngabehi Ulu. Sejak abad 14 ketiga kampung tersebut mendapat pengaruh sangat kuat dari Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, akan tetapi sejak kekalahan Kerajaan Gowa tahun 1667 atau setelah Perjanjian Bongaya (1662) pengaruh Kerajaan Gowa berangsur-angsur berkurang di Kalimantan Timur. Diketahui pada tahun 1668 Suku Bugis Wajo dari Sulawesi Selatan mulai bermukim di wilayah Kerajaan Kutai yang di pimpinan oleh La Mohang Daeng Mangkona. La Mohang Daeng Mangkona juga diketahui merupakan pengikut La Maddukelleng Putra Arung Paneki dari Kerajaan Wajo. La Maddukelleng diketahui membentuk armada laut yang oleh Lontara Suku’na Wajo disebut gora atau pencuri yang oleh Asisten van Boen L.A. Emmanuel dinyatakan sebagai “seorang bajak laut” yang amat ditakuti. Pada tahun 1736, setelah 10 tahun lamanya La Maddukelleng memerintah di Kerajaan Pasir, datanglah utusan Arung Matowa Wajo yaitu La Salewangeng To Tenrirua, bernama La Delle menghadap Sultan Paserdan menyerahkan surat. Dalam suratnya Arung Matowa Wajo meminta La Maddukelleng kembali ke Wajo, guna memerdekakan Wajo dari dominasi Bone dan VOC” (Tasa, 2004:13).
Disisi lain, La Mohang Daeng Mangkona menghadap Raja Kutai Lama yang bernama Ali Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martapura (Marhum Pamarangan 1730 -1732) untuk mohon izin agar mereka diperbolehkan berdiam diwilayah Kerajaan Kutai. Raja memberi izin mereka berdiam di wilayah Kerajaan Kutai dan memilih daerah dataran rendah dekat dengan Sungai Mahakam. Suku Bugis Wajo akhirnya menamakan daerah tersebut “Samarendah” yang terdiri dari dua kata, “sama” dan “rendah” yang artinya tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan yang lain. Penyebutan kata Samarendah saat ini menjadi Samarinda.
Kedudukan Assistant Resident di Palarang yang melakukan pengawasan penuh terhadap Kesultanan Kutai berlangsung sampai tahun 1870. Selanjutnya, kedudukannya dipindahkan ke daerah seberang dari Palarang, yakni Kota Samarinda sekarang. Tahun 1888 sempat dimulai penambangan batu bara di Palarang. Pada pertengahan abad ke-19, situasi Samarinda terutama bagian pesisir Sungai Mahakam berada dalam suasana mencekam karena kondisi keamanan yang tidak stabil. Perampokan, pembajakan, penculikan, hingga perbudakan merupakan perilaku kurang baik yang marak terjadi (Nur, 1986:7).
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 75 tanggal 16 Agustus 1896 yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum A.D.H. Heringa, Samarinda ditetapkan sebagai wilayah Rechtstreeks Gouvernemen Bestuur Gebied alias tempat kedudukan pemerintah Belanda dan merupakan daerah yang diperintah langsung oleh Belanda. Wilayah Samarinda yang juga diistilahkan dengan Vierkante-Paal itu meliputi areal seluas ± 2 kilometer persegi, yang terbentang antara sungai Karang Asem Besar (Teluk Lerong) di hulu sampai sungai Karang Mumus di hilir, dengan jarak 500 meter ke dalam dari tepi Sungai Mahakam. Status Vierkante-Paal Samarinda sebenarnya adalah pinjaman dari Kesultanan Kutai, tetapi kemudian diklaim rezim kolonial Belanda (Nur, 1986:7).
Pada zaman Netherland Indies Civil Administration NICA (1946-1949) Samarinda merangkap menjadi tiga ibukota pemerintahan yaitu pemerintahan keresidenan, pemerintahan Federasi Kalimantan Timur dan pemerintahan kawedanan. Sebelas tahun sesudah proklamsi kemerdekaan, yaitu Januari 1957, Kalimantan Timur memperoleh status provinsi dan Samarinda terpilih menjadi ibukota. Pada tahun 1960 Samarinda menjadi kotapraja dan tahun 1969 dijadikan kotamadya.
Beberapa faktor yang menyebabkan Kota Samarinda berkembang dengan pesat antara lain ialah letaknya yang strategis, kekayaan sumber alamnya baik di daerah pendalaman maupun di sekitar sungai terutama di sektor perkayuan, minyak dan gas bumi, sehingga Samarinda menjadi kota penghasil devisa terbesar kedua sesudah Medan, Sumatra Utara. Samarinda yang menjadi ibukota Provinsi Kalimantan Timur didiami bermacam suku bangsa. Mereka melakukan kegiatan pada berbagai aspek kehidupan (Sjahbandi, 1996:21).
Pada zaman VOC orang Belanda telah mencoba melakukan hubungan dengan Kerajaan Kutai dan Kerajaan Pasir. Kontak pertama antara Kutai dan Paserdengan VOC terjadi pada tahun 1634. Selain urusan perdagangan, Kompeni juga mengajak Kutai dan Pasermengadakan monopoli perdagangan dan mengusir pedagang-pedagang dari Pulau Sulawesi Selatan dan Jawa dari kedua kerajaan tersebut. Usaha Kompeni mengajak Kutai dan Paser untuk mengadakan monopoli perdagangan ternyata tidak membawa hasil karena Kerajaan Gowa sudah sejak tahun 1620 mempunyai hubungan baik dengn raja-raja Kutai. Pada tahun 1635 di bawah pimpinan Gerrit Thomassen untuk kedua kalinya Belanda mengirim missi perdagangannya ke Kutai, Gerrit Thomassen bertemu dengan Sultan Sinom Panji Mendapa Ing Martapura mereka membicarakan monopoli dagang mengingat kewajiban Sultan Kutai harus membayar upeti kepada Raja Banjarmasin. Misi Pergadangan VOC oleh G. Thomassen Pool yang sengaja membuat Kerajaan Kutai dan Paserbermusuhan dengan cara mengadu domba raja-raja di Kalimantan Timur dan Banjarmasin namun gagal. Sementara itu, Belanda belum mampu menyaingi pengaruh Kerajaan Gowa dan Kerajaan Mataram di Selat Makassar, namun upaya untuk “menjinakkan” raja Kutai dan Paserkembali mereka susun (Nur, 1986:7).
Pada tahun 1671, empat tahun sesudah Perjanjian Bongaya, Kompeni mengirim lagi missi perdagangan yang dipimpin oleh Paulus de Beck dengan menumpang secara khusus kapal Chialoup de Noorman. Sekali lagi Paulus de Beck bertemu dengan Sultan Sinom Panji Mendapa Ing Martapura, tetapi tidak berhasil mengadakan hubungan dagang. Selain usaha mengadakan hubungan langsung dengan Kutai dan Pasir, Kompeni berusaha juga melemahkan perdagangan antara Kutai, Paserdengan Gowa dan Jawa di perairan Selat Makassar. Walaupun beberapa misi perdagangannya ke Kalimantan Timur belum membawa hasil, belanda tetap melanjutkan usaha-usaha melalui surat-menyurat yang ditujukan kepada raja-raja Kutai dan Paser. Usaha ini agaknya membawa hasil, karena pada tahun-tahun berikutnya, banyak barang-barang dari daeraPaser dan Kutai ditawarkan ke Makassar. Pengangkutan barang-barang dagangan itu dilakukan oleh pedagang-pedagang Suku Bugis pengikut Aru Palaka yang menjadi sekutu Belanda yang sejak 1668 mulai bermukim di Kutai sekitar Samarinda Seberang saat ini. Ketika perantau-perantau Suku Bugis Wajo bermukim di Kutai dan Paserterutama di Samarinda Seberang perdagangan Kutai dengan Belanda berlahan mulai terputus. Belanda mengirimkan pula missi dagang yang dipimpin oleh Van der Heyden ke Paserdan ke Kutai. Dalam laporanya kepada pembesar VOC, dijelaskan bahwa kedua kerajaan di Kalimantan Timur dapat dijadikan rekan dalam berdagang, tetapi sangat berbahaya bagi orang Eropa untuk berdiam di daerah itu dikarenakan kebencian para Suku Bugis Wajo yang sudah lebih dahulu menempati lokasi tersebut. Berdasarkan keterangan Van der Heyden itulah akhirnya hubungan dagang diantara keduanya tidak terjadi (Sjahbandi, 1996:5).
Sesudah missi perdagangan Belanda di tahun 1747, Belanda tidak lagi mengirimkan kapal-kapal dagangnya ke Kutai dan Pasir. Sampai saat jatuhnya VOC di tahun 1899 tidak pernah berhasil mengadakan hubungan dagang yang menguntungkan di kawasan ini. Demikian pula tidak ada perwakilan dagang atau pembesar VOC yang tinggal menetap di kedua kerajaan itu. Dengan demikian, dalam sejarah VOC di Kalimantan tidak terdapat tulisan-tulisan mengenai keadaan Samarinda Kota maupun Samarinda Seberang, karena kemungkinan pelabuhan yang terkenal pada zaman VOC bukan Samarinda, tetapi Kutai Lama yang juga menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Kutai (Sjahbandi, 1996:4).
Laporan: Pemutakhiran Data Cagar Budaya Kota Samarinda. Balai Pelestarian Cagar Budaya Kaltim. 2020.