EIGER : The Black Borneo Expedition

0
3671
Kegiatan ekspedisi pendakian gunung, panjat tebing, penulusuran gua, penjelajahan rimba dan penelitian ilmiah ke berbagai daerah di belahan bumi nusantara sekarang ini semakin berkembang. Sejalan dengan itu, Tim EIGER terinspirasi untuk membuat program ekspedisi Borneo yang bertujuan untuk mengenali karakteristik belantara hutan Kalimantan yang notabene terkenal sebagai hutan hujan tropis terbesar kedua setelah hutan Amazon.
The Black Borneo Expedition adalah perjalanan ekspedisi dan penjelajahan ekstrem yang dilakukan oleh “the Eiger Adventure Service Team”. Tim yang beranggotakan 10 orang ini telah menyelesaikan ekspedisinya yang pertama pada tanggal 19-29 April lalu di Kawasan Karst Merabu dan sekitarnya di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Tim ini juga akan kembali berangkat menyusuri belantara borneo di kuartal 4 tahun ini pada The Black Borneo Expedition II.
Dinamakan “Black Borneo” sendiri karena tim ini menjelajahi bagian di wilayah hutan hujan tropis Kalimantan yang diperkirakan jarang dijamah manusia atau lebih dikenal sebagai wilayah “hitam”. Di Kalimantan terdapat beberapa wilayah hutan hujan tropis yang masih belum tereksplorasi dan belum diketahui pasti potensi apa yang ada, sehingga tim ini berusaha untuk mengenali karakteristik dan mengeksplorasi alam sekitar.
Sebagai negara yang terkenal akan kekayaan alamnya yang melimpah, Indonesia memiliki lautan yang luas dan beribu pulau di dalamnya. Salah satu pulau yang paling disorot karena keanekaragaman biodiversitasnya adalah pulau Kalimantan atau dikenal juga dengan sebutan Borneo. Borneo memiliki hutan hujan tropis, dimana terdapat keadaan hutan lebat dan lembab yang ditumbuhi berbagai jenis pohon berukuran besar yang dihuni oleh berbagai spesies yang ada.
Borneo adalah rumah bagi lebih dari 15.000 jenis tanaman, 300 jenis pohon dan 221 spesies mamalia. Juga menjadi rumah bagi sekian banyak seni dan budaya yang luar biasa menakjubkan. Namun sayang, sekarang ini hutan hujan tropis kita termasuk dalam permasalahan lingkungan yang sangat krusial. Hutan kita terus berhadapan dengan pembalakan liar yang merajalela dan kerusakan hutan yang meningkat drastis. Kekayaan alam hutan Indonesia ini adalah harta yang berharga yang patut kita jaga, lestarikan dan perjuangkan.
Merabu adalah salah satu Kampung yang secara administratif berada di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Dengan wilayah seluas 22.000 hektar kampung ini berada di dalam areal kawasan hutan dengan status 40% hutan produksi dan 60% hutan lindung. Kampung yang dihuni oleh 195 penduduk yang terdiri dari 55 Kepala Keluarga (KK) dengan mayoritas penduduk bersuku Dayak Lebo yang merupakan kerabat dekat dari suku Dayak Lebo Merapun, Panaan dan Mapulu Tintang.
Kampung yang konon berdiri sejak 1911 ini menyimpan potensi kekayaan alam yang beragam. Selain hutan, Merabu memiliki kekayaan alam yang masih perawan. Diantaranya adalah perbukitan kapur (Karst) seluas 7.500 hektar yang mempesona, yang di dalamnya terdapat ratusan jenis flora dan fauna.
The Eiger Black Borneo Expedition yang diketuai oleh Djukardi  “Bongkeng’” Adriana, dengan 9 orang lainnya melakukan perjalanan petualangan yang dilakukan selama 11 hari. Total persiapan selama kurang lebih tiga bulan lamanya, diperlukan fisik dan mental yang sangat prima. Tim melakukan simulasi ekspedisi kecil di beberapa gunung di Jawa Barat sebagai sarana latihan untuk menghadapi medan yang tak terkira disana.
Untuk sampai kampung Merabu, perjalanan harus dimulai dengan menyebrang sungai Kelay menggunakan perahu tradisional ketinting. Matahari bersinar cukup terik, warga dan Bapak Asrani (ketua kampung) Merabu telah menunggu di tepi sungai. Mereka membantu membawa barang-barang bawaan langsung menuju ke bangunan bernama Kerimapuri, Kerimapuri adalah lembaga yang menjaga kelestarian hutan dan seisinya. Di sana tim dan beberapa perwakilan warga berbincang mengenai maksud dan tujuan datang ke kampung ini.
Hari pertama, tim beristirahat di salah satu rumah warga mengumpulkan energi dan mengatur perbekalan dan mempersiapkan segala perlengkapan yang akan dibawa untuk perjalanan petualangan esok hari. Namun, rencana untuk segera berpetualang harus sedikit tertahan karena tim bersama masyarakat harus mengikuti serangkaian upacara adat  selama sehari penuh. Upacara ini diadakan sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan yang dicapai kampung Merabu setahun terakhir.
Perjalanan petualangan dilakukan keesokan hari, destinasi pertama adalah Gua Bloyot. Perjalanan tim ke Gua Bloyot ditemani matahari yang bersinar dengan teriknya. Perjalanan harus dimulai dengan membelah Sungai Kelay menggunakan perahu ketinting. Pemandangan yang luar biasa, barisan pohon-pohon yang tinggi menjulang, hutan yang terjaga kelestariannya ini membuat tidak henti-hentinya berdecak kagum. Setelah berjalan kurang dari satu jam, sebelum tiba di Gua Bloyot terlebih dahulu dibuat terpesona oleh sebuah danau yang berada di tengah hutan bernama Nyedeng. Untuk mencapai danau ini tidaklah begitu sulit, kondisi jalan relatif mudah dilalui. Berjalan di sepanjang hutan ini sedikit terasa sejuk karena deretan pohon-pohon ini melindungi dari teriknya panas matahari. Danau yang “tersembunyi” ini airnya dingin dan jernih  di kejauhan memantulkan warna birunya langit yang indah.
Gua Bloyot adalah salah satu gua yang memiliki keunikan tersendiri, yaitu lukisan prasejarah. Pada bagian atap Gua, terlihat lukisan-lukisan tangan manusia di masa lampau. Sebagian besar lukisannya berupa cap-cap tangan yang ukurannya kurang lebih sama dengan ukuran tangan manusia di masa sekarang. Pola penggambaran lukisan tangan ini diperkirakan dengan teknik “sembur” karena bagian yang berwarna hanya terlihat pada sekeliling tangan dan bukan pada bagian tangan itu sendiri. Terlihat juga beberapa lukisan berbentuk abstrak pada bagian lainnya.
Perlu waktu dua hari dua malam untuk tiba di destinasi selanjutnya, yaitu Puncak Ketepu. Perjalanan menuju kesana tidaklah mudah karena harus melewati perjalanan yang terjal, licin dan berbatu. Dari Puncak Ketepu terlihat lukisan alam yang tiada tandingannya. Sejauh mata memandang, hijaunya hutan belantara menghampar luas diantara putihnya Pegunungan Karst yang kokoh.
Perjalanan ke danau Tebo selanjutnya harus melewati medan yang lebih berat lagi, menyusuri jalanan yang ekstrem dan menuruni karst yang terjal. Danau Tebo ini seperti dibentengi oleh pegunungan karst, sehingga tidak membuat banyak orang mampu datang ke sini. Warga Merabu menyebut danau Tebo dengan sebutan Pesuh Laya, “Pesuh” berarti danau dan “laya” berarti besar. Walaupun kondisi danau sedang surut, hanya berbingkai pemandangan bekas pohon-pohon yang terbakar dan bekas jejak-jejak rusa tidak mengurangi rasa takjub terhadap apa yang dimiliki oleh alam Indonesia ini sungguh luar bisa.
Terima kasih Tuhan Yang Maha Esa, Terima kasih Indonesia, Terima kasih Masyarakat Merabu . .
Mulai hari ini mari kita jaga dan lestarikan Hutan kita!!
Sumber : http://115.124.92.94/content/black-borneo-expedition