Oleh: Budi Istiawan
Disalin dari Buletin Kudungga, Vol.3, BPCB Samarinda, 2014
Abstrak
Pelestarian cagar budaya yang merupakan upaya menjaga dan melindungi serta mengembangkan dan memanfaatkan warisan budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya hanya dapat dilaksanakan melalui peran aktif berbagai kepentingan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai peran penting di dalam memberikan pemahaman penyadaran kepada masyarakat luas tentang upaya pelestarian tersebut.
Kata Kunci: Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Koordinasi, Kerja sama, Pelestarian
- Pendahuluan
Benda peninggalan sejarah dan purbakala atau yang dikenal sebagai benda cagar budaya sebagai bukti eksistensi masyarakat masa lampau dengan berbagai aktivitasnya dilindungi dan dilestarikan keberadaannya oleh pemerintah. Secara yuridis formal, Benda Cagar Budaya (BCB) diakomodasi dan dilindungi oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Pengaturan BCB melalui UU No. 5 Tahun 1992 ini masih bersifat sentralistik, dengan kewenangan pemerintah pusat yang sangat dominan sebagai pengatur dan pengelola cagar budaya. Perkembangan pembangunan sejalan dengan perkembangan pengaturan kepemerintahan dari waktu ke waktu, mulai dirasakan tidak sejalan lagi dengan semangat UU No. 5 Th. 1992 ini, sehingga perlu dilakukan peninjauan ulang atas Undang undang tersebut. Perubahan yang sangat signifikan atas pengaturan kepemerintahan dirasakan sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Kedua peraturan perundangan ini jelas memberikan kewenangan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengelola sendiri sistem kepemerintahannya di segala bidang kehidupan berkepemerintahan, kecuali bidang khusus yang masih menjadi kewenangan pemerintah (pusat). Dengan semangat desentralisasi ini serta perkembangan pembangunan di berbagai aspek kehidupan, maka UU No. 5 Th. 1992 Tentang Benda Cagar Budaya, yang bersifat sentralistik, kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nonor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, dengan semangat desentralistik.
Di dalam UU 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya ini, pemerintah daerah Propinsi dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota diberi kewenangan yang bersifat aktif untuk melakukan berbagai kegiatan pelestarian cagar budaya di wilayahnya masing-masing sesuai tugas dan kewenangan yang ada. Pemberian tugas dan wewenang di bidang pelestarian cagar budaya secara khusus diatur dalam Bab VIII Tugas dan Wewenang, pada Pasal 95, Pasal 96, dan Pasal 97. Dari berbagai tugas dan wewenang daerah, salah satu yang cukup penting dan urgent dalam pelestarian cagar budaya adalah pembuatan pengaturan pengelolaan cagar budaya di masing-masing daerah sesuai kewenangannya. Pengaturan pengelolaan dan atau pelestarian cagar budaya sangat penting artinya untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum atas keberadaan cagar budaya di setiap daerah yang ada. Dengan memberikan pelindungan cagar budaya secara yuridis formal, diharapkan keberadaan cagar budaya dapat tetap lestari dan terhindar dari berbagai gangguan kerusakan dan kehilangan yang dapat menyebabkan rusak dan hilangnya nilai-nilai yang terkandung di dalam cagar budaya tersebut. Lebih lanjut, dalam salah satu tugas yang diamanahkan oleh UU No. 11 Tahun 2010 ini antara lain disebutkan dalam Pasal 95 ayat (2) point b. yang berbunyi Pemerintah dan Pemerintah mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar Budaya;
Dengan demikian, jelas bahwa pelestarian cagar budaya bukan lagi domain pemerintah (pusat) tetapi juga menjadi domain pemerintah daerah (daerah otonom), baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Untuk itu, tentu diperlukan koordinasi dan sinkronisasi yang jelas dan terarah agar tanggungjawab pelestarian tersebut berimbang dan selaras antara pemerintah dan daerah otonom. Dalam pelaksanaan operasionalisasi lapangan di daerah, pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan cq. Direktorat Jenderal Kebudayaan melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Unit Pelaksana teknis (UPT) di daerah untuk melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan sinergitas pelestarian cagar budaya, yang dalam hal ini adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Untuk wilayah Kalimantan, baru ada satu UPT Direktorat Jenderal Kebudayaan di bidang pelestarian cagar budaya, yaitu BPCB Samarinda yang mempunyai wilayah kerja Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Dalam upaya menjalankan amanat UU no. 11 tahun 2010 dan semangat desentralisasi, maka BPCB Samarinda senantiasa menjalin koordinasi, sinkronisasi, dan sinergisitas dengan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di wilayah kerja. Koordinasi dan sinergisitas tersebut dapat berbentuk kerjasama dalam kegiatan pelestarian cagar budaya, yang saling melibatkan sumberdaya manusia (SDM) dalam kegiatan di masing-masing instansi. Sumberdaya budaya di lingkungan BPCB Samarinda sering dimintai sebagai tenaga ahli/narasumber/teknisi dalam berbagai kegiatan pelestarian yang djlaksanakan oleh daerah otonom. Demikian juga dengan pelibatan tenaga daerah otonom dalam kegiatan pelestarian BPCB Samarinda di daerah senantiasa melibatkan sdm daerah setempat sebagai pendamping dan pelaksana kegiatan pelestarian. Dalam beberapa kasus, maka BPCB Samarinda menjadi konsultan dan motivator bagi daerah yang belum mempunyai sdm yang memadai dibidang pelestarian cagar budaya, baik pada tataran perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasinya.
- Koordinasi dan Kerjasama Pusat dan Daerah
BPCB Samarinda bukan satu-satunya UPT Ditjen Kebudayaan di Kalimantan yang harus berkoorinasi dan menyelaraskan kegiatan dengan daerah otonom, tetapi UPT lain dari Ditjen Kebudayaan, yaitu Balai Arkeologi dan Balai Pelestarian Nilai Budaya, juga mempunyai peran yang sama dalam menjalankan visi kebudayaan pemerintah pusat. Balai Arkeologi Banjarmasin mempunyai peran yang sama dengan BPCB, tetapi lebih menitikberatkan pada kegiatan penelitian cagar budaya di wilayah Kalimantan. Sementara BPNB Pontianak mempunyai peran di bidang kebudayaan yang bersifat non bendawi (intangible) di wilayah Kalimantan. Masing-masing UPT perlu lebih menegaskan lagi peran sebagi fasilitator dan motivator bagi daerah otonom dalam upaya pelestarian budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga terwujudnya visi misi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bidang Kebudayaan.
BPCB Samarinda dengan jangkauan wilayah yang relative luas menyadari pentingnya koordinasi antar instansi, pusat dan daerah, sehingga berbagai kegiatan dilakukan dalam rangka memperpendek jangkauan wilayah dan mendekatkan kepentingan pelestarian. Kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka koordinasi dan mendekatkan kepentingan dan menyamakan persepsi pelestarian cagar budaya antara lain adalah rapat koordinasi teknis (Rakornis). Kegiatan rapat koordinasi teknis dilaksanakan di Kota Samarinda, pada tgl. 21 sd 24 April 2014. Rakornis yang ditujukan untuk Dinas-dinas yang membidangi kebudayaan di wilayah kerja Kalimantan ini diikuti oleh 5 (lima) Dinas tingkat Propinsi dan 56 dinas tingkat Kabupaten/Kota. Agenda utama dalam rakornis ini membahas permasalahan terkait dengan koordinasi antara pusat dan daerah, yang meliputi:
- Sosialisasi kebijakan pembangunan kebudayaan Indonesia;
- Sosialisasi tugas dan kewenangan pemerintah pusat dan daerah;
- Sinergisitas tugas kementerian Pendidikan dan kebudayaan dengan pemerintah daerah di bidang kebudayaan;
- Mendapatkan masukan mengenai program kerja yang sudah berjalan serta kendala dan permasalahannya.
Dalam rakornis tersebut, dihadiri oleh para narasumber dari Direktorat Jenderal Kebudayaanyang terdiri dari :
- Direktur Jenderal Kebudayaan, Prof. Dr. Kacung Maridjan;
- Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan, Drs. Nono Adya Supriyanto
- Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (Dir. PCBM), Dr. Harry Widianto;
- Direktur Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya (dir. INDB), Diah Harianti
- Direktur Pembinaan Kesenian dan Perfilman (Dir. PKP), Endang Caturwati
- Direktur Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi (Dir.PKTT), Sri Hartini
- Direktur Sejarah dan Nilai Budaya (Dir. SNB), Endjat Djaenudrajad
Materi yang dipaparkan oleh para narasumber cukup memberikan pencerahan dan harapan baru bagi daerah di dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pelestarian, baik kegiatan dari internal dinas maupun yang berasal dari dana bantuan pusat (dana dekon maupun dana hibah). Beberapa kegiatan dari lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang terkait dengan dana bantuan maupun yang melibatkan daerah antara lain:
- Kegiatan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman
- Registrasi nasional cagar budaya
- Revitalisasi cagar budaya
- Revitalisasi museum
- Kegiatan Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya
- Anugerah kebudayaan dan maestro
- Pencatatan dan penetapan kekayaan budaya Indonesia
- Pendukungan pengelolaan warisan dunia
- Pendukungan pengelolaan warisan budaya tak benda
- Penyiapan data warisan budaya benda dan tak benda untuk nominasi dan tentative list
- Pembentukan pengelolaan terpadu warisan budaya dunia
- Pengembangan rumah budaya Indonesia di Mancanegara
- Kegiatan budaya di dalam negeri berskala internasional
- Kegiatan Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman
- Revitalisasi taman budaya
- Festival kesenian nusantara
- Gelar tari nusantara
- Apresiasi Film Indonesia
- Pameran besar senirupa
- Kegiatan Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi
- Fasilitasi komunitas budaya di masyarakat yang meliputi Keraton, Desa Adat, Organisasi Kepercayaan, Lembaga Adat, Komunitas Adat, Lembaga Keagamaan Pelestari Tradisi
- Kegiatan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya
- Kemah budaya nasional
- Pesemaian nilai budaya sebagai penguat karakter bangsa dengan 12 dinas pendidikan kabupaten/kota
- Fasilitasi kesejarahan di Indonesia dengan 33 Dinas Pendidikan Provinsi
- Fasilitasi pengembangan Rumah Budaya Nusantara dengan 30 Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
- Pembentukan Saka Widya Budaya Bakti
- Kemah Budaya Nasional
Pelaksanaan kegiatan Rakornis tersebut juga menghasilkan sebuah rumusan bersama yang didasarkan pada hasil pemaparan para narasumber dan berbagai diskusi yang berkembang selama kegiatan berlangsung. Adapun hasil rumusan dimaksudkan meliputi:
- PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DAN PERMUSEUMAN
- Direktorat PCBM perlu melakukan sosialisasi lebih intens ke daerah terkait program dan kegiatannya;
- Perlu penambahan tusi permuseuman di BPCB;
- Perlu diklat peningkatan manajemen pengelolaan museum;
- Perlu diadakan pembinaan teknis untuk tim ahli CB di daerah;
- UPT Ditjen Kebudayaan (BPCB) memfasilitasi pelaksanaan registrasi dan pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya (CB) daerah;
- Perlu adanya pedoman untuk setiap kegiatan pelestarian CB, mulai dari pendugaan objek sampai pemanfaatan CB;
- Pedoman yang telah dibuat, dimohon untuk dapat didistribusikan ke daerah-daerah;
- Perlu adanya inisiatif daerah dalam pembuatan regulasi pelestarian CB.
- INTERNALISASI NILAI DAN DIPLOMASI BUDAYA
- Perlu adanya inventarisasi sumber daya budaya yang memiliki potensi pengembangan, sebagai kebanggaan dan jati diri daerah melalui kerjasama pusat dan daerah;
- Direktorat INDB perlu melakukan sosialisasi lebih intens ke daerah terkait program dan kegiatannya;
- Perlu adanya pedoman kegiatan terkait dengan INDB.
- PEMBINAAN KESENIAN DAN PERFILMAN
- Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman perlu melakukan sosialisasi lebih intens ke daerah terkait program dan kegiatannya;
- Pelaksanaan program bantuan sosial dari pusat perlu dikoordinasikan dan disosialisasikan kepada dinas terkait;
- Perlu fasilitasi diklat kesenian dan perfilman.
- PEMBINAAN KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YME DAN TRADISI
- Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi perlu melakukan sosialisasi lebih intens ke daerah terkait program dan kegiatannya;
- Pelaksanaan program bantuan sosial dari pusat perlu dikoordinasikan dan disosialisasikan kepada dinas terkait;
- Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi perlu melakukan pembinaan lebih intensif kepada penganut kepercayaan di Kalimantan.
- SEJARAH DAN NILAI BUDAYA
- Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya perlu melakukan sosialisasi lebih intens ke daerah terkait program dan kegiatannya;
- Pelaksanaan program bantuan sosial dari pusat perlu dikoordinasikan dan disosialisasikan kepada dinas terkait.
III. Penutup
Dengan semakin meningkatnya koordinasi dengan daerah otonom, maka secara kuantitatif dan kualitatif, permasalahan koordinasi dengan daerah otonom yang selama ini seolah-olah berjalan sendiri-sendiri, mulai menampakkan hasil yang cukup memuaskan. Keberhasilan koordinasi dan kerja sama dengan daerah otonom memberikan implikasi pada semakin padatnya jadwal kerja yang mengakibatkan pihak BPCB kewalahan dalam melayani permintaan pekerjaan daerah otonom, khususnya pada alokasi waktu dan sumberdaya manusia di lingkungan BPCB Samarinda. Diharapkan dalam rentang waktu 5-10 tahun ke depan, daerah otonom sudah mampu menyiapkan diri dalam kegiatan pelestarian, baik dari sisi sumberdaya manusia, anggaran, maupun penentuan kebijakan pelestarian di wilayahnya masing-masing sesuai dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
———– Undang Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya
BPCB Samarinda. Laporan Kegiatan Rapat Koordinasi Teknis Bidang Kebudayaan, tgl. 21 s.d 24 April 2014. Samarinda. Balai Pelestarian Cagar Budaya Samarinda Wilayah Kerja Kalimantan. 2014