Kata “pengembangan” dalam kaitannya dengan penelitian arkeologi, haruslah dapat dipahami dan dijabarkan dalam persepsi yang sama di antara para peneliti Arkeologi di lingkungan lembaga penelitian Arkeologi Indonesia. Perlu diketahui bahwa pengertian pengembangan ini telah dibakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan tertuang dalam Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti dan Angka Kreditnya (2005) yang menyebutkan bahwa pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. Yang kedua, harus disadari bahwa pada sektor lain dalam sistem manajemen sumberdaya Arkeologi di Indonesia seperti sektor pelestarian dan pemanfaatan juga melakukan kegiatan yang bersifat pengembangan. Oleh karena itu, harus dapat memilah dan memilih kegiatan “pengembangan” yang bagaimana yang seharusnya dilakukan di sektor penelitian? Pertanyaan ini bagi penulis tidak mudah untuk dicarikan jawabannya, untuk itu perlu adanya diskusi khusus agar dapat memformulasikan “kelitbangan” dalam penelitian arkeologi.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata pengembangan berarti suatu proses, perbuatan atau cara mengembangkan sesuatu obyek. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan kegiatan penelitian Arkeologi, kegiatan pengembangan ini merupakan suatu kegiatan tahap kedua pasca penelitian agar suatu situs atau obyek Arkeologi tersebut dapat lebih bermanfaat baik bagi ilmu pengetahuan (akademis), maupun bagi masyarakat secara luas (praktis). Oleh karena itu para peneliti dituntut untuk dapat melakukan kegiatan pengembangan terutama pada situs-situs Arkeologi yang pernah dilakukan penelitian yang berulang kali. Seperti penelitian di Benteng Tabanio, Kabupaten Tanah Laut yang sudah 4-5 kali, situs Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kertanegara, situs-situs gua prasejarah di Kutai Timur, maupun situs-situs etnoarkeologi (penelitian pada etnis Dayak), sudah saatnya dilakukan kegiatan pengembang annya.
Menyadari akan pentingnya program-program yang bersifat pengembangan tersebut, maka bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara, pada tahun 2005 Balai Arkeologi Banjarmasin menggelar suatu seminar sehari tentang rencana revitalisasi situs Candi Agung dengan mengundang pembicara dari Direktorat Purbakala dan Departemen Pekerjaan Umum Pusat. Hasilnya mulai tahun 2006 situs tersebut mulai direvitalisasi dengan dana dari pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten setempat. Selanjutnya, pada suatu seminar yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan tahun 2005 yang lalu penulis mempresentasikan sebuah makalah berjudul “Budaya Banjar Dalam Perspektif Arkeologi: Satu Studi Kasus Melacak Sisa-Sisa Kerajaan Banjar”. Makalah ini secara jujur saya sampaikan kepada forum sekaligus suatu provokasi yang dapat membangun image masyarakat dan pemerintah Kalimantan Selatan tentang adanya istana atau kraton Kerajaan Banjar.. Hasil dari seminar tersebut cukup menggembirakan, karena bersama rekan dari Teknik Arsitektur Universitas Lambungmangkurat, kami diberi tugas oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan untuk melakukan kajian-reka ulang kraton Banjar dan hasilnya seperti tertuang dalam buku “Kajian Reka Ulang Replika Keraton Banjar di Kuin” (Gunadi, Bani dan Aufa, 2006). Kegiatan lain seperti melakukan kajian khusus tentang rencana pengembangan kawasan bersejarah dan pendirian museum kota di Kota Tarakan.
Kegiatan seperti di atas menurut hemat saya merupakan salah satu contoh kegiatan pengembangan dari hasil penelitian Arkeologi. Satu hal yang perlu dicatat dan diingat bahwa kegiatan pengembangan tidak dapat digeneralisir ataupun dibakukan lebih-lebih diseragamkan. Karena masing-masing situs pasti akan mempunyai karakter dan lingkungan yang berbeda satu dengan yang lain termasuk masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu dalam mewujudkan “program kerja pengembangan” ini betul-betul dibutuhkan kejelian dan kepekaan manajerial dari seorang peneliti arkeologi. Seperti telah disinggung di atas, jangan sampai kita terjebak dengan kegiatan pengembangan sektor lain. Pada sektor pelestarian dan pemanfaatanpun ada kegiatan pengembangan yang dikenal dengan istilah studi teknis dan studi kelayakan. Dalam makalah saya berjudul “Lembaga Penelitian Arkeologi Indonesia dan Obsesi Pengembangannya” yang dibacakan pada forum EHPA tahun 2003 yang lalu, antara lain mengingatkan kepada kita semua bahwa sektor penelitian harus dapat berperan dan menempatkan diri sebagai leading sector dalam sistem pengelolaan sumberdaya Arkeologi di Indonesia.
Sumber: Gunadi Kasnowihardjo, artikel ARKEOLOGI UNTUK PUBLIK , dalam Buletin Kundungga Volume 7 Tahun 2018.