Hibernasi Potensi Budaya Pulau Kalimantan

0
6736

Oleh : Heriyanti O. Untoro

(Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI)

Disalin dari Buletin Kudungga, Vol.3, BPCB Samarinda, 2014

Di antara ribuan pulau yang termasuk dalam wilayah kesatuan negara Republik Indonesia, pulau Kalimantan atau dikenal pula dengan nama Borneo merupakan pulau yang terbesar. Luasnya yang mencapai 743.330 kilometer persegi ternyata menjadi pulau ketiga terbesar di dunia. Secara geografis politik, pulau Kalimantan ini memiliki keunikan tersendiri karena pada sebagian wilayahnya ada negara lain yakni Brunai dan Malaysia. Luas wilayah Kalimantan sangat ditunjang dengan kekayaan alam dan budaya dimilikinya. Tercatat bahwa pulau ini memiliki keragaman hayati yang lengkap bagi pertumbuhan fauna maupun flora. Kekayaan hasil tambangnya yang berupa batu bara, minyak bumi, batu permata, dan lain sebagainya menjadi sumber lahan yang tak habis-habisnya didulang sejak masa lalu hingga masa kini. Konon, salah satu sumber daya alam penting yang berada di pulau ini adalah Batu Kelam di Sintang, Kalimantan Barat merupakan batu terbesar di dunia. Ironisnya   kebesaran dan kehebatan batu besar  yang diakui oleh dunia internasional justru Ayers Rock yang berada di Australia. Bukan haya itu, pulau ini dilalui oleh banyak sungai berserta anak-anak sungainya, memperlihatkan bahwa daerah yang satu dengan daerah lainnya terhubung oleh air sungai yang mengalir. Tidak mengherankan kalau pulau Kalimantan dinamakan pula sebagai pulau seribu sungai. Keluasan pulau ini yang sangat kaya akan sumber daya alam, ternyata sepadan juga dengan kekayaan budaya yang dimilikinya. Hanya patut disayangkan, potensi budaya yang merupakan karya manusia di bumi Kalimantan ini masih sangat sedikit yang  sudah berhasil diungkap.

  1. PENDUDUK KALIMANTAN

Siapakah penghuni pulau Kalimantan ini? Menurut Tjilik Riwut (1993:231), suku Dayak merupakan kelompok asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan dan dipercaya nenek moyang orang Dayak  berasal dari Yunan di  Tiongkok Selatan. Suku Dayak terdiri dari 6 rumpun, yaitu Kenyah-Kayan- Bahan; Ot Danum; Iban; Murut; Klemantan dan Punan.  Ke enam rumpun ini terbagi atas 405 sub suku, namun mereka memiliki ciri-ciri budaya yang sama dalam bentuk Rumah Panjang dan Budaya Material seperti tembikar, mandau, sumpit beliong, pandangan terhadap alam, sistem perladangan dan seni tari. Sampai saat ini penduduk  terbanyak di Kalimantan terdiri dari suku Dayak, suku Banjar dan suku Melayu. Menurut Fridolin Ukur (1971) kerajaan Dayak Nansarunai hancur karena diserang oleh kerajaan Majapahit di abad ke 13. Peristiwa ini menyebabkan suku Dayak terpencar dan masuk ke pedalaman. Pernyataan tersebut menimbulkan pemikiran bahwa saat kerajaan Dayak Nansarunai masih berjaya, suku Dayak hidup mengelompok di kawasan pesisir. Perpindahan dari pesisir ke pedalaman tentu akan membawa pula perubahan pada cara hidup. Bila benar demikian, perlu ditelusuri lebih mendalam tentang hal tersebut.

  1. POTENSI BUDAYA

Berdasar penelitian tinggalan budaya yang terlacak sampai saat ini, diketahui bahwa pulau ini memegang peranan yang sangat penting bagi  sejarah Kebudayaan Indonesia. Sampai saat ini secara kronologis, sejarah kebudayaan Indonesia bermula dari tinggalan masa pra sejarah, masa sejarah yang terbagi dalam periode masuknya pengaruh agama Hindu dan Budha atau yang disebut juga dengan masa klasik, kemudian diikuti dengan masuknya pengaruh agama Islam dan selanjutnya ketika  pengaruh budaya kolonial masuk di Indonesia. Di setiap daerah tinggalan dari setiap periode tersebut berbeda-beda, ada daerah yang memperoleh pengaruh kuat terbukti dari banyaknya tinggalan dari periode tersebut, namun ada pula daerah yang tidak atau sedikit sekali dipengaruhi oleh budaya tertentu. Bila kita bandingkan tinggalan budaya yang berasal dari  pulau- pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Papua kesemua pulau tersebut memiliki tinggalan dari masa pra sejarah.

Di Kalimantan yang sarat dengan hutan belantara,  dipenuhi oleh deretan bukit batu gamping yang ternyata di beberapa goanya  dipadati  pula oleh lukisan karya  manusia masa pra sejarah. Sampai saat ini goa-goa bergambar ini terus menerus diteliti, dan diketahui bahwa tinggalan tersebut merupakan lukisan goa tertua yang berada di Asia Tenggara (Pindi 2011:90). Tersebarnya goa-goa yang kaya akan aneka lukisan berupa cap tangan, perahu, manusia dan hewan  memperlihatkan bahwa di Kalimantan sejak ribuan tahun lalu sudah dihuni oleh kelompok manusia yang mengenal seni lukis untuk mengejawantahkan apa yang ada di sekelilingnya. Berdasar penelitian terhadap goa-goa tersebut setidaknya sudah terhitung sekitar 2000  cap tangan yang tersebar di sekitar 37 situs yang keseluruhannya dikenal sebagai situs Sangkurilang Mangkalihat.  Berdasar penelitian terhadap lingkungan alam sekelilingnya ternyata situs yang kaya akan tinggalan budaya ini mempunyai setidaknya 50 species ikan, 90 species kelelawar,  120 species burung bahkan 30 di antaranya bersifat endemik, 200 species serangga, dan 400 species tanaman. Sampai sekarang pun masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya dengan mencari  air liur burung layang-layang di rongga goa Sangkurilang ini. Beranjak  dari banyaknya flora dan fauna di situs tersebut, bukan tidak mungkin bila kondisi semacam ini dialami pula oleh manusia  yang pernah hidup di sana ribuan tahun lalu. Bila dugaan ini benar, dapat dipastikan bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan pangan yang bersifat nabati dan hewani mereka tidak perlu pergi jauh dari goa tersebut. Dengan demikian mereka tentu  memiliki banyak waktu luang yang dapat dimanfaatkan untuk melukis kawasan sekelilingnya. Asumsi awal ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut. Luas situs Sangkurilang  Mangkalihat sekitar 1,8 juta hektar, dengan deretan bukit2 batu gamping seluas 505.000 hektar, terbentang di dua kebupaten yakni kabupaten Berau dan kabupaten Kutai Timur. Kawasan ini termasuk di area taman nasional  merupakan situs penting yang perlu dikuak lebih dalam dan tidak mustahil dapat menjadi ikon bagi Kalimantan sebagai situs goa pra sejarah terbesar di Indonesia. Itu sebabnya saat ini situs Sangkurilang Mangkalihat  sedang diperjuangkan untuk dapat diangkat menjadi warisan dunia.  Walaupun  bukti serupa ini ditemukan pula di goa-goa batu lain  yang ditemukan di situs  Maros, pulau Sulawesi dan pulau Muna bahkan  di tempat lain,  akan tetapi  agaknya tidak seluas situs di  Sangkurilang Mangkalihat.

Ketika masa klasik berlangsung yakni abad ke 4 sampai dengan abad ke 15, pulau Papua agaknya tak tersentuh oleh budaya Hindu Budha ini, sedangkan  di pulau Sulawesi bukti adanya pengaruh dari India ini  tidak banyak, hanya berupa acra Budha dari perunggu berlanggam Amarawati yang ditemukan di Sempaga, Kabupaten  Mamuju Sulawesi Barat. Sebaliknya pengaruh budaya dari India ini sangat banyak ditemukan di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan.  Bahkan  salah satu temuan penting yang ditemukan di Kalimatan adalah  tujuh buah prasasti yang dipahatkan di atas tiang batu yang disebut  yupa  di hulu sungai Mahakam, daerah Kutai,  Kalimantan Timur. Penelitian terhadap ke tujuh yupa ini memberikan keterangan bahwa prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Walaupun tidak memahatkan angka tahun, namun memiliki persamaan dengan prasasti dari India Selatan yang berasal dari abad ke  IV – V. Temuan ini sekaligus  membuktikan bahwa  kerajaan  Kutai di Kalimantan yang bersifat Hindu merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Temuan yupa yang berhuruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta  ini merupakan tinggalan budaya yang sangat penting bagi perjalanan panjang sejarah kebudayaan Indonesia. Berdasar dari bentuk huruf yang terpahat pada  yupa yang diduga berasal    dari abad ke 4 itulah para pakar kebudayaan tentang Indonesia menetapkan beralihnya masa pra sejarah di Indonesia menjadi masa sejarah. Dengan demikian titik tolak  atau cikal bakal perubahan dari masa belum mengenal  tulisan menjadi  masa mengenal tulisan  sampai sekarang, disebabkan karena temuan yupa dari pulau Kalimantan.   Saat ini yupa tersebut dijadikan sebagai  koleksi di Museum Nasional Jakarta.

Pengaruh  agama yang berasal dari India di Kalimantan agaknya tidak hanya berkembang di kerajaan  Kutai, akan tetapi juga di berbagai kerajaan lain seperti kerajaan Sribangun yang bersifat Budha, kerajaan Wijayapura, kerajaan Bakulapura, kerajaan Kuripan, kerajaan Negara Dipa dan kerajaan Negara Daha. Jadi di Kalimantan terdapat banyak pusat kekuasaan yang berasal dari masa klasik dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Pengaruh dari India diduga kuat karena adanya perdagangan yang intens antara kawasan di pedalaman Kalimantan dan pedagang asing antaranya dari India. Beberapa tinggalan masa klasik yang ditemukan di pulau terbesar di tanah air kita ini antara lain adalah Candi Tanjung Pura, berasal dari abad 14-15 terbuat dari bata  terletak di Ketapang Kalimantan Barat. Penggunaan bata sebagai bahan utama pembuatan candi ini serupa dengan bahan yang digunakan oleh candi di Jawa Timur masa tinggalan kerajaan Majapahit. Candi lain yakni Candi Laras berasal dari sekitar abad ke 13 berlokasi di Tapin,  Kalimantan Selatan. Di sana ditemukan pula arca Batara Guru memegang cupu  serta arca Nandi dan lingga. Temuan lain berupa  arca Ganesha dan Siwa ditemukan pula  di goa gunung Kombeng, Kalimantan Timur. Konon pernah  pula ada  arca Budha dari  Kota Bangun Kutai Barat, Kalimantan  Timur yang  terbuat dari perunggu bergaya gupta yang kabarnya sudah musnah terbakar saat dipamerkan  di Paris  dalam acara  World Exhibition tahun 1931. Arca ini tentu bernilai sangat penting sehingga terpilih untuk dipamerkan di dunia  internasional. Sebuah data penting bagi pulau Kalimantan di era klasik. Yang patut ditelusuri adalah mengapa arca Budha yang tingginya 52 cm bisa sampai di pedalaman pulau Kalimantan? Apakah karena perdagangan atau khusus  dibawa oleh penyebar agama Budha. Bila disebabkan karena perdagangan, tentu akan banyak arca semacam itu yang seharusnya dijadikan sebagai barang dagang, namun apabila dibawa khusus oleh penyebar agama Budha maka tentu agama Budha memegang peran penting di masa lalu di pulau ini. Walaupun banyak temuan yang menggambarkan kuatnya pengaruh agama Hindu Budha di pulau Kalimantan, namun tidak banyak penelitian yang menjelaskan hal ini secara mendalam. Bahkan dalam Sejarah Kebudayaan Indonesia pun pengetahuan tentang pengaruh ke dua agama ini seakan lebih berperan di pulau lain seperti pulau Jawa dan Sumatera.

Selanjutnya saat agama Islam mulai menyebar secara deras ke beberapa wilayah Indonesia di sekitar abad ke 15,  beberapa pelabuhan dagang di Kalimantan memegang peran yang sangat hebat. Masuknya agama Islam seiring dengan munculnya pusat perdagangan seperti di Pontianak, Banjarmasin dan tempat lainnya. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini agaknya dapat diterima oleh sebagian penduduk Kalimantan, sebagaimana dibuktikan dari tinggalan mesjid kuna yang terhampar di beberapa tempat. Sebut saja mesjid Sultan Suriansyah tahun 1526 yang berada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Mesjid Jami Kraton Sambas  Kalimantan Barat, dari tahun 1702. Mesjid Jami Pontianak, Kalimantan Barat dari tahun 1771, beberapa mesjid kuna lain yaitu mesjid Pusaka Banua Lawas dari tahun 1625, mesjid Kiai Gede tahun 1632, mesjid Agung Al-Karomah tahun 1863, mesjid Jami Sungai Banar tahun 1840, mesjid Keramat Banua Halat tahun1840, dan mesjid Jami keraton Landak tahun 1895.  Menurut buku Indonesia dalam Arus Sejarah jilid 3  yang berjudul Kedatangan dan Peradaban Islam   diterbitkan tahun 2012 menuliskan ada tiga kerajaan Islam di Kalimantan yaitu Kesultanan Banjar (Banjarmasin), Kesultanan Kutai dan Kesultanan Pontianak.

Seiring dengan pesatnya agama Islam yang berkembang di pulau terbesar di tanah air kita ini, berkembang pula beberapa kota dagang seperti Banjarmasin, Pontianak dan beberapa kota pelabuhan lain. Pada masa itu banyak saudagar asing berdatangan dengan membawa barang dagang dan membeli hasil hutan serta rempah yang banyak dihasilkan di sana. Bahkan kerajaan Banjar memiliki sumber daya lada yang di abad ke  17 sangat banyak dicari oleh saudagar Eropa. Demikian pula rotan yang banyak tumbuh di hutan Kalimantan menjadi salah satu komoditi penting. Di antara pedagang asing yang berdatangan ke sana, tidak sedikit di antaranya orang Arab dan Tionghoa yang akhirnya tinggal menetap dan bercampur dengan penduduk setempat.  Bahkan sampai sekarang  di  kota Singkawang  sangat banyak orang Tionghoa bermukim, sehingga kota itu kerap dinamakan pula sebagai The Little China. Menurut sumber lisan diperoleh keterangan bahwa pada abad ke 16-17 di negeri Tiongkok terjadi perang saudara karena adanya pergantian dinasti yakni dari dinasti Ming ke dinasti Ching. Akibatnya terjadi eksodus besar-besaran ke kawasan Asia Tenggara, termasuk sebagian terdampar di Singkawang. Mereka yang terdampar di sana,  berprofesi sebagai penganjun di kiln  Ching Te Chen, sebuah pabrik keramik terbesar di Tiongkok sejak beberapa abad lampau sampai masa kini. Oleh karena itu, mereka tetap melanjutkan kebiasaan membuat keramik setelah menetap  di Singkawang. Konon, awalnya mereka merupakan sebuah komunitas tertutup dengan masyarakat luar, sehingga meski sudah berganti beberapa generasi tidak banyak yang dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Kemahiran membuat keramik yang diperoleh dari para pendahulunya sejak masih di negeri tiongkok, dialihkan pada para penerusnya. Mereka memproduksi barang barang keramik terutama berbentuk tempayan yang ragam hiasnya identik dengan ragam hias pada keramik Tiongkok. Gambar naga mendominasi tempayan bahkan beberapa suku Dayak menggunakan tempayan tersebut sebagai status simbol penting dalam ritual siklus  hidupnya. Produksi keramik ini  kian berkembang baik dari segi bentuk, warna glasir serta hiasan dan diperjual belikan sampai ke seluruh pelosok tanah air, malahan sampai ke beberapa negeri tetangga. Kerap banyak pembeli terkecoh karena menganggap keramik buatan negeri Tiongkok, padahal dibuat di Singkawang yang berada di Kalimantan Barat.

Saat Belanda datang baik sebagai pedagang maupun sebagai penguasa yang  dengan segala taktik dan strateginya mempengaruhi para sultan, menjadikan era kesultanan tersebut berakhir dan berganti dengan  pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa itulah beberapa kota besar di Kalimantan pun mengalami perubahan yang cukup menyolok. Gedung-gedung untuk keperluan Belanda mulai dibangun yang tentunya bercorak arsitektur Eropa. Belanda menaruh banyak perhatian untuk membangun kota di Kalimantan karena memiliki kepentingan terutama menguasai sumber daya alam. Di Tarakan, Kalimantan Utara memiliki bukti tentang berbagai bangunan yang terkait dengan industri minyak sejak jaman Belanda dahulu. Beberapa bangunan yang dibangun oleh Belanda antaranya bunker, gereja, sumur minyak, dan bangunan lain. Sebenarnya tinggalan semacam ini merupakan data penting bagi penelitian arkeologi masa kolonial terutama terkait dengan arkeologi industri.

Beranjak dari banyaknya potensi budaya yang dimiliki oleh pulau ini, maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa budaya yang dimiliki pulau  Kalimantan ini, masih  mengalami hibernasi belum terbangun.  Tugas kita semua untuk membangunkannya!

DAFTAR PUSTAKA

Ambary, Hasan Muarif.  1978. “Catatan tentang Masuk dan Berkembangya Islam di Kalimantan Selatan”  dalam Majalah Arkeologi tahun ke II. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Any Rahmayani. 2014. Permukiman Tionghoa di Singkawang. Dari Masa Kongsi Hingga Masa Kolonial. Yogyakarta: Penerbit  Ombak

I Made Kusumajaya.  2013. “ Pelestarian Cagar Budaya di Kalimantan (Upaya yang Telah Dilakukan) “ dalam Kundungga  volume 2  Tahun 2013.

Ita Syamtasiah Ahyat. 2012. Kesultanan Banjarmasin Pada Abad ke 19. Ekspansi Pemerintah Hindia-Belanda di Kalimantan.  Penerbit Serat Alam Media.

Ita Syamtasiah Ahyat. 2013. Kesultanan  Kutai 1825-1910. Penerbit Serat Alam Media.

Pemda Pemerintah Kota Balikpapan. 2012. Profil Cagar Budaya Balikpapan 2012

Pindi, Setiawan. 2011.Sangkurilang The Most Exotics. Natural and Cultural Heritagr of East Kutai Karstic Area.   Dinas Pariwisata, Olah Raga dan Pemuda Pemda Kabupaten Kutai Timur.

Richard Stoffle. 2008. “ Cultural Heritage and Resources” dalam The Heritage Reader. London : Routledge Taylor and Francis Group.

Riwut, Tjilik.1993. Kalimantan Memanggil: Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: Tiara Wacana.