Pola Tata Ruang Kota Karangintan, Martapura, dan Banjarmasin Sebagai Penanda Perwajahan Kota di Kesultanan Banjar

0
1772

Secara khusus bentuk permukiman masyarakat Banjar tidak memiliki spesifikasi pembagian ruang yang rumit atau kompleks. Dalam penelusuran beberapa data tertulis dan peta lama tidak ditemukan bentuk khusus dalam tata ruang permukimannya, terutama tentang ibukota Kesultanan Banjar, sewaktu Kesultanan Banjar masa berdiri.  Dari 3 (tiga) tempat pada masa akhir Kesultanan Banjar yang sempat menjadi kedudukan Keraton Banjar, yaitu Karangintan, Martapura, dan Banjarmasin.

Karangintan merupakan tempat kedudukan Keraton Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman, ayah dari Sultan Adam. Berdasarkan peta yang dibuat oleh Muller, bentuk tata ruang Karangintan sebagai ibukota Kesultanan Banjar hanya terdiri dari sederetan bangunan dan perkampungan yang mengikuti aliran Sungai Riam Kiwa (peta 1). Peta tersebut  tidak menggambarkan adanya pola tertentu yang menunjukkan pembagian ruang ibukota kerajaan, yang diikuti pola penempatan bangunan pengisinya. Keraton sebagai sebagai simbol  pusat kekuasaan dan magis, berdiri sejajar dengan bangunan lainnya. Bisa dikatakan bahwa ibukota Kesultanan Banjar di Karangintan merupakan lebih berkesan sebagai sekumpulan perkampungan saja. Perkampungan tersebut sampai hari ini masih ditemukan antara lain Bincau (K. Pindjauw), mali-mali (K. Maliemaelie), pandakdaun (K. Pandak tawon), Karangintan (K. Karang-intan), dan Panyambaran (K. Sambaran).

Sedangkan pada penelusuran dilapangan ditemukan toponimi yang berhubungan dengan aktivitas kekunoan, yaitu keraton, pasar lama, dan pasar baru. Berdasarkan tinggalan arkeologis yang ada berupa makam kuno, masjid, dan bangunan rumah Banjar,  yang berkisaran abad XIX sampai dengan awal abad XX. Karangintan sebagai ibukota Kesultanan Banjar yang berada jauh di pedalaman dan mendekati kaki Pegunungan Meratus memiliki kontur daratan lebih tinggi dengan tanah kering yang lebih luas daripada Martapura ataupun Banjarmasin. Namun demikian penempatan keraton dan bangunan yang ada hanya berada di tepi Sungai Riam Kiwa. Hal tersebut merefleksikan bahwa budaya sungai lebih dominan dan menjadi orientasi segala kegiatan, termasuk dalam bermukim (Muller : 1845).

Tidak jauh halnya dengan Karangintan, Kota Martapura sebagai ibukota Kesultanan  Banjar pada masa Sultan Adam, memiliki beberapa ciri tertentu. Muller dalam petanya menggambarkan bentuk permukiman Kota Martapura memanjang mengikuti aliran Sungai Martapura. Tidak tampak adanya pola tertentu seperti grid atau kosentris yang membentuk ruang kota yang mengelilingi keraton sebagai pusat kekuasaan. Kawasan Kota Martapura dulu hanya berupa sekumpulan kampung yang berada di sisi kanan dan kiri Sungai Martapura. Kampung-kampung tersebut antara Pesayangan (K. Pasdjadjang), Tambak Hanyar (K. Tambak andjer), Tungkaran (Toenkaren), Tunggul Hirang (K. Toengoelierang), Kayutangi (K. Kajoe-tangi), Antasan Sonor (A. Sonor). Pada masa itu, perkampungan yang padat penduduknya berada di sekitar Kampung Pesayangan dan Kampung Kayutangi (peta 1).

Sebagai pembeda antara Kota Martapura dan Karangintan yaitu, adanya 2 tempat kedudukan sultan. Pertama di dekat Kampung Tambak Hanyar (K. Tambak andjer) sebagai Huis v.d. Sultan. Kedua di seberang Antasan Sonor yang di kenal masa sekarang sebagai Kampung Keraton, dalam peta tersebut diterangkan sebagai Dalam van den Sultan. Martapura susunan kotanya lebih lengkap lagi dengan kehadiran Belanda di sekitar keraton sultan, yaitu dengan adanya keberadaan Woning v.d Resident.

Sebagai sebuah kota bercorak Islam, Martapura mempunyai komponen pendukung seperti alun-alun dan masjid (Listiana, 2013: 40). Namun demikian bentuk kotanya tidak bersifat kosentris seperti pada umumnya kerajaan bercorak Islam seperti halnya di Jawa. Bentuk kotanya bersifat linear dan bersifat organik. 

Sedangkan Banjarmasin pada masa akhir Kesultanan Banjar, sudah menjadi hak milik pemerintah kolonial Belanda. Namun demikian Sultan Banjar dan Pangeran Mangkubumi masih mempunyai kedudukan di Banjarmasin. Hal tersebut dimaksudkan untuk tempat tinggal selama audiensi dengan pihak Belanda di Banjarmasin. Kediaman Sultan Adam tersebut berada di seberang Benteng Tatas (Fort Tatas) dan kediaman Residen (Huis Resident). Posisinya tepat di seberang  antara pertemuan Sungai Martapura, Antasan Kuin (A. Kween). Atau dekat dengan  Kampung Pecinan ( chinesche wijk). Secara umum pada masa itu Kota Banjarmasin bentuk tata ruang kota dan permukiman warganya mengikuti aliran Sungai Martapura (peta 2).

Fasilitas pendukung Kota Banjarmasin yaitu adanya kantor pemungutan pajak atau cukai, Benteng pertahanan, dan masjid. Kantor pemungutan pajak/ cukai milik Belanda berada di muara Sungai Martapura atau di Mantuil. Sedangkan kantor cukai milik Sultan Banjar berada di muara Antasan Kuin. Peta yang dibuat Muller tersebut tampak bahwa Banjarmasin sebelum tahun 1845, bentuk permukimannya mengikuti aliran Sungai Martapura, belum terlalu banyak kampung dan bangunan sebagai pengisi ruang kota.

Secara umum pada masa itu Banjarmasin sepenuhnya sudah dalam kekuasaan Belanda. Maka dengan itu fasilitas pendukung kotanya banyak diperuntukkan untuk menjalankan administrasi pemerintahan kolonial Belanda (2011: 165-174).

Melihat perbandingan bekas ibukota Kesultanan Banjar dari Karangintan, Martapura, dan Banjarmasin di atas tampak tidak ada pola tertentu bersifat kosentris atau menerapkan konsep kosmologis tertentu dalam penataan ruang kota sebagai tempat kedudukan penguasanya. Pola penempatan mengikuti aliran sungai dari hulu ke hilir merupakan hal yang umum dan ditemukan dalam setiap kota tersebut. Pola grid yang biasa ditemukan pada kota-kota bercorak islam dan kolonial seperti halnya di Jawa tidak ditemukan di wilayah ini sampai dengan tahun 1845. Kesan yang terbaca adalah keberadaan keraton itu sendiri sebagai pusat kedudukan raja, pusat dari segala kekuasaan dan budaya.

Dalam tradisi masyarakat Banjar berkembang cerita tutur bahwa tempat kedudukan raja yaitu rumah bumbungan tinggi.  Rumah bumbungan tinggi tersebut terbagi menjadi beberapa ruang yang membagi fungsi dan maknanya. Dalam denah rumah tersebut menganut konsep yang dikenal dengan cacak burung. Suatu bentuk denah yang saling bersilangan yang menggambarkan konsep kosmologis masyarakat Banjar. Namun demikian konsep tersebut tidak tampak dijabarkan lebih jauh dalam pembagian ruang kotanya.

Sumber: Eko Herwanto Artikel BENTUK TATA RUANG KOTA KARANGINTAN, MARTAPURA, DAN BANJARMASIN PADA MASA AKHIR KESULTANAN BANJAR, dalam Buletin Kundungga Volume 6 Tahun 2017.