PERAN PUSAT DAN DAERAH DALAM PENGELOLAAN SITUS CAGAR BUDAYA: “Studi kasus Situs Muara Kaman di Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur”

0
2105

Oleh : Gunadi Kasnowihardjo

Disalin dari Buletin Kudungga, Vol.3, BPCB Samarinda, 2014

Abstrak

Situs Muara Kaman yang lebih dikenal dengan temuan beberapa prasasti “Yupa” dan “Raja Mulawarman dari Kerajaan Kutai” bagi saya yang pernah bertugas di Kalimantan menilai bahwa situs tersebut belum dikelola secara maksimal apabila dibandingkan dengan potensi dan nilai historis-arkeologisnya. Saat penulis bekerja di Balai Arkeologi Banjarmasin telah berusaha mengangkat Situs Muara Kaman baik dalam kegiatan penelitian maupun publikasi. Bahkan Situs Muara Kaman telah didiskusikan dalam Seminar Nasional dengan pembicara dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan Balai Arkeologi Banjarmasin. Penulis juga telah mempublikasikan dalam bentuk karya tulis ilmiah di bulletin arkeologi dengan judul “Kutai, Tonggak Sejarah Nasional Indonesia”. Akan tetapi upaya-upaya yang telah dirintis sejak tahun 2004, rupa-rupanya belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Keberadaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Samarinda memicu penulis untuk mengangkat kembali bagaimana mengelola Situs Muara Kaman ke depan.

Abstract

Muara Kaman Site, better known by the findings of several inscriptions “Yupa” and “King Mulawarman of the Kingdom of Kutai” for me who had served in Borneo judge that the site is not managed optimally when compared with the potential and historical-archaeological value. When the author worked at the Archaeological Institute of Banjarmasin have tried to lift the Muara Kaman archaeological site both in research activities and publications. Even the site of Muara Kaman has been discussed in the National Seminar with speakers from the Directorate General of Culture, Faculty of Humanities, University of Indonesia, and Archeological Institute of Banjarmasin. The author has also published in scientific papers on archaeological bulletin with the title “Kutai, as Indonesian National Historical Milestones”. However, the efforts that have been initiated since 2004, apparently has not been seriously considered by both the central and local governments. The existence of the Heritage Preservation Institute of Samarinda trigger writers to reappoint how to manage the future of Muara Kaman Site.

  1. PENDAHULUAN

Desa Muara Kaman berada di hulu Mahakam dikenal dengan temuan beberapa prasasti “yupa” dan diperkirakan berasal dari masa yang sangat awal untuk periode sejarah bangsa Indonesia. Situs Muara Kaman sampai saat ini masih menarik untuk dilakukan penelitian dan pengembangannya. Situs ini terletak di daerah percabangan aliran sungai Mahakam dan Sungai Kedangrantau, tepatnya di Desa Muara Kaman Ulu, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. H. Kern (1916-1917) dalam artikel Inscripties van de Indische Archipel menyatakan bahwa berdasarkan corak dan gaya huruf yang digunakan untuk penulisan prasasti yang diterbitkan pada masa pemerintahan Raja Mulawarman tersebut menunjukkan gaya huruf Pallawa yang digunakan di India Selatan pada masa akhir abad IV AD.

Mengapa kerajaan Hindu-Budha tertua di Indonesia ditemukan di Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur? Rupa-rupanya pertanyaan penelitian seperti itu belum menjadi perhatian serius bagi para peneliti sejarah maupun arkeologi. Hal ini tercermin hingga saat ini informasi tentang Situs Muara Kaman dan Raja Mulawarman yang menerbitkan 7 buah prasasti “yupa” dari abad IV – V AD dalam Sejarah Nasional Indonesia masih sangat kurang. Kajian dan penelitian Situs Muara Kaman yang dilakukan sejak tahun 1990 an oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional rupa-rupanya belum dapat memberikan informasi secara komprehensif. Oleh karena itulah pada tahun 2004 – 2006 secara berturut-turut setiap tahun diusulkan penelitian dan kajian arkeologi sejarah Situs Muara Kaman yang dilakukan atas kerjasama antara Universitas Negeri Malang (UM), Balai Arkeologi Banjarmasin, dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara Cq. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara (Cahyono dan Gunadi, 2007).. Selanjutnya pada tahun 2008 atas bantuan dana dari Yayasan Keluarga Hashim Djojohadikusumo (YKHD) Borneo Cultural & Natural Heritage Trust melanjutkan penelitian dan kajian tentang Situs Muara Kaman.

Penelitian dan kajian yang dilakukan dari tahun 2004 – 2008 merupakan upaya menjawab beberapa research questions dan berusaha mengangkat Situs Muara Kaman ke tingkat nasional dan regional agar potensi sejarah dan arkeologi situs tersebut dapat diketahui dan dipahami oleh khalayak yang lebih luas. Penelitian dari tahun 2004 – 2006 difokuskan pada kajian tekstual baik data prasasti maupun sumber tertulis lain yang diaplikasikan dalam rekonstruksi sejarah kebudayaan setempat. Beberapa hal penting yang selama ini belum pernah ditemukan oleh peneliti sebelumnya antara lain:

  1. Berhasil membedah setting lokasional Kawasan Muara Kaman dengan mencari dan menentukan lokasi-lokasi yang tersurat dalam prasasti yang diterbitkan oleh Mulawarman, antara lain waprakeswara, pendirian Yupa, penyembelihan hewan korban, dan tempat permukimannya.
  2. Upaya merekonstruksi sejarah kebudayaan Kawasan Muara Kaman dari masa prasejarah-protosejarah-sejarah berdasarkan kajian tekstual maupun hasil ekskavasi. Peran Muara Kaman sebagai Pelabuhan Transit yang menghubungkan antara pedalaman dan daerah luar merupakan lokasi yang strategis karena terletak di percabangan antara Sungai Mahakam dan Sunai Kedangrantau.

Penelitian tahun 2008 bertujuan mencari tambahan data arkeologi baru khususnya dari hasil ekskavasi dan inventarisasi benda cagar budaya yang dimiliki oleh masyarakat Muara Kaman. Penelitian ini terkait dengan upaya pemanfaatan hasil penelitian arkeologi-sejarah Situs Muara Kaman, terutama dalam pengelolaan kawasan cagar budaya seperti pengadaan materi dan penataannya dalam museum yang dibangun di kawasan Situs Muara Kaman.

Upaya pengelolaan kawasan Situs Muara Kaman terhenti pada tahun 2008, tindak lanjut yang seharusnya dilakukan pada tahun 2009 dan 2010 tidak mendapatkan perhatian dari pihak pemerintah maupun swasta sehingga bangunan calon museum yang telah berdiri sejak tahun 2008 sampai saat ini belum dikelola dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Potensi Situs Muara Kaman kembali terlupakan dan terkubur oleh waktu yang begitu cepat berlalu.

  1. POTENSI SEJARAH-ARKEOLOGI SITUS MUARA KAMAN

Munculnya Kerajaan Kutai Kuna yang didirikan oleh Raja Mulawarman dengan bukti temuan beberapa prasasti “yupa” di Situs Muara Kaman, tidaklah secara tiba-tiba. Berdasarkan isi dari salah satu prasasti yang menyebutkan : “Sang maharaja Kudungga yang amat mulia, menyerupai putra yang mashur, Sang Aswawarman namanya, yang seperti Sang Ansuman (Dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman mempunyai tiga putra, seperti api (yang suci) tiga, yang terkemuka dari tiga putera itu adalah Sang Mulawarman, Raja yang berperadaban baik, kuat dan kuasa, Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan) dengan membagi emas amat banyak, selamatan untuk tugu batu (yupa) yang didirikan oleh para Brahmana (Poerbatjaraka, 1952; Boechari, 1984:31). Berdasarkan transliterasi prasasti di atas dapat diinterpretasikan bahwa sebelum Raja Mulawarman berkuasa di Muara Kaman telah ada penguasa sebelumnya yaitu Kudunnga nenek Mulawarman dan berikutnya Aswawarman sebagai ayah Mulawarman. Masa pemerintahan Mulawarman yang ditafsirkan berlangsung pada abad IV – V Masehi, berarti antara 25 – 50 tahun sebelumnya kawasan Muara Kaman telah ramai dikunjungi baik para pedagang ataupun para Brahmana penyebar agama. Masa inilah yang diperkirakan sebagai masa protosejarah untuk kawasan Kalimantan Timur.

Sejak masa prasejarah daerah Kalimantan Timur telah menjadi pusat peradaban manusia yang hidup di gua-gua yang sekarang secara administrasi berada di kawasan Sangkulirang – Mangkalihat di wilayah Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau (Kasnowihardjo, 2013: 63-76; Setiawan, 2013: 77-100). Hubungan antara budaya prasejarah di bagian hulu dan daerah-daerah hilir seperti Muara Kaman dapat diketahui dari temuan beberapa fragmen tembikar dan artefak lain yang banyak ditemukan di gua-gua hunian prasejarah ditemukan pula pada ekskavasi arkeologi yang dilakukan di kawasan Situs Muara Kaman. Hubungan antara pedalaman dan luar dikarenakan adanya perdagangan komoditi seperti emas dan gaharu yang dimiliki pedalaman dan merupakan komoditi yang sangat dicari oleh para pemburu emas dari luar Nusantara. Kita tahu bahwa sejak ratusan tahun sebelum Masehi di Eropa dan Timur Tengah emas telah menjadi barang komoditi yang memiliki nilai sangat tinggi.

Hasil penggalian atau ekskavasi yang dilakukan pada tahun 2008 seperti misalnya fragmen tembikar bercirikan tembikar Lapita mirip dengan fragmen tembikar yang ditemukan di Situs-situs gua prasejarah di kawasan Sangkulirang. Beberapa gua prasejarah telah diteliti  oleh tim gabungan antara Balai Arkeologi Banjarmasin, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Le Kalimanthrope antara tahun 2003 – 2005 yaitu Gua Tengkorak, Liang Jon, dan Gua Kebobo. Gua-gua prasejarah selalu dihubungkan dengan manusia yang pernah menghuninya. Beberapa artefak gua yang secara kontekstual mempunyai relasi dengan manusia pendukungnya antara lain berupa alat, sisa makanan, dan lukisan dinding gua. Ketiga jenis tinggalan tersebut merupakan data yang menginformasikan tentang keberadaan manusia penghuni gua pada suatu waktu tertentu (masa prasejarah). Perkakas batu seperti serpih, bilah, sendok, mata panah, dan kapak yang ditemukan di Gua Tengkorak, merupakan ciri peralatan manusia prasejarah. Bahkan beberapa serpih yang ditemukan di Gua Ilas Kenceng, Gua Tengkorak, Liang Jon, dan Gua Batu Aji, menunjukkan keistimewaan dalam teknologi pembuatannya (Kasnowihardjo, 2008: 18-19). Bukti adanya kontak antara pedalaman dan Muara Kaman diperkuat dengan temuan fragmen tembikar Lapita yang banyak ditemukan di gua-gua hunian manusia prasejarah ditemukan pula di kawasan Muara Kaman. Diperkirakan baik gerabah Lapita maupun barang komoditi lainnya yang berasal dari pedalaman dibawa ke kawasan Muara Kaman melalui jalur Sungai Kedangrantau yang menghubungkan antara kedua kawasan tersebut.

Hubungan antara pedalaman dan kawasan Muara Kaman setidaknya telah dimulai sejak Kudungga berkuasa dan menjadi “Syahbandar” di kawasan tersebut (Cahyono dan Gunadi, 2007). Masa pemerintahan Kudungga hingga Aswawarman dapat dikatakan masa protosejarah bagi Kalimantan Timur, khususnya dan kawasan Nusantara pada umumnya. Walaupun sejak Kudungga berkuasa diperkirakan telah terjalin kontak antara Muara Kaman dengan para pedagang dan Brahmana yang datang dari luar Kalimantan atau mungkin luar Indonesia. Pemberian nama Aswawarman putera Kudungga merupakan salah satu bukti adanya kontak yang terjalin pada masa itu antara Kudungga dan komunitas yang membawa budaya India. Namun demikian, karena secara tekstual bukti tulisan baru dikenal pada saat Mulawarman menggantikan kedudukan Aswawarman, maka sejak ditemukan ke tujuh prasasti itulah sejarah Muara Kaman mulai terkuak, dan itulah “Tonggak Sejarah Nasional Indonesia” (Kasnowihardjo, 2006: 20-26). Sumber tertulis inilah yang akan membuka tabir sejarah kawasan Muara Kaman, sedangkan kajian arkeologi akan melengkapi dalam rekonstruksi sejarah kebudayaan kawasan tersebut (Cahyono dan Gunadi, 2007).

Data artefaktual Situs Muara Kaman dapat diketahui setelah dilakukan penelitian historis-arkeologis yang cukup intensif pada tahun 2004 – 2006 dengan kerjasama antara Balai Arkeologi Banjarmasin, Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang, dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai penyandang dana. Hasil penelitian tahun 2004 yang cukup signifikan dari kegiatan survey ditemukan batu Peripih temuan salah seorang penduduk Muara Kaman. Lokasi temuan di kawasan yang oleh penduduk setempat disebut Tanjung Serai. Setelah Tim Survey melakukan pengamatan di Tanjung Serai dan tanjung-tanjung lain di kawasan Muara Kaman, maka diputuskan untuk melakukan kegiatan ekskavasi di beberapa tanjung yang dicurigai bahwa kawasan tersebut merupakan lokasi yang ideal untuk aktivitas masa lalu (diperkirakan sebagai tempat mendirikan prasasti/bangunan keagamaan). Secara monumental tidak ditemukan sisa-sisa bangunan atau bagian dari bangunan, akan tetapi fitur yang mirip dengan bentuk struktur bata ditemukan pada kedalaman 40 Cm dari permukaan tanah. Anehnya setelah permukaan tanah galian tersebut terekspos beberapa saat maka fitur struktur bata tersebut pudar dan yang terlihat lapisan tanah berwarna keabu-abuan sama sekali tidak ada warna bata merahnya. Temuan menarik dari ekskavasi di Tanjung Serai adalah manik-manik dalam jumlah yang cukup banyak dan bervariasi jenis bahannya.

Penelitian historis arkeologis yang dilakukan dari tahun 2004 – 2006 rupa-rupanya belum menuntaskan dalam pencarian informasi dan pemecahan berbagai masalah di seputar kawasan Situs Muara Kaman. Oleh karena itu pada tahun 2008 diupayakan untuk melanjutkan penelitian arkeologis dengan sasaran utama mencari setting lokasional pola permukiman di kawasan Situs Muara Kaman dan data artefaktual yang dapat menambah koleksi museum yang pada saat itu telah dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanagara akan tetapi belum dapat difungsikan sebagai site museum. Atas bantuan Yayasan Keluarga Hashim Djojohadikusumo (YKHD) penelitian arkeologi di Situs Muara Kaman dapat dilanjutkan. Borneo Cultural & Natural Heritage lembaga swadaya masyarakat yang bertanggung jawab atas kegiatan tersebut selain merekrut ahli-ahli arkeologi bidang prasejarah, hindu-budha, dan epigrafi, dalam kesempatan tersebut melibatkan pula berbagai disiplin lain seperti geologi dan museologi. Penelitian tahun 2008 ini berhasil menjawab beberapa pertanyaan penelitian dan permasalahan yang ada, baik dari ekskavasi, survey permukaan, maupun penelitian geologis. Selain temuan artefaktual yang menginformasikan tentang adanya permukiman dan mata pencaharian, penelitian kali ini dilengkapi  perencanaan penataan museum yang menyesuaikan dengan gedung yang telah dibangun. Dengan demikian apa yang direkomendasikan dari hasil penelitian arkeologi tahun 2008 benar-benar akan bermanfaat bagi masyarakat.

  1. PENGELOLAAN TERPADU SITUS CAGAR BUDAYA MUARA KAMAN

Dalam buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi (Kasnowihardjo, 2001 dan 2004) disebutkan bahwa pada dasarnya pengelolaan cagar budaya harus dilakukan secara terpadu dan lintas sektoral. Secara internal pengelolaan cagar budaya Gunadi Kasnowihardjo menyebutnya konsep “three in one” yaitu konsep penelitian yang berwawasan pelestarian dan pemanfaatan, konsep pelestarian yang berwawasan pemanfaatan dan penelitian, serta konsep pemanfaatan yang berwawasan penelitian dan pelestarian. Artinya, dalam kegiatan penelitian cagar budaya sasaran, tujuan, dan hasil yang akan dicapai harus mempertimbangkan sesuatu yang bernilai bagi program dan kegiatan pelestarian dan pemanfaatan. Selanjutnya dalam kegiatan pelestarian cagar budaya harus pula mempertimbangkan nilai-nilai yang berkait dengan program pemanfaatan dan penelitian. Demikian pula dalam kegiatan pemanfaatan cagar budaya harus konsisten dengan mempertimbangkan kepentingan penelitian dan pelestariannya (Kasnowihardjo, 2004: 108-109). Secara eksternal, ketiga lembaga pengelola cagar budaya tersebut masing-masing harus memperhatikan kepentingan masyarakat yang akan dikelola oleh sektor-sektor lain yang terkait, seperti misalnya sector pendidikan, pariwisata dan ekonomi kreatif, agama dan sebagainya. Oleh karena itu pengelolaan situs cagar budaya secara terpadu merupakan keniscayaan.

Rintisan pengelolaan Situs Muara Kaman secara terpadu sudah diawali sejak tahun 2004, yaitu dilakukannya kerjasama antara Balai Arkeologi Banjarmasin, Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang, dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dalam upaya mengangkat Situs Muara Kaman yang memiliki potensi penting dalam Sejarah Nasional Indonesia. Minimnya data yang diperoleh dari penelitian-penelitian sebelumnya, memicu dan memacu dilakukannya kegiatan akademis yang bertemakan penelitian arkeologi-sejarah atau penelitian kolaborasi antara disiplin arkeologi dan sejarah. Hasil penelitian tersebut sangat jauh lebih baik dibanding dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang bersifat parsial. Secara akademik model penelitian arkeologi-sejarah yang dilakukan tahun 2004 – 2006 disempurnakan dengan penelitian terpadu yang melibatkan disiplin lain seperti geologi dan museologi. Secara internal diawali dari kegiatan penelitian ini para peneliti telah memperhatikan kepentingan pelestarian dan pemanfaatan Situs Muara Kaman untuk masa-masa yang akan datang.

Untuk melakukan pengelolaan cagar budaya secara terpadu baik dalam kegiatan penelitian, pelestarian maupun pemanfaatannya tidak mudah, karena dibutuhkan kesamaan visi dan misi dari instansi yang bersangkutan. Sejak dibentuknya Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Samarinda, kegiatan pelestarian cagar budaya di wilayah Kalimantan akan ditangani oleh lembaga tersebut. Dengan koordinasi yang baik bersama Balai Arkeologi Banjarmasin yang memiliki wilayah kerja yang sama, kedua lembaga tersebut akan menghasilkan kinerja yang baik apabila dapat bersinergi dalam pengelolaan cagar budaya, baik situs-situs cagar budaya yang belum, tengah ataupun telah dilakukan penelitiannya. Salah satu situs cagar budaya di Kalimantan yang telah selesai dilakukan penelitian adalah Situs Muara Kaman, di Kabupaten Kutai Kartanegara. Pengelolaan terpadu baik secara internal maupun eksternal masih menunggu kehadiran pihak-pihak yang terkait, terutama BPCB Samarinda.

Hasil penelitian terpadu Situs Muara Kaman hingga saat ini masih menyisakan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh sektor-sektor lain yang terkait dalam pengelolaan cagar budaya di Indonesia. Beberapa lembaga terkait dan para pakar yang pernah terlibat dalam pengelolaan Situs Muara Kaman perlu duduk bersama dan menyatukan visi dan misi dalam pengelolaan kawasan situs tersebut. Hasil-hasil penelitian perlu segera ditindak lanjuti baik dari sisi pelestarian dan pemanfaatannya. Demikian pula penataan kawasan dan lingkungan, serta pemberdayaan masyarakat di sekitar situs. Apabila gagasan dan perencanaan dalam pengelolaan Situs Muara Kaman dapat dilaksanakan, maka antara informasi data akademik  dan pengelolaan fisik tentang Situs Cagar Budaya Muara Kaman akan menyatu dan terwujudlah kejayaan Dinasti Kudungga sebagai Tonggak Sejarah Nasional Indonesia. Secara umum, pengelolaan terpadu situs cagar budaya di Indonesia dapat dilihat bagan di bawah:

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kawasan Situs Muara Kaman merupakan salah satu situs cagar budaya yang sangat penting dalam skala nasional bahkan regional (Asia Tenggara). Oleh karena itu pengelolaan secara terpadu kawasan situs tersebut perlu mendapatkan prioritas, sebab dari waktu ke waktu ancaman kerusakan suatu situs cagar budaya selalu berpacu dengan kepentingan-kepentinga lain yang kadang kita tidak mampu membendung apalagi melawannya. Banyak kasus-kasus yang muncul di kawasan situs cagar budaya berskala nasional akibat dari kurang cepatnya pengelolaan   terpadu yang melibatkan berbagai sektor baik  secara internal maupun eksternal. Beberapa kasus seperti yang terjadi di kawasan percandian Muara Jambi, dan Situs Trowulan mengingatkan kepada kita akan pentingnya sistem pengelolaan situs cagar budaya secara terpadu. Kasus pertambangan batubara dan industri kelapa sawit di kawasan percandian Muara Jambi serta munculnya pembangunan pabrik industri baja di kawasan Situs Trowulan tahun 2012 lalu tidak akan terjadi apabila kedua kawasan yang secara akademis telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya berskala nasional atau regional tersebut sejak beberapa tahun lalu dikelola secara terpadu. Kasus-kasus serupa saya kira masih ada di tempat-tempat lain di Indonesia, mudah-mudah kedua contoh kasus di atas membuat kita membuka mata untuk mencari dan menginventarisasi situs-situs cagar budaya mana yang harus segera kita kelola bersama-sama.

  1. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa antara pusat dan daerah dalam pengelolaan situs cagar budaya keduanya memiliki peran yang sama sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing – masing. Untuk melakukan pengelolaan situs cagar budaya secara terpadu diperlukan 2 (dua) tahap model kerjasama baik dalam lintas bidang maupun lintas sektor. Tahap pertama model kerjasama atau pengelolaan terpadu situs cagar budaya secara internal, dan tahap kedua secara eksternal.

Memang, dalam Undang-Undang R.I. No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya perihal penelitian, pelestarian dan pemanfaatan tidak diuraikan secara eksplisit seperti pada UU No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya, akan tetapi secara implisit keterpaduan antara ketiga bidang dalam pengelolaan cagar budaya tetap diperlukan. Oleh karena itu dalam pengelolaan Situs Cagar Budaya Muara Kaman direkomendasikan sebagai berikut: Secara internal pihak-pihak yang terkait seperti BPCB Samarinda, Balai Arkeologi Banjarmasin, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, para Pakar dan Peneliti Kawasan Situs Cagar Budaya Muara Kaman, melakukan pertemuan membahas rencana pengelolaan terpadu situs cagar budaya tersebut.

  1. UCAPAN TERIMA KASIH

Artikel ini hadir dihadapan para pembaca dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis bersama tim beberapa waktu lalu. Untuk itu atas nama tim penelitian Situs Muara Kaman sudah semestinya kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Syaukani, mantan Bupati Kutai Kartanegara melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah telah memberikan dana penelitian historis-arkeologis dari tahun 2004-2006. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Hashim Djojohadikusumo yang telah memberikan beaya penelitian Situs Cagar Budaya Muara Kaman pada tahun 2008. Terima kasih kami ucapkan pula kepada seluruh anggota tim penelitian baik dari Balai Arkeologi Banjarmasin, Balitbangda Kutai Kartanegara, Universitas Negeri Malang, Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, Balai Arkeologi Yogyakarta, Tenaga Lokal Desa Muara Kaman, serta kolega kami  yang tidak dapat kami sebut satu-persatu.

DAFTAR PUSTAKA

Boechari, 1984. Dalam Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II, diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka, Jakarta.

Cahyono, M. Dwi dan Gunadi, 2007. Kerajaan Kutai Martadipura, Kajian Arkeologi-Sejarah, diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, ISBN 978-979-16595-0-5.

Kasnowihardjo, Gunadi, 2001. Manajemen Sumberdaya Arkeologi, Pengantar Prof. Dr. Edi Sedyawati, Penerbit: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin (LEPHAS), Makassar.

Kasnowihardjo, Gunadi, 2004. Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2, Kata Pengantar Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro, Diterbitkan oleh: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Kalimantan.

Kasnowihardjo, Gunadi. 2006. “Kutai, Tonggak Sejarah Nasional Indonesia”, Naditira Widya, Nomor 16, Oktober, Tahun 2006, Hal. 20 – 26.

Kasnowihardjo, Gunadi, 2008. “Gambar Cadas Kalimantan Timur: Satu Bukti Seni Lukis Kutai Purba”, Berkala Arkeologi, Tahun XXVIII, Edisi No. 2, November 2008. Hal. 13 – 22.

Kasnowihardjo, Gunadi, 2013. “Persebaran Tinggalan Arkeologi di Sangkulirang, Potensi dan Pengembangannya”, Kundungga, Buletin Pelestarian Cagar Budaya, Volume 2, Tahun 2013, Hal. 63 – 76.

Kern, H. 1916-1917. “Inscripties van de Indische Archipel”, V G, VI – VII, ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Poerbatjaraka, R.M. Ng. 1952. Riwajat Indonesia Jilid I, Djakarta: Penerbit Pembangunan.

Setiawan, Pindi. 2013. “Kekayaan Rock Art Sangkulirang”, Kundungga, Buletin Pelestarian Cagar Budaya, Volume 2, Tahun 2013, Hal. 77 – 100.