You are currently viewing Seni Kriya Kuno (2), Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya

Seni Kriya Kuno (2), Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

Seni kriya sudah ada sejak manusia dapat menciptakan alat. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam kehidupannya manusia selalu berupaya menciptakan sarana ataupun alat penunjang untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kebutuhan pokok munusia yang paling awal adalah makan-minum dan keamanan. Oleh karena itu, dalam tingkat awal kehidupan manusia, sarana yang diciptakan adalah alat yag bersifat praktis untuk memenuhi kedua kebutuhan pokok tersebut.

Secara sadar atau pun tidak sengaja, akhirnya manusia mengenal dunia di luar manusia, alam transendental, dunia arwah, dunia mitos, bahkan makro-mikro kosmos. Dunia tersebut membawa manusia kepada pemaknaan yang lebih mendalam dari yang sekedar tampak. Hal ini berarti manusia menyadari adanya kekuatan di luar dirinya yang dipercaya dapat mempengaruhi kehidupannya. Kesadaran semacam itu mendorong manusia untuk berdekatan dan berkomunikasi dengan kekuatan tersebut. Kebutuhan berkomunikasi dengan kekuatan di luar diri manusia tersebut membutuhkan sarana sehingga mendorong manusia menciptakan sesuatu yang dimaksud untuk memenuhi kebutuhan sepirituaknya.

Diantara sarana sepiritual tersebut, ada yang digolongkan ke dalam seni kriya. Dorongan lain dalam diri manusia adalah keinginan akan kemewahan, kenikmatan, ataupun keindahan, sehingga mendorong manusia untuk menciptakan karya seni. Seringkali dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhann pokok, dorongan rasa sepiritual, serta dorongan rasa keindahan tidak dapat dipisahkan secara tegas. Akibatnya, dalam menciptakan sebuah benda, di dalamnya dapat terkandung baik makna praktis, simbolis (religius), maupun estetis.