Jalur Rempah di Kalimantan Selatan

0
1785
Lukisan Benteng Tabanio yang saat itu dalam penguasaan Belanda Lukisan dibuat oleh seniman belanda Saat ini lukisan disimpan pada museum Negeri Kalimantan Selatan, di Banjar Baru

Jalur Rempah di Kalimantan Selatan

Jalur Rempah di Kalimantan Selatan, untuk sementara data yang dihimpun adalah di Kalimantan Selatan Des Tabanio.

Jejak peradaban Belanda di Indonesia juga terlihat pada benteng di wilayah Kalimantan Selatan tepatnya di Desa Tabanio, Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut. Tujuan pendirian benteng, terkait masalah ekonomi dan politik, yang dimana penguasaan terhadap rempah-rempah dan tambang batu bara yang ada di Banyu Irang (Tanah Laut). Benteng Tabanio memiliki kaitan dengan Benteng Tatas di Banjarmasin (sekarang Mesjid Raya Sabilal Muhtadin) yang menjadi sentral perekomonian di Kalimantan Selatan. Kekayaan tanah Kalimantan menjadi daya tarik negara lain untuk mengeksplor wilayah tersebut.

Benteng Tabanio menurut informasi dibangun pada tahun 1789, yang artinya 33 tahun lebih muda dibanding Benteng Tatas yang didirikan pada tahun 1756. Banyaknya benteng yang didirikan oleh Belanda melatarbelakangi munculnya ketidaksenangan penduduk terhadap Belanda yang akhirnya menyebabkan Perang Banjar terjadi. Penyerangan Benteng Pengaron pada tanggal 28 April 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari dan berakhir pada Januari 1905 dengan gugurnya Pangeran Mohammad Seman (Gusti Mat Seman) bin Pangeran Antasari untuk mengusir kekuasaan dan Kompeni Belanda dari Tanah Banjar yang bersemboyan “Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing “.

Fungsi lain dari pembangunan benteng tersebut adalah untuk melindungi pegawai-pegawai mereka. Dengan kegigihan para pejuang pada saat Perang Banjar di bulan Agustus 1859 Haji Buyasin yang mengikuti Demang Leman dan Kiai Langlang beserta beberapa pasukan menyerang Benteng Tabanio dan berhasil merebutnya bahkan pemimpin Belanda yang bernama Mauritz tewas beserta beberapa tentara Belanda. Kemudian Kompeni Belanda mengerahkan kekuatan militernya dengan menggunakan Kapal Perang Bone untuk merebut kembali Benteng Tabanio. Tetapi sekali lagi dapat dipukul mundur oleh Haji Buyasin yang sebenarnya mendapat tugas dari Pangeran Antasari untuk memimpin perang gerilya (gurila : bhs. Banjar) di bagian Tanah Laut (Pleihari, Bati – Bati, Satui, Tabanio, dan seluruh pesisir serta Pantai Tanah Laut ).

Akan tetapi pada serangan Kompeni Belanda yang kedua, dengan kekuatan yang besar terhadap Benteng Tabanio yang diduduki oleh Haji Buyasin, dapat direbut kembali oleh Belanda. Haji Buyasin sendiri menyingkir dan mendirikan Benteng di Takisung di sebelah tenggara Tabanio. Tetapi Belanda kembali menyusun kekuatan serta perencanaan strategis yang lebih matang di Benteng Tabanio. Kemudian pada bulan Desember 1859, Benteng Haji Buyasin di Takisung diserang secara besar – besaran dan dapat dihancurkan. Haji Buyasin menyingkir ke daerah Pleihari yang akhirnya sampai ke daerah Bati – Bati, kemudian di kepung oleh Belanda dari tiga jurusan yaitu arah Pleihari, dari arah Martapura, dan dari arah Banyu Irang dengan serdadu militernya berkekuatan 115 orang.

Di masa sekitar abad XVII daerah Tabanio merupakan daerah yang strategis dan penting bagi perekonomian Kerajaan Banjar. Daerah ini merupakan daerah lintas perdagangan seperti hubungan ke Jawa, Pesisir Kalimantan, Sulawesi, bahkan Sumatera dan Malaya serta luar Nusantara. Sekitar 1,5 kilometer dari Benteng Tabanio ke Utara ada sebuah Kampung Melayu yang merupakan kampung tertua, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kubur – kubur tua di kampung tersebut. Rupanya kampung itu merupakan kampung transmigrasi lokal penanam lada yang berkembang di masa Kerajaan Banjar di bawah pemerintahan Sultan Musta’imbillah yang dikenal dengan Maruhum Panembahan (1650 – 1678) kemungkinan sekali Tabanio itu sendiri merupakan dari perkembangan penduduk Kampung Melayu.

Bastion bagian barat dari Benteng Tabanio

Secara astronomis Benteng Tabanio terletak pada Desa Tabanio RT. 14, Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Jarak dari Banjarmasin ke Pleihari kurang lebih 99 kilometer dan dari Pleihari ke Benteng Tabanio kurang lebih 34 kilometer. Secara geografis, benteng berbatasan dengan Sungai Tabanio di sebelah utara dan timur, di sebelah selatan berbatasan dengan pemukiman warga, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Laut Jawa. Benteng ini berada pada areal seluas 20.000 m2. Penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin, telah dilakukan selama bertahun-tahun dalam tiga tahap penggalian atau ekskavasi, guna mengetahui sejauh mana struktur Benteng Tabanio.

Sejak abad XVII, Tabanio menjadi penting dari segi perdagangan, angkutan lada, intan, emas, dan hasil hutan yang menghubungkan (transito) Banjarmasin dengan tempat – tempat pelabuhan di Jawa. Namun, saat ini hanya dapat ditemukan tanah kosong dengan sisa-sisa bata yang terdapat di permukaan tanah. Kemungkinan sisa hasil penggalian masyarakat yang akan menggunakan bata tersebut untuk bahan pembangunan rumah.

 Sisa-sisa Benteng Tabanio yang dahulunya pernah berjaya di tanah Takisung kini tidak dapat diidentifikasi lagi dari segi bentuk. Bekas ekskavasi yang tadinya dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin sudah tertutup dengan tanah dan ditumbuhi rumput gajah. Pecahan bata yang menjadi bukti reruntuhan telah diambil oleh masyarakat guna kepentingan membangun rumah dan masjid.  Menurut catatan dan pengamatan, diperkirakan luas Benteng 20.000 meter persegi, panjang 200 dan lebar 100 meter (200 X 100 meter) yang dikelilingi oleh parit (sungai kecil buatan) di tepi Sungai Tabanio. Berdasarkan dari lukisan Benteng Tabanio, arah hadap mengarah ke pesisir pantai, yaitu Laut Jawa dan kemungkinan meriam Benteng Tabanio yang saat ini disimpan pada museum juga menghadap ke arah yang sama.

Sumber : Laporan Inventarisasai Cagar Budaya Kabupaten Tanah Luat dan Tanah Bumbu Kalimantan Selatan, Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur, 2016.