Pola Tata Ruang Kota Karangintan, Martapura, dan Banjarmasin Sebagai Penanda Perwajahan Kota di Kesultanan Banjar

0
780

Secara khusus bentuk permukiman masyarakat Banjar tidak memiliki spesifikasi pembagian ruang yang rumit atau kompleks. Dalam penelusuran beberapa data tertulis dan peta lama tidak ditemukan bentuk khusus dalam tata ruang permukimannya, terutama tentang ibukota Kesultanan Banjar, sewaktu Kesultanan Banjar masa berdiri.  Dari 3 (tiga) tempat pada masa akhir Kesultanan Banjar yang sempat menjadi kedudukan Keraton Banjar, yaitu Karangintan, Martapura, dan Banjarmasin.

Karangintan merupakan tempat kedudukan Keraton Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman, ayah dari Sultan Adam. Berdasarkan peta yang dibuat oleh Muller, bentuk tata ruang Karangintan sebagai ibukota Kesultanan Banjar hanya terdiri dari sederetan bangunan dan perkampungan yang mengikuti aliran Sungai Riam Kiwa (peta 1). Peta tersebut  tidak menggambarkan adanya pola tertentu yang menunjukkan pembagian ruang ibukota kerajaan, yang diikuti pola penempatan bangunan pengisinya. Keraton sebagai sebagai simbol  pusat kekuasaan dan magis, berdiri sejajar dengan bangunan lainnya. Bisa dikatakan bahwa ibukota Kesultanan Banjar di Karangintan merupakan lebih berkesan sebagai sekumpulan perkampungan saja. Perkampungan tersebut sampai hari ini masih ditemukan antara lain Bincau (K. Pindjauw), mali-mali (K. Maliemaelie), pandakdaun (K. Pandak tawon), Karangintan (K. Karang-intan), dan Panyambaran (K. Sambaran).

Sedangkan pada penelusuran dilapangan ditemukan toponimi yang berhubungan dengan aktivitas kekunoan, yaitu keraton, pasar lama, dan pasar baru. Berdasarkan tinggalan arkeologis yang ada berupa makam kuno, masjid, dan bangunan rumah Banjar,  yang berkisaran abad XIX sampai dengan awal abad XX. Karangintan sebagai ibukota Kesultanan Banjar yang berada jauh di pedalaman dan mendekati kaki Pegunungan Meratus memiliki kontur daratan lebih tinggi dengan tanah kering yang lebih luas daripada Martapura ataupun Banjarmasin. Namun demikian penempatan keraton dan bangunan yang ada hanya berada di tepi Sungai Riam Kiwa. Hal tersebut merefleksikan bahwa budaya sungai lebih dominan dan menjadi orientasi segala kegiatan, termasuk dalam bermukim (Muller : 1845).

Tidak jauh halnya dengan Karangintan, Kota hgh reviews the skeleton and somatotropin Martapura sebagai ibukota Kesultanan  Banjar pada masa Sultan Adam, memiliki beberapa ciri tertentu. Muller dalam petanya menggambarkan bentuk permukiman Kota Martapura memanjang mengikuti aliran Sungai Martapura. Tidak tampak adanya pola tertentu seperti grid atau kosentris yang membentuk ruang kota yang mengelilingi keraton sebagai pusat kekuasaan. Kawasan Kota Martapura dulu hanya berupa sekumpulan kampung yang berada di sisi kanan dan kiri Sungai Martapura. Kampung-kampung tersebut antara Pesayangan (K. Pasdjadjang), Tambak Hanyar (K. Tambak andjer), Tungkaran (Toenkaren), Tunggul Hirang (K. Toengoelierang), Kayutangi (K. Kajoe-tangi), Antasan Sonor (A. Sonor). Pada masa itu, perkampungan yang padat penduduknya berada di sekitar Kampung Pesayangan dan Kampung Kayutangi (peta 1).

Sebagai pembeda antara Kota Martapura dan Karangintan yaitu, adanya 2 tempat kedudukan sultan. Pertama di dekat Kampung Tambak Hanyar (K. Tambak andjer) sebagai Huis v.d. Sultan. Kedua di seberang Antasan Sonor yang di kenal masa sekarang sebagai Kampung Keraton, dalam peta tersebut diterangkan sebagai Dalam van den Sultan. Martapura susunan kotanya lebih lengkap lagi dengan kehadiran Belanda di sekitar keraton sultan, yaitu dengan adanya keberadaan Woning v.d Resident.

Sebagai sebuah kota bercorak Islam, Martapura mempunyai komponen pendukung seperti alun-alun dan masjid (Listiana, 2013: 40). Namun demikian bentuk kotanya tidak bersifat kosentris seperti pada umumnya kerajaan bercorak Islam seperti halnya di Jawa. Bentuk kotanya bersifat linear dan bersifat organik. 

Kota sebagai wujud konkrit dari perkembangan peradaban manusia, mempunyai karakter khusus dalam hal permukimannya. Hal tersebut tersebut ditunjukkan dengan adanya pembagian ruang kota dan bangunan pengisinya, sebagai pembeda dengan kawasan hunian lainnya. Begitu pula dengan kehadiran kota pada masa berkembangnya kebudayaan Islam di Kalimantan. Kesultanan Banjar sebagai salah satu kerajaan bercorak Islam di Kalimantan mempunyai beberapa tempat yang pernah dijadikan sebagai ibukotanya. Pada masa akhir pemerintahannya, ibukota kerajaan pernah berkedudukan di Karangintan, dan Martapura. Dan tepat Menjelang pembubaran Kesultanan Banjar oleh Belanda, pusat pemerintahannya pernah  dijalankan di Banjarmasin. Dari telaah 3 tiga kota tersebut, menandakan bahwa bentuk kotanya bersifat linear dengan komponen utamanya yaitu keraton. Bentuk linear tersebut menyesuaikan dengan keletakan permukimannya yang berada di sepanjang aliran Sungai Martapura.

SUMBER: Eko Herwanto, BENTUK TATA RUANG KOTA KARANGINTAN, MARTAPURA, DAN BANJARMASIN PADA MASA AKHIR KESULTANAN BANJAR dalam Kundungga Volume 6 Tahun 2017.