SITUS-SITUS GUA DAN CERUK DI DAERAH KARST KALIMANTAN TIMUR

0
3911

Oleh: Karina Arifin (Universitas Indonesia)

Disalin dari Buletin Kudungga, Vol.3, BPCB Samarinda, 2014

 Sari

Tulisan ini membahas situs-situs gua dan ceruk yang ada di daerah karst di Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Berau dan Kutai Timur. Situs-situs ini umumnya terletak di daerah yang terpencil dan sulit dicapai. Namun demikian, kegiatan manusia seperti pembalakan hutan, pencarian sarang burung, rotan dan gaharu, serta benda antik mempengaruhi kelestarian situs-situs ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha pelestarian yang antara lain berupa inventarisasi situs-situs dan sosialisasi kepada masyarakat setempat mengenai pentingnya situs-situs tersebut bagi sejarah dan budaya mereka.

 Kata kunci: karst, seni cadas, inventarisasi, sosialisasi 

Pendahuluan

Penelitian arkeologi di daerah Kalimantan dapat dikatakan masih sangat terbatas. Situs-situs yang berpotensi menghasilkan peninggalan arkeologi yang berasal dari masa akhir Pleistosen dan awal Holosen umumnya ditemukan di daerah karst dalam bentuk gua-gua. Sementara itu, situs-situs yang berasal dari masa yang lebih muda, yang biasanya ditandai dengan peninggalan-peninggalan megalitik ditemukan di daerah terbuka di pedalaman Kalimantan, seperti di Kerayan, hulu Sungai Bahau dan Apo Kayan. Gua dan ceruk masih digunakan pada masa yang lebih muda ini, biasanya memperlihatkan sisa-sisa penguburan dalam peti kayu atau tempayan.

Paper ini akan membahas peninggalan arkeologi yang terdapat di daerah Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur yang memiliki wilayah karst yang luas serta unik. Selain itu, akan dibahas pula upaya pelestarian yang sebaiknya dilakukan terhadap situs-situs tersebut.

Kedua kabupaten ini memiliki daya tarik tersendiri. Kabupaten Berau didominasi oleh bentang alam berupa bukit-bukit dan pegunungan. Wilayah ini dialiri Sungai Berau yang bermuara di Laut Sulawesi sekitar 50 km dari Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau. Sungai ini bercabang dua di Tanjung Redeb, cabang pertama yang mengalir ke barat laut adalah Sungai Segah, sedangkan yang kedua ke selatan dan timur adalah Sungai Kelai. Daerah di timur Tanjung Redeb sebagian besar merupakan lembah-lembah sungai yang datar dan lebar dengan wilayah pantai berawa dan terutama ditumbuhi dengan pohon nipah dan bakau. Sementara itu, di sebelah barat, sebagian besar bergunung-gunung dan kebanyakan merupakan daerah karst atau gamping yang kaya akan gua-gua.

Kabupaten Kutai Timur, terutama di Kawasan Karst Mangkalihat, Semenanjung Mangkalihat, merupakan formasi karst yang paling ekstensif di Borneo, dan bahkan di seluruh Asia Tenggara di luar Irian Jaya (sekarang Papua) (Voss 1983; RePPProT 1987, dalam MacKinnon et al. 1996:273). Wilayah karst ini merupakan ciri lansekap karst khas tropis yang dinamakan Cockpit karst, yang terdiri atas serangkaian bukit-bukit kerucut dengan lereng yang tidak terlalu curam (kemiringan sekitar 300 sampai 40º (MacKinnon et al. 1996:273). Di wilayah inilah gua-gua yang menunjukkan sisa-sisa kegiatan manusia banyak ditemukan.

Hasil dan Analisis

Sebagian dari gua-gua karst di Kabupaten Berau menghasilkan sarang burung walet yang harganya cukup mahal di pasaran. Pada tahun 1997 di wilayah Sungai Sidu’ung, yang merupakan salah satu anak Sungai Segah, terdapat 97 gua penghasil sarang burung  yang tersebar pada anak-anak sungainya, yaitu di wilayah Sungai Sepan 50 gua dan di Sungai Bahan 47 gua. Sementara di Sungai Birang, juga merupakan salah satu anak Sungai Segah, terdapat sekitar 60 gua penghasil sarang burung (Arifin 1998a:3). Di antara gua-gua penghasil sarang burung ini ada mengandung temuan arkeologi yang tampak kasat mata, yaitu sisa-sisa penguburan dalam peti kayu (lungun) atau tempayan. Dapat dibayangkan bahwa tentunya masih banyak gua-gua dan ceruk-ceruk di wilayah ini yang berpotensi mengandung temuan arkeologi.

Muara Sungai Sidu’ung dapat dicapai dari Tanjung Redeb dengan menggunakan perahu ketinting berkekuatan 10 PK dalam waktu dua jam. Arifin melakukan survei di salah satu anak sungai Sidu’ung, yaitu Sungai Sepan yang mulut sungainya dapat dicapai dari muara Sungai Sidu’ung dengan berperahu selama lima jam (Arifin 1998a:14). Daerah ini dahulu dihuni, tetapi saat dilakukan survei sudah tidak lagi berpenghuni. Beberapa gua dan ceruk yang dikunjungi Arifin digunakan sebagai kuburan yang masih memperlihatkan sisa-sisa tembikar tanah liat dan tulang belulang manusia. Selain itu juga terdapat ceruk besar yang ideal untuk dihuni dan berpotensi menghasilkan peninggalan arkeologi. Sejauh ini sisa-sisa kebudayaan yang tampak umumnya berupa penguburan dalam tempayan dan tidak ada tanda-tanda adanya seni cadas.

Arifin juga mencatat bahwa di daerah Sungai Kelai dan anak-anak sungainya, gua-gua yang dikenal penduduk umumnya mengadung sisa-sisa penguburan, baik menggunakan tempayan maupun peti kayu. Selain itu, di wilayah ini juga ditemukan sisa-sisa pemukiman yang umurnya tampaknya belum terlalu tua dan ditandai dengan adanya sisa-sisa tiang kayu ulin. Survei yang dilakukan Arifin (1998a, 1998b) tidak menemukan seni cadas. Namun demikian, survei yang dilakukan oleh Bambang Sugiyanto (2010:3, 8) berhasil mencatat adanya dua gua yang mengandung seni cadas, yaitu Liang Beloyot Atas dan Liang Ara di wilayah Desa Merabu Mapulu, di hulu Sungai Kelay. Situs ini masih merupakan bagian dari kawasan karst Pegunungan Marang yang di Kabubapen Kutai Timur menghasilkan cukup banyak gua dan ceruk yang menandung seni cadas. Dalam survei tersebut, hanya Liang Beloyot Atas yang dikunjungi.

Survei yang dilakukan oleh Bambang Sugiyanto (2010a:4) di hulu Sungai Kelay ini berhasil menemukan sejumlah gua dan ceruk, di antaranya ada yang bentuknya ideal tetapi tidak memperlihatkan sisa-sisa kegiatan manusia masa lalu, atau gua dan ceruk yang memperlihatkan sisa-sisa penguburan di dalam peti kayu (lungun). Tiga test pit dibuka di Liang Beloyot Atas dan hanya menemukan tulang-tulang binatang, sementara empat test pit dibuka di Liang Beloyot Bawah dan menghasilkan sisa-sisa kegiatan manusia, antara lain berupa artefak batu dan tulang (Bambang Sugiyanto 2010a:5-6). Situs lain yang juga diekskavasi adalah Liang Abu. Pada ceruk ini dibuka empat test pit yang menghasilkan sisa-sisa kegiatan manusia berupa pecahan tembikar, serpih batu, dan tulang, serta cangkang kerang air tawar (Bambang Sugiyanto 2010a:6).

Pada survei yang dilakukan oleh Arifin (1998a) di daerah hulu Sungai Birang, salah satu anak Sungai Segah, ditemukan sejumlah gua dan ceruk, baik yang masih dihuni oleh orang Punan Basap maupun gua sarang burung yang dieksploitasi oleh penduduk dari Tanjung Redeb. Di antara gua-gua yang dieksploitasi tersebut, ada yang memiliki ceruk yang besar di depannya dan menghasilkan sisa penghunian yang panjang, yaitu Kimanis. Ekskavasi yang dilakukan di Ceruk Kimanis yang luas ini menghasilkan sisa-sisa penghunian yang padat, termasuk dua penguburan terlipat dan satu penguburan kedua (tengkorak di letakkan di atas tulang-tulang panjang yang sudah tidak lengkap) (Arifin 1998b; 2004). Penghunian ini sudah dimulai sejak akhir Pleistosen. Selain itu Arifin juga melakukan ekskavasi pada sebuah gua (Liang Payau) dan sebuah ceruk kecil (Liang Gobel) yang terletak pada sebuah tebing. Sisa-sisa kegiatan manusia yang ditemukan berupa tulang-tulang binatang, terutama babi, dan monyet, kerang air tawar Brothia sp., serta alat-alat batu dan tulang, dan pecahan tembikar.

Hal yang menarik dari daerah hulu Sungai Birang adalah bahwa ceruk-ceruk di wilayah ini masih dihuni oleh sejumlah orang Basap yang masih hidup dengan berburu dan meramu dan senantiasa berpindah-pindah tempat sesuai dengan ketersediaan sumber makanan pada musim-musim tumbuhan tertentu.

Orang Basap umumnya menghuni ceruk-ceruk yang kering, dan bukan gua-gua yang lembab di wilayah ini. Dari hasil wawancara dengan salah seorang Basap yang tinggal di daerah hulu Sungai Birang, diketahui bahwa ada sekitar 11 ceruk yang dihuni oleh orang Basap, tiga di antaranya dikunjungi (Arifin 1998a:11-2). Ceruk-ceruk ini tidak dihuni sepanjang tahun, melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu, sesuai dengan musim buah dan ketersediaan binatang buruan di sekitar ceruk-ceruk tersebut. Dengan demikian, orang Basap selalu berpindah-pindah tempat. Kadang kala mereka tidak tinggal di ceruk, melainkan pada pondok-pondok sederhana, bila daerah yang menghasilkan makanan letaknya jauh dari ceruk-ceruk yang layak dihuni.

Orang Basap di wilayah ini merupakan satu-satunya kelompok masyarakat Kalimantan yang masih menghuni ceruk di tengah hutan hujan, sementara orang Basap lainnya, seperti yang ada di Teluk Sumbang, di Semenanjung Mangkalihat, Kabupaten Kutai Timur, tinggal sebagai petani dan sekarang telah menghuni pemukiman yang permanen.

Sejauh ini diketahui tidak satupun gua dan ceruk yang ada di hulu  Sungai Birang mengandung seni cadas.

Arifin juga melakukan survei di daerah Teluk Sumbang yang terletak di daerah pantai, di wilayah Semenanjung Mangkalihat. Daerah ini dikunjungi berdasarkan informasi penduduk bahwa masih ada orang Basap yang tinggal di gua-gua. Menurut keterangan, sebelum kedatangan orang Cina dan Bugis di daerah pesisir, orang Basap tinggal di pedalaman, pada bukit-bukit berhutan. Mereka tinggal di dalam pondok-pondok sederhana dan hidup dengan bercocok tanam secara sederhana. Pada waktu-waktu tertentu mereka juga tinggal di gua-gua dan ceruk-ceruk yang letaknya lebih ke pedalaman. Sejak tahun 1985 sebagian besar dari orang Basap ini berhasil dimukimkan oleh pemerintah di daerah berbukit di belakang Teluk Sumbang (Arifin 1998a:8).

 Arifin  (1998a:8) menunjungi sebuah gua yang menurut keterangan beberapa waktu yang lalu masih dihuni oleh orang Basap. Gua ini dapat dicapai dalam satu jam berjalan kaki dari tempat pemukiman orang Basap. Gua yang lebarnya 10 meter ini lembab dan tidak layak dihuni. Tidak ada peninggalan arkeologi yang tampak di permukaan gua ini. Ternyata gua ini pernah digunakan untuk membuat film mengenai orang Punan Basap yang masih hidup di gua-gua dengan hanya menggunakan cawat oleh Departemen Sosial setempat pada tahun 1992.  Kehidupan orang Basap ini ternyata merupakan rekayasa.

Penelitian arkeologi pada gua-gua terutama dilakukan di daerah pedalaman Semenanjung Mangkalihat, di daerah karst yang kompleks dan sulit dijangkau di Kecamatan Sangkulirang, dan di hulu Sungai Bengalon, di daerah aliran Sungai Marang, di Kecamatan Bengalon. Penelitian di wilayah ini telah dimulai sejak tahun 1994 oleh Jean-Michel Chazine dan Luc Henry Fage sebagaimana tertera di dalam website mereka Le Kalimanthrope. Sejak itu hampir setiap tahun mereka melakukan penjelajahan di wilayah ini.

Pada mulanya penelitian yang dilakukan oleh Chazine dan Fage tidak melibatkan arkeolog Indonesia, baru kemudian mereka bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Banjarmasin. Lebih dari 100 gua dikunjungi dan lebih dari 30 gua di antaranya mengandung seni cadas (Chazine & Ferrié 2008: 16). Gua-gua ini terkonsentrasi di dua wilayah, yaitu di utara Sangkulirang dan barat laut Sangatta, di daerah aliran Sungai Marang. ke arah pedalaman dari Semenanjung Mangkalihat. Ekskavasi juga di lakukan di sejumlah gua.

Survei yang dilakukan di sepanjang Sungai Marang menemukan 27 gua dan ceruk, 15 di antaranya berlukisan (Chazine 2005:220). Motif yang paling umum ditemukan adalah cap tangan. Chazine mencatat ada sekitar 1.500 cap tangan, 375 di antaranya ditemukan di satu gua, yaitu Gua Ham (Chazine 2005:222). Keunikan gambar tangan ini adalah pada bagian telapaknya seringkali dihiasi dengan motif-motif tertentu, baik garis-garis atau lingkaran-lingkaran penuh. Selain itu, ditemukan pula motif-motif manusia dan binatang.

Chazine juga menyebutkan bahwa tampaknya di beberapa gua ada fase cap-cap tangan yang tua yang diikuti dengan fase yang lebih muda. Seringkali cap-cap tangan fase yang tua dan muda dihubungkan satu dengan yang lain dengan melibatkan motif-motif manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan yang diperkirakan mempunyai makna tertentu, seperti yang tampak pada gua Ilas Kenceng dan terutama Gua Tewet (Chazine 2005:222).

Kualitas dan variasi yang digambarkan berbeda-beda dari satu gua ke gua yang lain. Namun demikian, Chazine mengemukakan bahwa pembuat seni cadas tersebut memiliki latar belakang budaya yang sama (Chazine 2005:222).

Pertanggalan Uranium/Thorium oleh Laboratorium CNRS-CEA, Perancis, terhadap kalsit yang menutupi salah satu cap tangan dari Ilas Kenceng menghasilkan angka 9.800-10.400 tahun BP (Plagnes et al. 2003; Chazine 2005:222). Hal ini menunjukkan lukisan-lukisan ini berasal dari masa yang cukup tua, dari akhir Kala Pleistosen.

Di daerah aliran Sungai Marang, selain gua-gua yang mengandung lukisan, terdapat pula tiga gua yang menunjukkan bekas-bekas penguburan yang letaknya di bagian tengah tebing, di antara kaki tebing dan ketinggian di mana gua-gua yang mengandung seni cadas ditemukan (Chazine 2005:226). Gua-gua penguburan ini ditandai dengan sebaran pecahan tembikar dan tulang-tulang manusia di atas tanah. Di antara pecahan tembikar, terdapat hiasan dengan pola yang umum dikenal di seluruh Asia Tenggara, seperti tera tali, torehan geometris, lubang tusuk, dan cap. Chazine mengemukakan bahwa bentuk-bentuk tembikar ini ada yang serupa dengan wadah kubur Neolitik yang ditemukan di Gua Niah dan Gua Sireh di Sarawak, Madai dan Baturong di Sabah, dan bahkan Tabon di Palawan (Chazine 2005:226).

Berkaitan dengan kekunaan penguburan yang ada di dalam gua-gua tersebut, Chazine mengemukakan bahwa penemuan wadah kubur dan tulang-tulang manusia yang masih berartikulasi di Gua Karim dan Keboboh menunjukkan posisi si mati seperti bayi dalam kandungan, dan penguburan seperti ini umum dikenal dari masa sebelum kedatangan Austronesia (Chazine 2005:228). Sementara itu, berdasarkan gaya tembikarnya Chazine mengemukakan bahwa masa penghunian gua-gua tersebut berkisar dari sekitar 3.500-3000 sampai 2.500-1.500 tahun yang lalu (Chazine 2005:226).

Di samping gua-gua yang mengandung lukisan dan penguburan, ditemukan pula gua-gua hunian yang ditandai dengan sisa-sisa makanan berupa tulang-tulang binatang dan kerang-kerangan, alat batu, tembikar dan arang (Chazine 2005:228). Namun demikian, Chazine juga menyebutkan bahwa tidak semua gua hunian ini mengandung tembikar, sehingga diperkirakan hunian ini berasal dari masa yang lebih tua di mana tembikar tidak di gunakan atau digunakan secara terbatas.

Perkiraan masa penghunian gua-gua hunian ini diperoleh dari Gua Tengkorak yang menghasilkan tiga pertanggalan AMS yang berkisar antara 4.020 sampai 11.750 b.p. (Chazine 2005:228). Berdasarkan tebalnya lapisan penghunian, Chazine mengemukakan bahwa gua ini dihuni dalam waktu yang lama, sejak masa pra-Austronesia sampai penghunian orang Dayak Iban baru-baru ini.

Penelitian yang telah dilakukan di sekitar Sungai Marang ini, di mana banyak ditemukan gua dan ceruk, telah memperlihatkan adanya pola pemakaian gua-gua. Gua hunian umumnya berada di kaki bukit, gua-gua penguburan di bagian tengah bukit, sedangkan gua-gua yang mengandung lukisan umumnya terdapat di bagian atas bukit. Di tempat lain, pola yang jelas seperti ini mungkin tidak terlihat, atau mungkin memperlihatkan pola yang berbeda. Hal inilah yang masih harus diteliti agar dapat memberikan gambaran mengenai perilaku dan kebudayaan manusia prasejarah di wilayah karst ini.

Prospek penelitian di wilayah ini sangat menjanjikan. Hal ini terbukti dari penelitian yang terus berlanjut di wilayah ini yang telah berhasil mencatat lebih dari 50 gua dan ceruk yang mengandung seni cadas (Plutniak et al. 2014:90).

Pembahasan

 Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa di Kalimantan Timur, khususnya pada kawasan karst di Kabupaten Berau dan Kutai Timur, terdapat banyak gua dan ceruk yang mengandung temuan arkeologis. Di wilayah Bengalon dan Sangkulirang, di Kabupaten Kutai Timur, dalam 20 tahun terakhir ini penelitian arkeologi sangat intensif dilakukan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila hasil yang dicapai juga mulai tampak menggambarkan sebagian perilaku dan budaya prasejarah masyarakat kuno di wilayah tersebut. Tidak demikian halnya dengan di Kabupaten Berau.

Penelitian di Kabupaten Berau baru bersifat survei dan sangat terbatas. Ekskavasi baru dilakukan di tiga situs di daerah hulu Sungai Birang dan tiga situs di hulu Sungai Kelay. Padahal berdasarkan hasil survei dan ekskavasi yang sudah dilakukan di wilayah ini, dapat diramalkan bahwa situs-situs arkeologi yang memperlihatkan sejarah penghunian yang panjang dan bervariasi di wilayah ini akan banyak ditemukan. Apa lagi bila melihat keadaan lingkungannya yang merupakan perpaduan antara daerah karst yang tidak terlalu luas dengan hutan hujan yang berbukit-bukit yang banyak dialiri sungai, maka dapat diduga sisa-sisa pemukiman kuno, baik di gua dan ceruk, maupun di tempat terbuka dapat memperlihatkan suatu jaringan keterhubungan antara situs-situs tersebut dan menunjukkan pola-pola penghunian tertentu yang mungkin serupa atau sangat berbeda dengan yang ditemukan di daerah aliran Sungai Marang di Kutai Timur.

Wilayah Semenanjung Mangkalihat dan wilayah aliran Sungai Marang dengan daerah karstnya yang luas dan sulit dicapai saja ternyata menghasilkan banyak peninggalan arkeologi. Daerah yang cukup sulit dicapai mungkin memberikan keuntungan tersendiri terhadap situs-situs arkeologi di wilayah ini. Di beberapa tempat, gangguan manusia tidak separah seperti di Kabupaten Berau, seperti di daerah aliran Sungai Segah dan Kelay, serta anak-anak sungainya. Hal ini disinggung oleh Chazine ketika ia menjelaskan tentang pecahan tembikar yang ditemukan pada situs-situs di daerah aliran Sungai Marang yang ukurannya cukup besar dan keadaannya lebih baik dibandingkan temuan yang ada di tempat lain (Chazine 2005:227-8). Selain itu, Chazine juga menyebutkan bahwa di wilayah ini juga ditemukan tempayan kubur yang hampir utuh dengan sisa tulang manusia. Hal ini menunjukkan bahwa situs-situs di wilayah ini tidak banyak terusik oleh aktivitas pemburu peramu resen dan kegiatan masyarakat masa kini yang terutama lebih tertarik untuk bekerja pada perusahaan kayu di daerah pesisir (Chazine 2005:228).

Di Kabupaten Berau, terutama di sekitar daerah aliran sungai di mana bentang alamnya cukup landai dan hutannya banyak menghasilkan kayu keras, pembalakan hutan tak dapat dihindari. Hanya di daerah-daerah yang mengandung karst yang menyulitkan kayu gelondongan diangkut, baik melalui jalan darat mau pun sungai, hutan-hutan lebat dapat bertahan. Misalnya di daerah hulu Sungai Birang yang berbukit karst dengan gua-gua di sekitarnya, pohon-pohon dipterocarp besar masih umum ditemukan. Namun demikian, semakin ke hilir, terutama di sepanjang Sungai Birang, hutan-hutan sudah ditebang. Di beberapa tempat, lahan yang terbuka dijadikan ladang.

Eksploitasi hasil hutan tidak hanya berupa penebangan pohon, tetapi juga pencarian rotan dan gaharu, serta sarang burung walet. Dalam kegiatan inilah, seringkali ditemukan ceruk atau gua yang ada kalanya dimanfaatkan untuk bermalam, atau sekedar dikunjungi karena ternyata di dalam ceruk atau gua tersebut terdapat sisa-sisa penguburan yang menarik perhatian. Keberadaan sisa-sisa penguburan dan bekal kuburnya dengan sendirinya mengundang para pencari barang antik. Itulah sebabnya semua ceruk atau gua penguburan di wilayah yang sudah pernah dijelajahi penebang kayu dan pencari rotan atau gaharu, serta sarang burung walet, sudah teraduk dan benda-benda berharga yang ada di dalamnya sudah lenyap, yang tersisa hanya pecahan-pecahan keramik atau tembikar. Kegiatan pencarian sarang burung walet, seringkali melibatkan penghunian di gua atau ceruk yang diekploitasi selama berhari-hari. Gua dan ceruk yang relatif mudah didatangi, bila mengandung seni cadas menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk lokal dan sekitarnya untuk berkunjung. Sayangnya, mereka tidak hanya meninggalkan sisa-sisa makanan di situs, tetap juga mencoret-coret dinding gua. Hal ini terlihat pada Gua Mardua, yang merupakan gua yang mengandung seni cadas pertama yang ditemukan di Kalimantan (Bambang Sugiyanto 2010b:208).

Semua aktivitas ini menyebabkan gua dan ceruk sering dikunjungi dan berdampak terhadap peninggalan arkeologi yang ada di dalamnya. Terutama peninggalan yang berada di permukaan gua, seperti tempayan kubur beserta bekal kuburnya. Penebangan hutan di sekitar gua dan ceruk juga berdampak pada kondisi gua, terutama bila di dalamnya terdapat seni cadas. Perubahan suhu kadangkala mengakibatkan percepatan kerusakan dinding gua berupa pengelupasan dinding, yang bila mengandung seni cadas mengakibatkan terkelupasnya lukisan.

Kerusakan, baik oleh alam atau ulah manusia, tidak dapat dihindari. Namun demikian, seharusnya dapat diminimalisir. Sebenarnya perangkat hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya arkeologi sudah ada, meskipun di tingkat daerah masih sangat sedikit. Hal ini sudah diuraikan panjang lebar oleh Bambang Sugiyanto (2008). Namun demikian, Bambang Sugiyanto menekankan bahwa permasalahan utama yang muncul adalah tidak adanya kesamaan visi di antara beberapa instansi/lembaga pemerintah yang diberi wewenang dalam pengelolaan kawasan karst dan sumber daya yang ada di dalamnya (2008:265). Hal ini diperparah dengan munculnya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah yang memungkinkan pemerintah daerah memanfaatkan sumber daya arkeologi semaksimal mungkin untuk meningkatkan pendapatan daerah. Bila salah kelola sumber daya arkeologi yang ada dapat terancam kelestariannya.

Segala kekisruhan yang ada akibat kurangnya koordinasi antar instansi maupun pengetahuan yang masih terbatas mengenai nilai-nilai sumber daya arkeologi tampaknya belum dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Namun demikian, instansi-instansi yang jelas berkaitan erat dengan sumber daya arkeologi, seperti Balai arkeologi dan BPCB dapat tetap melaksanakan penelitian dan pelestarian semaksimal mungkin.

Hal yang tampaknya sederhana tetapi perlu dilakukan adalah membuat daftar inventaris situs-situs yang sudah diketahui yang kemudian dapat dijadikan data base. Daftar inventaris ini haruslah memuat sejumlah informasi dasar berkenaan dengan situs yang bersangkutan. Mulai dari lokasi administratif dan astronomis, deskripsi situs, sampai pada deskripsi tinggalan yang ada, maupun keterancaman situs. Sebaiknya dibuat suatu formulir standar bagi para peneliti dan dipakai di semua wilayah. Dengan demikian, informasi yang ada mengenai setiap situs sama lengkapnya dan setara informasinya.

Di negara-negara maju, seperti Amerika dan Australia, masing-masing negara bagian biasanya memiliki formulir inventaris situs. Terutama yang berkaitan dengan deskripsi situs-situs seni cadas. Kadang kala informasi yang harus diisi cukup rumit. Balar atau BPCB tidak perlu membuat formulir yang rumit, yang penting informasi yang ada di dalamnya dapat dipakai untuk tujuan penelitian lebih lanjut dan pelestarian. Catatan yang informatif dapat digunakan bagi peneliti lain untuk dijadikan sumber data kajiannya. Informasi yang ada juga dapat digunakan untuk menilai kerusakan yang terjadi di suatu situs. Caranya dengan membandingkan keadaan saat seorang peneliti datang ke suatu situs dengan informasi yang ada pada data inventaris yang dibuat beberapa waktu sebelumnya.

Dalam hal pembuatan formulir inventarisasi ini, sebaiknya Balar dan BPCB melakukan kerja sama. Mungkin saja beberapa informasi yang dirasakan penting bagi Balar kurang diperlukan bagi BPCB atau sebaliknya. Namun demikian, paling tidak kedua instansi ini mempunyai kesepakatan yang disetujui bersama dan hasilnya dapat meningkatkan efektivitas kerja masing-masing instansi.

Denah situs (dalam hal ini gua dan ceruk), peta lokasi dan persebaran situs yang jelas dan informatif juga perlu untuk melengkapi data inventaris. Data ini seringkali dianggap kurang penting, sehingga tidak dikerjakan dengan baik. Padahal informasi yang diperoleh dari suatu kegiatan pendataan yang teliti dan lengkap dapat dijadikan dasar bagi segala kegiatan yang lain, baik penelitian, pengembangan, maupun pelestarian. Data yang lengkap ini juga dapat digunakan ketika berargumentasi dengan pemerintah daerah atau pusat berkenaan dengan pendanaan pemeliharaan, pelestarian, dan pengembangan situs-situs dalam suatu kawasan.

Pendataan yang baik juga harus dibarengi dengan sosialisasi mengenai pentingnya sumber daya arkeologi pada masyarakat setempat, maupun pemerintah daerah. Mengingat wilayah yang dibicarakan merupakan kawasan karst yang juga sangat kaya akan flora dan fauna dengan bentang alam yang khas, maka bukan hanya sumber daya arkeologi yang harus diperhatikan tetapi juga sumber daya alam. Oleh karena itu, sosialisasi yang dilakukan juga harus memperhatikan kelestarian lingkungan di sekitar situs. Hal ini mengingat kelestarian alam sangat mempengaruhi kelestarian sumber daya arkeologi.

Kesimpulan dan Saran

            Tidak diragukan lagi bahwa kawasan karst di Kalimantan Timur sangat berpotensi bagi penelitian arkeologi. Situs-situs yang ada tidak selalu mudah dikunjungi, tetapi letaknya yang terpencil dan sulit dicapai, bukan menjadi jaminan keadaannya yang aman dan terlindungi dari ulah manusia. Gangguan akibat kegiatan manusia maupun alam dapat mengakibatkan kerusakan pada situs-situs tersebut. Oleh karena itu,selain perlu ada usaha perlindungan dan pelestarian terhadap situs-situs tersebut dari pihak pemerintah, penduduk mau pun pemerintah setempat juga harus diberi pengetahuan mengenai nilai-nilai sejarah dan budaya sumber daya arkeologi yang ada di wilayah mereka.

            Mengingat situs-situs tersebut tersebar luas di wilayah Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Berau dan Kutai Timur, dan seringkali sangat terpencil, usaha pemeliharaan, perlindungan dan pelestariannya tidaklah mudah. Apa lagi mengingat seringkali situs-situs yang umumnya berupa gua-gua dan ceruk-ceruk ini bukanlah sesuatu yang monumental dan menarik perhatian, sehingga pemerintah setempat segera tertarik untuk melestarikan dan mengembangkannya sebagai obyek wisata yang menguntungkan. Lebih sering situs-situs seperti ini diabaikan, tetapi tanpa disadari kelestariannya terancam oleh berbagai kegiatan manusia, dan bila kerusakan yang terjadi diketahui, acap kali sudah dalam keadaan yang menyedihkan.

            Itulah sebabnya, perlu dilakukan inventarisasi situs-situs yang ada. Hal ini untuk mengantisipasi apabila suatu saat diketahui suatu situs sudah dalam keadaan rusak, paling tidak dokumentasi mengenai situs tersebut sudah ada. Namun demikian, inventarisasi yang baik lebih diharapkan dapat menjadi sumber data bagi berbagai penelitian maupun kegiatan pelestarian dan pengembangan, serta bagi penentuan kebijakan oleh pemerintah.

            Kegiatan tersebut di atas akan menjadi lebih mudah dilakukan bila masyarakat setempat memahami nilai-nilai sejarah dan budaya yang terkandung dalam peninggalan arkeologi yang ada. Itu pula sebabnya mengapa sosialisasi mengenai pentingnya peninggalan arkeologi tersebut harus menjadi salah satu program yang dijalankan oleh instansi-instansi terkait.

            Dalam tulisan ini lebih ditekankan pada usaha inventarisasi yang disertai dengan sosialisasi pemahaman peninggalan arkeologi yang ada sebagai usaha untuk mengantisipasi rusaknya situs. Namun demikian, tidak berarti kegiatan pelestarian lainnya dianggap kurang penting dan bukan menjadi prioritas. Diharapkan kebiasaan menginventarisasi peninggalan cagar budaya dapat menjadi standar baku yang diterapkan pada setiap situs, baik yang baru ditemukan, sudah diketahui, maupun yang hanya diketahui dari informasi masyarakat.

 

Acuan

Arifin, K. 1998a Archaeological and Ethnographical Survey in the Berau Region, East Kalimantan (Report), Penelitian didanai oleh UNESCO Jakarta.

__________. 1998b The prospect for archaeological and ethnographical research in Berau Region, East Kalimantan, makalah disajikan dalam 16th Congress of the Indo-Pacific Prehistory Association, Melaka, Malaysia 1 – 8 July 1998.

__________. 2004.  Early Human Occupation of the East Kalimantan Rainforest (The Upper Birang region, Berau). Thesis doktoral. Canberra: The Australian National University.

Bambang Sugiyanto. 2008. Pengelolaan kawasan karst di Kalimantan Timur. Naditira Widya 2 (2):263-73.

__________. 2010a. Eksplorasi gua-gua prasejarah di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Berita Penelitian Arkeologi 4 (1):1-12.

__________. 2010b. Gambar cadas di Gua Mardua, Kalimantan Timur. Naditira Widya 4 (2):207-18.

Chazine, J-M. 2005. Rock art, burials, and habitations: caves in East Kalimantan. Asian Perspectives, 44, (1):219-30.

Chazine, J-M & J-G Ferrié. 2008. Recent archaeological discoveries in East Kalimantan, Indonesia. Bulletin of Indo-Pacific Prehistry Association 28:16-22.

MacKinnon, K., G. Hatta, H. Halim & A. Mangalik.1996. The Ecology of Kalimantan. Hongkong: Periplus Editions

Plagnes, V., C. CausseM. FontugneH. ValladasJ-M. Chazine,  dan L-H. Fage. 2003. Cross dating (Th/U- 14C) of calcite covering prehistoric paintings in Borneo. Quaternary Research 60 (2):172-179.

Plutniak, S., A.A. Oktavina, B. Sugiyanto, J-M. Chazine, & F-X. Ricaut. 2014. New ceramic data from East Kalimantan: The cord-marked and red-slipped sherds of Liang Abus’s layer 2 and Kalimantan’s pottery chronology. Journal of Pacific Archaeologiy 5 (1):90-99.