Sejarah Muara Badak dapat diketahui dari catatan berbahasa Bugis milik Kepala Desa Muara Badak Ulu yang berjudul Assalena Muara Badak. Disebutkan dalam sumber itu bahwa pada tahun 1806 telah datang Dato Ismail diantar Sultan Kutai mengunjungi wilayah ini. Sambutan yang hangat dan penuh hormat memperkuat perkiraan bahwa Dato Ismail sesungguhnya adalah Muhammad Ismail, putra Raja Bone, Sultan Ahmad Saleh yang juga bernama La Tenritappu, yang memerintah pada tahun 1775 sampai 1812.
Pada masa itu revolusi Prancis meluas ke seluruh Eropa. Kedaulatan VOC di Indonesia melemah. Daerah jajahannya diperebutkan Perancis dan Inggris. Pada mulanya Perancis sebagai pemenang hanya memperkuat dan memusatkan kedudukannya di Jawa. Dalam situasi itu kerajaan-kerajan di Sulawesi Selatan bangkit, saling memperebutkan kekuasaan. Di antara kerajaan-kerajaan itu adalah Sidenreng, Bone dan Gowa. Sidenreng berambisi untuk menguasai jalur perdagangan Pare melintasi jalan darat ke Teluk Bone. Diantara komoditas penting yang jadi andalannya adalah senjata dan mesiu yang dibeli dari Inggris. Bone yang mendapat kewenangan dari VOC sebagai pemegang supremasi atas kerajaan-kerajaan Bugis terusik oleh Sidenreng. Kontrol pelayaran VOC yang lemah berakibat Selat Makassar, termasuk Kutai Kertanegara menjadi bulan-bulanan perompak bajak laut Illanun. Pada ketika itu Bone di bawah kekuasaan La Tenritappu , Sultan Ahmad Saleh ( 1775-1812), (Cucu We Hamidah Arung Takalar Petta Matowae. Ia menggantikan neneknya menjadi Arumpone. Pada tahun 1806 Sultan Ahmad Saleh memerintahkan putranya Muhammad Ismail yang dikenal sebagai seorang mubalik, menawarkan kerjasama perlindungan keamanan pada Sultan Kutai. Rombongan Muhammad Ismail disambut hangat Sultan Kutai, Sultan Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816) di Tenggarong. Dalam lontara Assalena Muara Badak dikisahkan Sultan Kutai mengantar Muhammad Ismail yang disebut dengan Dato Ismail diijinkan menempati pintu gerbang di tepi utara Muara anak Sungai Mahakam, yang berbatasan dengan pulau Letung. Perjalanan keliling selama 15 hari. Sultan selanjutnya mengantarkan Dato Ismail mengunjungi tempat-tempat sejak dari Muara Badak Ulu sampai ke Semberah. Awalnya dengan kapal selanjutnya dengan perahu memasuki Sungai Mahakam dan anak-anak sungainya. Atas saran Dato Ismail, Sultan menamai tempat-tempat permukiman yang dijumpai antara lain Muara Badak, Saloapi, Saliki, Nilam, Salo Pareppa, Tanjung Limau,
Edward. L. Poelinggomang. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 1. (Badan Penerbit dan Pengembangan Daaerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2004), p.166. .Sampai tahun 1800 Daerah Jajahan VOC Yakni Tanjung Harapan, Malabar, Koromandel, Bengal, Sailon. Srilanka, Malaka, Dan Maluku Jatuh Ketangan Inggris. Pada Tahun 1806 Negeri Belanda diduki Napoleon Bonaparte. Dua Tahun Berikutnya Bataafsch-India Republik mengangkat Daendeles sebagai Gubernur Jenderal berkedudukan di Batavia.
Latenri Tappu berkedudukan di Rompegading, berupaya menaklukan Adattuang Sidenreng, La Wawo yang melepaskan diri dari Bone dengan tidak membayar serbukati (upeti). Sidenreng meminta bantuan karaeng tanete dan menyumplai mesiu. sesudah tiga tahun bertempur. Bone gagal meyebrangi Sungai Segeri yang dijaga Karaeng Tanete. Akhirnya Residen Yacobson (VOC) mendesak Bone menghentikan ekspansinya.
Palacari dan Sambera. Di pertengahan jalan mereka menemui beberapa toko milik pedagang Cina, desa ini dinamai dengan Toko Lima. Sultan mengijinkan Dato Ismail dan rombongannya tinggal dan menanam 2000 pohon kelapa di Muara Badak. Demikian akhirnya di Muara Badak ditempatkan Haji Ahmad, seorang bangsawan Bone. Orang-orang Bugis Bone mengajari penduduk membajak dan bercocok tanam padi. Demikian di Muara Badak berkembang komunitas Bugis Bone, yang selain bertani juga hidup sebagai nelayan, pedagang. pekebun, dan pengrajin. Orang-orang Bugis berjanji akan melindungi Kutai dari serangan dan perampokan para bajak laut Illanun yang tinggal di Kepulauan Sulu. Assalena Muara Badak telah mempersatukan penduduk Muara Badak sebagai pewaris daerah Muara Badak. (Abdul Wahab Har).
Pada tahun 1812 Dewan Hadat mengangkat Dato Ismail (La Mappasessu Toa Patunru Arung Pallaka), sebagai Mangkau, Raja Bone ke 24 (1812-1823). Namun tidak sempat dilantik oleh Pemerintah Belanda yang pada waktu itu terlibat perang melawan Inggris. Pelantikan justru dilakukan oleh pemerintah Inggris, yang pada tahun 1814 menduduki benteng Roterdam di Makassar. Sesudah itu Inggris melakukan penataan ulang peta politik kerajaan-kerajaan di wilayah kekuasaannya. Pemerintah Inggris tidak merestui kebesaran kekuasaan Bone, yang telah menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda. Residen Philip memerintahkan Arung Mampu (Daeng Riboko) untuk mengambil alih Sudanga dan benda-benda milik kerajaan Gowa yang dikuasai Bone. Sultan Ismail menolak. Akibatnya Residen Philip mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Nightingale bersama Gowa menyerbu Bone. Ibu kota Bone di Rompe Gading, Bontoala, dibakar. Sultan Ismail bersama keluarganya mengungsi ke Laleng Bata, namun dapat ditaklukan. Benda-benda Kerajaan Gowa diserahkan kepada Datu Sopeng Matinroe ri Amala’na, kemudian menyerahkannya kepada Arung Mampu untuk diserahkan kepada Inggris. Pada 4 Juni 1814 Nightingale menyerahkan benda-benda itu kepada Bate Salapange di Gowa. Inggris tidak mengakui keberadaan kekuasaan Bone di Muara Badak. Pada 1816 Pemerintah Inggris mengembalikan Hindia Belanda kepada Belanda. Namun van der Capelen Gubernur Jenderal Belanda baru berkuasa di Makassar pada tahun 1824. Belanda menuntut perjanjian Bungaya diperbaharui. Namun ditolak oleh Sultanah Salimah yang justru
menantang Belanda dengan melakukan syiar Islam di Tambora, Nusatenggara Barat. Operasi militer Belanda diurungkan karena meletus Perang Diponegoro di Jawa. Penaklukan aru dilakukan pada tahun 1859. Sejak itu Bone menjadi kerajaan pinjaman (leenvorstendom). Dengan demikian kekuasaan Bone atas Muara Badak
Secara tradisional Kesultanan Kutai mengakui berada dibawah kekuasaan Kesultanan Banjarmasin. oleh karena itu Traktat London sebagai perjanjian antara Inggris dan Belanda menyatakan bahwa daerah pantai Kalimantan Timur dinyatakan sebagai milik Belanda. Pada tanggal 1 Januari 1817, Sultan Banjar, Sulaiman menyerahkan Kalimantan Timur, Kalimatan Tengah, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada Hindia-Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1826, Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Pada 8 Agustus 1825 George Muller, Inspector en Zaakgelastigde van Het Gouverment voor de de Binnenlanden van Borneo, mengunjungi Sultan Kutai Muhammad Salehuddin di istana Tenggarong. George Muller menuntut: 1. Semua hak pemungutan pajak baik pajak lalu lintas kapal, impor dan eskpor, pajak penyewaan tanah dan pegadaian pajak kepala bagi orang-orang Cina, maupun pajak pertambangan emas dan tambang lainnya menjadi hak Pemerintah Hindia Belanda. Sebagai ganti rugi atas pengalihan itu Pemerintah Hindia Belanda membayar kepada Sultan Rp.8000,- setiap tahun. Dalam perjanjian juga disebutkan bahwa garam dari Jawa dan Madura yang masuk wilayah Kalimantan Timur dinyatakan bebas dari pajak (tol), sementara itu garam dari tempat lain dipungut bayaran sebesar Rp.50.000. Setiap penduduki Kutai bebas menjual garam, dan berdagang di pedalaman di hulu sungai tidak dipungut pajak tol. Sultan tidak dibenarkan mengadakan hubungan dengan Negara lain.Perundingan gagal George Muller dan prajurit pengawalnya terbunuh. Beberapa tahun berikutnya bangsa Inggeris J.E. Murray juga dibunuh. Akhirnya pada awal Februari 1844 Belanda mengirim angkatan laut yang dipimpin Letnan T. Hoofd menuntut Sultan Salehuddin mengakui kedaulatan Belanda. Oleh karena menolak maka pada 17 April 1844 armada Belanda membumi hanguskan Kota Tenggarong, Panglima Awang Long gugur.
Sultan Muhammad Salehuddin mengundurkan diri ke Kota Bangun. Dua putra Sultan Salehuddin ditawan dan dibawa ke Batavia. Sultan Aji Muhammad Salehuddin akhirnya menerima tuntutan Belanda. Pada tahun 1846, Belanda menempatkan H. Von Dewall sebagai Asisten Residen di Borneo Timur ( provinsi Kalimantan Timur dan bagian timur Kalimantan Selatan) di Samarinda. Dengan demikian maka komunitas Bugis Bone secara de yure kehilangan kekuasaannya atas wilayah yang mereka tempati, meskipun mereka sadar sebagai bagian dari diaspora suku Bugis di Sulawesi Selatan.
Sumber: Dr.Bambang Sulistyo, MS. artikel berjudul MASYARAKAT MURA BADAK: DARI KOMUNITY KE SOCIETY (1806 -2000). Diskusi Daring 8 Juli 2020